SURAU.CO-Kekayaan dalam Islam: Keutamaan, Kewajiban, atau Sekadar Pilihan? Pertanyaan ini selalu menggelitik benak umat ketika melihat perbedaan nasib ekonomi di masyarakat. Kekayaan dalam Islam: Keutamaan, Kewajiban, atau Sekadar Pilihan? menjadi tema yang menuntun kita untuk menimbang nilai harta, posisi syariat, dan arah hidup seorang Muslim.
Islam tidak pernah menolak kekayaan. Namun, agama ini juga tidak menuntut setiap umat untuk kaya raya. Ajaran Islam lebih menekankan pada bagaimana manusia memanfaatkan harta dengan benar, bukan sekadar menumpuknya. Oleh sebab itu, kekayaan bisa menjadi keutamaan jika diiringi niat baik dan pemanfaatan yang sesuai dengan syariat.
Dalam perjalanan sejarah, banyak sahabat Nabi yang kaya tetapi tetap rendah hati. Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan sahabat lain menggunakan harta mereka untuk membiayai perjuangan Islam. Namun, banyak pula sahabat sederhana yang tetap mulia karena ketakwaannya. Fakta ini membuktikan bahwa Islam menilai iman, bukan semata jumlah harta.
Pengalaman hidup menunjukkan, kekayaan bisa membuka jalan kebaikan sekaligus menimbulkan ujian berat. Orang yang memiliki banyak harta dapat mempercepat amal shalih dengan berinfak, tetapi juga berisiko tergelincir oleh keserakahan. Oleh karena itu, syariat menempatkan kekayaan dalam posisi netral, tergantung siapa yang memegangnya.
Hikmah Kekayaan dan Keutamaan: Kekayaan, Keutamaan
Kekayaan dalam Islam memiliki hikmah luas. Jika umat mengelola harta dengan baik, kekayaan dapat menjadi sarana ibadah. Dengan kekayaan, seorang Muslim bisa membiayai pendidikan, membantu kaum dhuafa, dan memperkuat dakwah. Maka, keutamaan kekayaan muncul ketika harta berfungsi sebagai alat menebar manfaat.
Namun, jika kekayaan menumbuhkan kesombongan, ia justru kehilangan nilai. Banyak orang lupa bahwa harta hanyalah titipan. Islam menegaskan bahwa harta harus digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kesadaran itu, kekayaan menjadi keutamaan, bukan beban. Transisi dari cinta dunia menuju cinta akhirat terletak pada cara manusia memperlakukan harta.
Saya pernah menyaksikan langsung seorang dermawan di komunitas kecil. Ia tidak hanya membangun masjid, tetapi juga menyediakan beasiswa bagi anak-anak miskin. Kekayaannya menjelma menjadi jalan keberkahan. Dari situ, masyarakat belajar bahwa harta bisa mengangkat banyak kehidupan ketika digunakan dengan ikhlas.
Selain itu, pengalaman di lapangan membuktikan bahwa kekayaan bukan syarat utama untuk mulia. Banyak orang miskin yang hidup dengan sabar dan tawakal. Mereka memberi teladan bahwa keberkahan sejati tidak selalu terletak pada angka di rekening, melainkan pada ketenangan hati. Transisi ini mengajarkan umat agar tidak salah menilai kekayaan.
Kewajiban Mengelola Harta: Kewajiban, Pilihan
Islam tidak mewajibkan umatnya menjadi kaya, tetapi mewajibkan mereka mengelola harta dengan benar. Kewajiban zakat, infak, dan sedekah menjadi bukti bahwa syariat mengatur distribusi harta agar tidak terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Dengan begitu, kekayaan berfungsi menjaga keadilan sosial.
Kekayaan juga menjadi pilihan yang bernilai jika seseorang mampu menjadikannya sarana ibadah. Umat tidak berdosa jika hidup sederhana. Namun, jika Allah memberi rezeki melimpah, umat harus menjadikannya sebagai amanah. Transisi dari kewajiban menuju pilihan ini menegaskan bahwa Islam memberi ruang fleksibel dalam urusan ekonomi.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang Muslim membuktikan bahwa kerja keras dan ketekunan membuka pintu rezeki. Seorang pengusaha kecil yang tekun bisa berkembang menjadi besar, lalu menggunakan keuntungan untuk menolong sesama. Kekayaan itu tidak menjadi beban, melainkan amanah yang ia tunaikan dengan penuh tanggung jawab.
Pada akhirnya, kekayaan adalah alat, bukan tujuan. Islam mengajarkan agar umat fokus pada nilai ibadah, bukan jumlah harta. Orang yang kaya dan orang yang miskin sama-sama bisa masuk surga jika mereka taat. Dengan demikian, Islam tidak mewajibkan kekayaan, tetapi menuntut umat untuk mengelola rezeki dengan benar, ikhlas, dan penuh tanggung jawab. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
