Nafas yang Membawa Kita ke Kesadaran
Rezeki itu bukan hanya angka di slip gaji. Ibn ʿArabī dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah berulang kali mengingatkan, bahwa rezeki adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Kadang kita sibuk mengejar nominal, tapi lupa mengecap rasa cukup.
Di sebuah warung kopi kecil, saya pernah ngobrol dengan seorang tukang becak. Penghasilannya tak menentu, kadang hanya cukup untuk makan hari itu. Tapi dengan senyum tulus ia bilang, “Yang penting anakku bisa sekolah. Itu rezeki terbesar bagiku.” Saya terdiam. Kata-kata itu lebih berat dari sekadar khutbah panjang.
Allah berfirman:
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا
“Dan tidak ada satu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hūd [11]: 6).
Rahasia Tersembunyi di Balik Angka
Dalam al-Futūḥāt, Ibn ʿArabī menulis:
الرزق ما قسمه الله لعبده، لا ما ظنه العبد بيده
“Rezeki adalah apa yang Allah bagi untuk hamba-Nya, bukan apa yang ia kira ada di tangannya.”
Kalimat ini menohok. Banyak orang merasa rezeki itu gaji bulanan, proyek besar, atau saldo rekening. Padahal rezeki bisa berupa kesehatan, sahabat yang setia, atau sekadar udara segar yang kita hirup tanpa bayar.
Saya jadi teringat seorang kawan di Jakarta. Gajinya besar, posisinya mentereng. Tapi wajahnya kusut tiap hari. Ia sering bilang, “Uang ada, tapi hati nggak tenang.” Mungkin inilah bedanya rezeki dengan sekadar penghasilan.
“Mas, rezekimu berapa?”
“Kalau soal angka, kecil. Tapi kalau soal rasa, cukup.”
“Cukup itu maksudnya apa?”
“Cukup itu ketika hati nggak ngiler lihat piring orang lain.”
Dialog sederhana ini sering muncul dalam pertemuan kecil. Kadang lebih dalam daripada seminar motivasi berjam-jam.
Hikmah dari Jalan Sunyi Para Kekasih Allah
Ibn ʿArabī menuliskan sebuah kalimat yang seakan menampar keserakahan kita:
من عرف أن الرزق مقسوم، استراح قلبه من التعب
“Siapa yang sadar bahwa rezeki telah ditentukan, hatinya beristirahat dari kelelahan.”
Bayangkan kalau kesadaran ini hidup dalam diri kita. Tidak lagi iri pada tetangga, tidak terjebak hutang gaya hidup, dan tidak terikat gengsi.
Renungan di Tengah Hiruk Pikuk Indonesia
Kita hidup di negeri yang kaya. Namun berita tentang harga sembako naik, pengangguran, hingga PHK besar-besaran selalu datang silih berganti. Kadang bikin dada sesak.
Tapi, bukankah rezeki itu bukan sekadar apa yang pemerintah atur atau pasar tentukan? Dalam al-Futūḥāt, Ibn ʿArabī menulis:
الرزق يأتيك كما يأتيك أجلك، لا يخطئك ولا يتأخر عنك
“Rezeki akan datang kepadamu sebagaimana ajalmu datang: tidak akan salah alamat dan tidak akan terlambat.”
Kalimat ini bukan sekadar menenangkan, tapi juga mengajak kita percaya. Bahwa dalam resahnya dunia, ada jaminan Ilahi yang tak bisa digugat.
Saat Kita Belajar Merasa Cukup
Merasa cukup bukan berarti berhenti bekerja. Justru bekerja adalah ibadah, tapi hati tidak boleh dikunci oleh angka.
Seorang petani di desa mungkin hanya panen beberapa karung padi, tapi tidurnya nyenyak. Sedangkan seorang direktur bisa jadi tidurnya terganggu oleh angka-angka di bursa saham. Di sinilah makna ucapan Nabi ﷺ:
لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya itu bukan banyaknya harta, tetapi kaya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari Muslim).
Langkah Praktis: Menyambut Rezeki dengan Hati Lapang
Syukuri yang kecil: Catat tiga hal kecil yang kamu dapat hari ini, meski hanya udara segar atau tawa anak.
Tahan iri hati: Kalau lihat orang lain sukses, doakan, bukan bandingkan.
Sederhanakan hidup: Bedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Berbagi meski sedikit: Seringkali justru pintu rezeki terbuka setelah kita memberi.
Menutup dengan Doa
Semoga hati kita dilapangkan untuk merasa cukup, tangan kita ringan untuk berbagi, dan hidup kita selalu penuh rasa syukur. Karena pada akhirnya, rezeki itu bukan gaji, tapi rasa cukup di hati.
Apakah kita sudah benar-benar merasa cukup hari ini?
* Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
