Khazanah
Beranda » Berita » Al-Bai‘ah: Ikrar Setia dalam Tradisi Politik Islam

Al-Bai‘ah: Ikrar Setia dalam Tradisi Politik Islam

Al-Bai‘ah: Ikrar Setia dalam Tradisi Politik Islam
Ilustrasi AI (Sumber gambar:gemini.google.com)

SURAU.CO – Sejarah politik Islam mengenal Al-Bai‘ah sebagai sebuah ikrar setia antara umat dan pemimpinnya. Ia bukan sekadar simbol seremonial, melainkan kontrak moral dan religius yang menuntut ketaatan, tanggung jawab, dan komitmen untuk menegakkan kepemimpinan dalam bingkai syariat.

Al-Bai’ah sebagai ikrar kesetiaan

Al-Bai‘ah tiada lain merupakan ikrar setia. Seolah-olah orang yang berbaiat mengadakan kontrak dengan pemimpinnya dengan menyerahkan segenap urusannya dan urusan kaum muslimin pada umumnya kepadanya. Dengan tanpa ada keinginan sedikit pun untuk merebutnya. Ia yang berbaiat akan tunduk dan patuh kepada semua tugas yang pemimpinnya perintahkan. Baik yang menyenangkan maupun yang berat.

Apabila mereka telah menyatakan ikrar setia kepada seorang pemimpin dan mengadakan kontrak, maka mereka meletakkan tangan-tangan mereka pada tangannya untuk memperkuat ikrar tersebut. Hal ini menyerupai aktivitas penjual dan pembeli. Karena itulah, ikrar setia ini dinamakan Bai‘ah, bentuk infinitif dari kata ba‘a, sehingga Al-Bai‘ah mempunyai pengertian berjabat tangan. Inilah terminologi Bai‘ah yang diterima oleh syariat.

Pengertian inilah yang ada dalam hadits Rasulullah  tentang pembaiatan Rasulullah pada malam Al-‘Aqabah. Di antaranya adalah pembaiatan para khalifah dan sumpah kesetiaan. Para khalifah melimpahkan kekuasaan kepada generasi penerusnya dan menggunakan sumpah tersebut dengan penuh khidmat. Karena itulah mereka menyebut penggunaan sumpah secara total ini–Aiman al-Bai‘ah (sumpah jabatan).

Pemaksaan dalam pelaksanaan sumpah setia ini lebih banyak terjadi daripada yang terucap dengan sepenuh hati. Karena itulah Imam Malik bin Anas menyampaikan fatwa bahwa sumpah karena terpaksa tidak mempunyai kekuatan hukum apa pun dan harus gugur. Inilah fatwa yang  para khalifah menolaknya dan mereka menganggap fatwa Imam Malik itu sebagai pelecehan terhadap sumpah jabatan. Karena fatwa inilah Imam Malik bin Anas harus mengalami penderitaan dan siksaan yang sadis dari penguasa saat itu.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Praktik Ikrar setia

Menurut Ibnu Khaldun, praktik ikrar setia yang paling populern adalah penghormatan kepada para penguasa dan kaisar dengan mencium tangan, mencium kaki, atau mencium pakaian kebesarannya. Mereka juga menamakan hal ini dengan Al-Bai‘ah, yang berarti ikrar setia sebagai simbol ketundukan mereka dalam memberikan penghormatan. Kita pun mengetahui bahwa mengikuti aturan kesopanan merupakan bagian dari konsekuensi ketaatan dan kesetiaan.

Ibnu Khaldun menambahkan, bentuk pernyataan ikrar semacam ini lebih banyak dipraktikkan masyarakat hingga menjadi tradisi, sementara jabat tangan sebagai bentuk asal dari Al-Bai‘ah mulai ditinggalkan. Padahal, jabat tangan bagi setiap orang menunjukkan sikap merendahkan diri dan hina, yang berkontradiksi dengan kepemimpinan dan menjaga martabat kekuasaan, kecuali dalam kesempatan langka, misalnya jabat tangan untuk menunjukkan kerendahan hati sang penguasa.

Seorang pemimpin mau menyempatkan diri berjabat tangan dengan orang-orang tertentu dan berpengaruh, serta para pemuka agama dari rakyatnya. Karena itu, hendaklah kita memahami pengertian ikrar setia dalam konteks tradisi. Semua orang harus mengetahui dan memahaminya, karena ia berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pemimpin dan imamnya, agar ikrar setia yang diucapkannya tidak menjadi sia-sia dan tanpa hasil. Oleh sebab itu Ibnu Khaldun sangat menyarankan agar umat selalu memperhatikan semua sikap dan perilaku terhadap para penguasa.

Dengan memahami konsep Al-Bai‘ah, umat Islam diajak untuk tidak memandangnya  hanya sekadar sebagai formalitas, melainkan sebagai amanah yang menuntut kesungguhan. Setiap ikrar kesetiaan kepada pemimpin sejatinya adalah ikrar untuk menegakkan keadilan, menjaga persatuan, dan mengabdi kepada Allah yang Maha Kuat lagi Maha Mulia.(St.Diyar)

Referensi: Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun.Muqaddimah Ibnu Khaldun, 2011

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement