Perempuan adalah cermin yang sering kali kita pandangi, tapi sayangnya, justru kita sendiri yang memecahkannya. Dalam Kitab Nasihatul Muluk karya Imam al-Ghazali, perempuan tidak ditempatkan sekadar sebagai objek pelengkap, melainkan sebagai cermin luhur yang memantulkan martabat, akal, dan kesucian sebuah peradaban. Maka, siapa yang merendahkan perempuan, sesungguhnya sedang merendahkan dirinya sendiri.
Di masyarakat hari ini, perempuan masih sering terjebak dalam posisi paradoks. Ia diagungkan di panggung seremoni, tetapi dikecilkan di ruang keputusan. Padahal, Al-Ghazali mengingatkan bahwa keutuhan keluarga, bahkan keadilan negara, tak lepas dari bagaimana seorang pemimpin memperlakukan perempuan.
Bayangan Perempuan dalam Kejernihan Hikmah
Imam al-Ghazali menulis dengan tegas:
“النِّسَاءُ أُمَّهَاتُ الأَخْلَاقِ، فَإِنْ صَلَحْنَ صَلَحَ المُلْكُ”
“Perempuan adalah ibu dari akhlak. Jika mereka baik, baik pula kerajaan.”
Kutipan ini terasa mengguncang. Bagaimana mungkin akhlak sebuah kerajaan ditentukan oleh perempuan? Tetapi bila kita renungkan, justru akhlak manusia pertama kali ditempa oleh ibu: dari kelembutan, doa, dan teladan kesabaran. Maka, ketika perempuan kehilangan kehormatan, seluruh bangsa kehilangan fondasi akhlak.
Saya ingat percakapan ringan dengan seorang teman di pasar:
“Kenapa banyak anak sekarang mudah marah?”
Ia menjawab: “Karena ibunya lelah sendirian. Ayahnya sibuk cari kuasa, tapi lupa jadi rumah bagi keluarganya.”
Luka yang Mengalir dari Ketidakadilan
Imam al-Ghazali memperingatkan bahaya besar meremehkan perempuan:
“إِذَا ظُلِمَتِ النِّسَاءُ فِي بُيُوتِهِنَّ، نَزَعَ اللهُ البَرَكَةَ مِنْ أَرْضِ المُلْكِ”
“Apabila perempuan dizalimi di rumah-rumah mereka, Allah akan mencabut keberkahan dari tanah kerajaan.”
Sejarah membuktikan, kerajaan yang membiarkan ketidakadilan terhadap perempuan akan cepat rapuh. Bukan hanya karena doa mereka yang terzalimi, tetapi karena setiap luka perempuan menetes menjadi luka sosial.
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia misalnya, menurut data Komnas Perempuan (2022), meningkat lebih dari 50% dalam satu dekade terakhir. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah alarm bahwa keberkahan perlahan dicabut karena perempuan masih sering diperlakukan sebagai objek, bukan subjek.
Keteguhan yang Membentuk Generasi
Al-Ghazali menulis lagi dengan kelembutan yang dalam:
“بِصَبْرِ النِّسَاءِ يَثْبُتُ قَلْبُ المُلُوكِ”
“Dengan kesabaran perempuan, hati para raja menjadi teguh.”
Betapa besar peran perempuan dalam meneguhkan para pemimpin. Lihatlah Khadijah yang menjadi sandaran Rasulullah SAW ketika pertama kali menerima wahyu. Atau ibunda Imam Syafi’i yang mendidik putranya dengan penuh kesabaran hingga menjadi ulama besar.
Satu kali saya mendengar seorang ayah berkata lirih kepada istrinya:
“Kalau bukan karena kamu, aku sudah menyerah menghadapi hidup.”
Kalimat sederhana itu menunjukkan betapa perempuan sesungguhnya adalah energi tak terlihat yang menopang peradaban.
Perempuan sebagai Amanah Kehidupan
Pesan terakhir Al-Ghazali tentang perempuan begitu menyentuh:
“النِّسَاءُ أَمَانَةُ اللهِ عِنْدَكُمْ، فَاحْفَظُوهُنَّ بِحَقِّهِ”
“Perempuan adalah amanah Allah di tangan kalian, maka jagalah mereka dengan sebaik-baiknya.”
Perempuan bukan milik kita, melainkan amanah Allah. Maka memperlakukan mereka dengan adil, memuliakan mereka, dan menjaga martabat mereka adalah ibadah.
Renungan Singkat
Empat Pesan Al-Ghazali tentang Perempuan:
- Perempuan adalah ibu dari akhlak; dari mereka lahir keteguhan bangsa.
- Menzalimi perempuan berarti mencabut keberkahan dari tanah air.
- Kesabaran perempuan meneguhkan hati para pemimpin.
- Perempuan adalah amanah Allah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya.
Langkah Praktis
- Untuk suami dan ayah: jadilah rumah yang aman, bukan penjara yang menakutkan.
- Untuk pemimpin: ukur keberhasilan bukan hanya dari infrastruktur, tetapi dari seberapa aman dan mulianya perempuan di negeri ini.
- Untuk masyarakat: berhenti menormalisasi candaan yang merendahkan perempuan, karena dari mulut lahir luka yang membekas.
Penutup: Doa di Cermin yang Tak Boleh Pecah
Perempuan adalah cermin luhur. Bila kita memecahkannya, serpihannya akan melukai diri kita sendiri. Tetapi bila kita menjaganya, ia akan memantulkan wajah bangsa yang beradab.
اللَّهُمَّ احْفَظْ نِسَاءَنَا بِحِفْظِكَ، وَأَكْرِمْهُنَّ بِكَرَامَتِكَ، وَاجْعَلْهُنَّ مِفْتَاحًا لِلْخَيْرِ وَمِغْلَاقًا لِلشَّرِّ
“Ya Allah, jagalah perempuan-perempuan kami dengan penjagaan-Mu, muliakan mereka dengan kemuliaan-Mu, dan jadikan mereka pembuka kebaikan serta penutup keburukan.”
Pertanyaan yang tertinggal: apakah kita sudah benar-benar memuliakan perempuan sebagai amanah Allah, ataukah masih terus memecahkan cermin yang kita butuhkan untuk melihat diri sendiri?
* Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
