Khazanah
Beranda » Berita » Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW di Berbagai Negara: Dari Mesir hingga Amerika

Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW di Berbagai Negara: Dari Mesir hingga Amerika

Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW di Berbagai Negara: Dari Mesir hingga Amerika
Gambar AI, Sumber: gemini.google.com.

SURAU.CO. Maulid Nabi Muhammad SAW tidak sekadar menjadi penanda tanggal dalam kalender keagamaan. Umat Islam di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai wujud cinta dan penghormatan kepada Rasulullah SAW. Setiap komunitas Muslim mengekspresikan perayaan ini dengan cara berbeda, bergantung pada tradisi, sejarah, dan kultur yang mereka hidupi.

Di Indonesia, umat Muslim merayakan Maulid melalui pembacaan Barzanji, shalawat, pengajian umum, dan santunan sosial. Di luar negeri, keragaman semakin kaya, festival rakyat di Mesir, malam kontemplatif di Turki, pawai cahaya di Pakistan, ritual tasawuf di Afrika Utara, hingga ajang identitas diaspora di Amerika.

Keragaman tersebut menyampaikan pesan tunggal: cinta kepada Rasulullah SAW bersifat universal, sedangkan cara mengekspresikannya selalu menyesuaikan idiom lokal.

 

Asal-usul dan Alur Perkembangan Singkat

Umat Islam mulai merayakan kelahiran Nabi secara komunal setelah masa sahabat. Dinasti Fatimiyah di Mesir pada abad ke-10 M menggelar acara Maulid dalam bentuk sederhana, lalu Dinasti Abbasiyah memperluasnya hingga populer di kalangan masyarakat.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dalam diskursus fikih, ulama membahas Maulid sebagai perkara ijtihadiyah. Imam Jalaluddin as-Suyuthi menilai Maulid bernilai ibadah jika diisi dengan shalawat, doa, dan pengajaran sirah Nabi. Ibn Hajar al-‘Asqalani menekankan nilai edukatif Maulid selama umat menjauhi praktik yang melanggar syariat.

Beberapa ulama lain mengingatkan agar umat tidak menjadikan Maulid sebagai ritual kosong atau ajang berlebihan yang melunturkan teladan akhlak Nabi.

 

Mesir: Festival Rakyat, Halawiyat, dan Qasidah

Masyarakat Mesir merayakan Maulid dengan tradisi lokal moulid. Festival ini memadukan bazar rakyat, penjualan halawiyat (manisan khas), pembacaan qasidah, hingga dzikir berjamaah. Suasana semarak ketika tenda-tenda (mawkib) berdiri di sekitar masjid tua dan para penghafal syair melantunkan pujian kepada Nabi.

Selain aspek spiritual, Maulid di Mesir menggerakkan ekonomi rakyat. Pedagang kecil, pengrajin, dan penyanyi qasidah meraih tambahan penghasilan. Aktivitas filantropi berupa pembagian makanan gratis semakin memperkuat tradisi ini.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Para ulama Mesir merespons potensi hura-hura dengan menyusun pengajian yang lebih fokus pada iman dan pendidikan Islam.

 

Turki: Mevlid Kandili dan Warisan Süleyman Çelebi

Umat Islam di Turki mengenal Maulid sebagai Mevlid Kandili atau “malam bercahaya”. Tradisi utamanya berupa pembacaan syair Mevlid karya Süleyman Çelebi pada abad ke-15. Syair ini menceritakan kelahiran dan akhlak Nabi dengan nuansa kerohanian mendalam.

Masyarakat Turki merayakan Maulid dengan suasana syahdu. Masjid-masjid besar di Istanbul dan kota-kota Anatolia menyelenggarakan dzikir, ceramah, dan pembacaan Al-Qur’an. Dalam beberapa dekade terakhir, umat juga mengaitkan perayaan ini dengan program sosial seperti beasiswa dan bantuan kebutuhan pokok.

Dengan begitu, Mevlid Kandili berfungsi sebagai sarana internalisasi keteladanan Nabi dalam kehidupan sehari-hari.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

 

Pakistan, India, dan Bangladesh: Eid Milad-un-Nabi dan Ruang Publik yang Bercahaya

Masyarakat Asia Selatan mengenal Maulid sebagai Eid Milad-un-Nabi. Kota-kota bersinar dengan lampu hias, pawai shalawat berjalan dari satu sudut ke sudut lain, dan madrasah menggelar kajian sirah nabawiyah. Qasidah Burdah berkumandang di jalan-jalan dan masjid-masjid.

Selain ritual, umat Muslim di kawasan ini mengadakan dapur umum, layanan kesehatan gratis, dan santunan fakir miskin. Aktivitas tersebut menegaskan bahwa cinta Nabi mendorong kepedulian sosial.

Meski perbedaan teologis memicu tantangan, masyarakat berusaha menjaga dialog agar Maulid tetap menjadi perekat, bukan pemecah belah.

 

Afrika Utara dan Barat: Zikir Sufi, Majelis Ilmu, dan Ekonomi Kreatif

Di Maroko, Aljazair, Tunisia, Mauritania, dan Senegal, umat Muslim merayakan Maulid dengan tradisi sufistik. Mereka menggelar majelis zikir, hadrah, pembacaan sirah, dan syamail Nabi.

Masyarakat menghidupkan seni lokal seperti musik tradisional, kuliner khas, dan kerajinan tangan. Perayaan ini mendukung ekonomi kreatif sekaligus menciptakan ruang budaya yang menyejukkan generasi muda.

Para masyayikh mengingatkan jamaah agar tetap menjaga keseimbangan: merayakan dengan gembira secara beradab dan berzikir dengan landasan ilmu.

 

Afrika Timur: Majelis Zikir dan Silaturahmi Besar

Masyarakat di Sudan, Somalia, dan Tanzania merayakan Maulid dengan majelis zikir besar. Tarian sufistik menyertai lantunan doa dan shalawat.

Nelayan, petani, pedagang, dan pelajar berkumpul dalam satu ruang spiritual. Komunitas menggalang dana untuk pembangunan masjid, beasiswa yatim, dan klinik sederhana.

Tradisi ini memperlihatkan bagaimana Maulid berfungsi sebagai ruang silaturahmi yang memperkuat solidaritas sosial.

 

Eropa dan Amerika Utara: Identitas Diaspora dan Kelas Menengah Muslim

Komunitas Muslim di Eropa dan Amerika Utara menjadikan Maulid sebagai sarana memperkuat identitas diaspora. Mereka berasal dari latar belakang beragam: Arab, Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.

Acara biasanya berisi pembacaan Al-Qur’an, ceramah sirah dalam bahasa lokal, kelas keluarga tentang adab Nabi, serta pameran yang ramah bagi pengunjung non-Muslim. Banyak masjid memanfaatkan Maulid sebagai open house untuk memperkenalkan nilai Islam tentang rahmah, keadilan, dan hidup bertetangga.

Beberapa universitas menggelar kuliah publik tentang Nabi dan sejarah Islam dalam rangkaian Maulid, sehingga iman, ilmu, dan masyarakat sipil saling bertemu.

 

Dalil, Nilai, dan Etika Perayaan

Allah memerintahkan umat Islam untuk bershalawat kepada Nabi dalam QS. Al-Ahzab 33: 56. Nabi sendiri berpuasa pada hari Senin sebagai bentuk penghormatan atas kelahiran beliau, sebagaimana diriwayatkan Muslim.

Kaidah fikih al-‘adah muhakkamah memberi ruang bagi umat untuk mengadopsi kebiasaan lokal selama sesuai syariat. Namun, umat tetap harus menjaga etika perayaan: tidak boros, tidak mengganggu ketertiban, menyampaikan konten keagamaan yang sahih, serta menguatkan akhlak.

 

Relevansi Kontemporer, Dari Seremoni ke Transformasi Sosial

Umat Muslim menghadapi dua tantangan besar terkait Maulid: formalisme yang mengurangi makna dan polemik internal yang memecah belah. Solusinya terletak pada transformasi orientasi perayaan.

Banyak komunitas Muslim modern mengaitkan Maulid dengan literasi, beasiswa, donor darah, lumbung pangan, hingga kampanye lingkungan. Dengan cara ini, perayaan tidak berhenti pada seremoni, melainkan melahirkan perubahan sosial nyata.

Umat yang semula hanya melantunkan pujian kini berusaha menyalin akhlak Nabi ke ruang publik—dari doa menjadi aksi, dari syair menjadi etika, dari nostalgia menjadi amal nyata.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement