Opinion
Beranda » Berita » Kenapa Pemimpin Harus Bermimpi Setinggi Langit, Tapi Kakinya Tetap Nempel di Tanah

Kenapa Pemimpin Harus Bermimpi Setinggi Langit, Tapi Kakinya Tetap Nempel di Tanah

Pemimpin bermimpi setinggi langit dengan kaki menempel di tanah.
Ilustrasi pemimpin menatap langit berbintang sambil berdiri kokoh di bumi rakyatnya.

Dalam kitab klasik Nasihatul Mulk karya Imam al-Ghazali, ada nasihat yang terasa abadi: seorang pemimpin sejati harus bermimpi setinggi langit, tetapi tetap menapak di bumi. Pesan itu terdengar sederhana, namun di dalamnya terkandung rahasia bagaimana sebuah negeri bisa tumbuh atau runtuh.

Kalau pemimpin hanya bermimpi kecil, rakyat ikut mengecil. Tapi kalau ia bermimpi muluk tanpa pijakan, negeri akan terbang terlalu tinggi lalu jatuh tersungkur. Karena itu, pemimpin harus punya visi besar, tapi tetap sadar realitas.

Seorang kawan saya di kampung pernah berkomentar saat menonton berita:

“Pejabat itu kalau ngomong soal pembangunan, kayaknya luar biasa. Tapi jalan depan rumahku sudah lima tahun nggak diurus.”
“Itu artinya dia mimpi langit, tapi lupa tanah.”

Langit Cita-Cita, Tanah Kemanusiaan

Imam al-Ghazali menulis:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“لَا يَصْلُحُ الْمُلْكُ إِلَّا بِسِعَةِ الْهَمِّ وَحُسْنِ التَّدْبِيرِ”
“Kerajaan tidak akan baik kecuali dengan keluasan cita-cita dan kebijaksanaan pengelolaan.”

Cita-cita besar adalah keharusan. Pemimpin harus memikirkan masa depan seratus tahun ke depan, bukan hanya masa jabatannya. Namun cita-cita saja tidak cukup; harus disertai tadbir, manajemen yang realistis dan menyentuh kebutuhan rakyat sehari-hari.

Ayat Al-Qur’an pun mengingatkan:

“وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا”

(QS. Al-Qashash: 77)
“Carilah dengan apa yang telah Allah karuniakan kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, tetapi jangan lupakan bagianmu di dunia.”

Maksudnya jelas: bermimpi langit (akhirat), tapi kaki tetap di tanah (dunia nyata).

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Bahaya Pemimpin yang Kehilangan Arah

Al-Ghazali menulis lagi:

“إِذَا صَغُرَتْ هِمَّةُ الْمَلِكِ صَغُرَتْ هِمَمُ الرَّعِيَّةِ”
“Apabila kecil cita-cita seorang raja, maka kecil pula cita-cita rakyatnya.”

Betapa nyata pesan ini. Jika pemimpin hanya sibuk dengan proyek yang menguntungkan keluarganya, rakyat pun belajar hidup dengan cara yang sempit. Sebaliknya, bila pemimpin bermimpi menghadirkan keadilan dan ilmu, rakyat akan ikut mengembangkan sayapnya.

Fenomena sosial mengajarkan kita: saat pejabat sibuk pencitraan di media sosial, masyarakat pun berlomba mencari sensasi ketimbang karya. Tapi saat pemimpin memberi teladan dengan kesederhanaan dan kerja nyata, rakyat ikut meniru semangat itu.

Antara Ego Kekuasaan dan Amanah

Dalam Nasihatul Mulk ada ungkapan tegas:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

“إِنَّ الْمُلْكَ أَمَانَةٌ، فَإِنْ جَعَلَهُ الْمَلِكُ مَغْنَمًا كَانَ خَوَانًا”
“Kerajaan itu amanah. Jika seorang raja menjadikannya keuntungan, maka ia adalah pengkhianat.”

Kaki yang menempel di tanah artinya sadar bahwa jabatan bukan warisan keluarga atau harta pribadi, melainkan amanah yang harus dijaga. Banyak negeri runtuh bukan karena cita-citanya kurang tinggi, melainkan karena pemimpinnya lupa bahwa setiap keputusan harus berpijak pada amanah rakyat.

Riset Transparency International 2023 mencatat, Indonesia masih berada di skor 34/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Angka itu seolah menegaskan betapa banyak pemimpin yang lupa menapakkan kaki di tanah, memilih terbang dengan mimpi harta pribadi.

Pemimpin yang Menjadi Cermin Rakyat

Al-Ghazali juga berkata:

“إِنَّ الْمَلِكَ إِذَا صَلَحَ صَلَحَتْ رَعِيَّتُهُ، وَإِذَا فَسَدَ فَسَدَتْ”
“Sesungguhnya bila seorang raja baik, baiklah rakyatnya; bila ia rusak, rusaklah mereka.”

Pemimpin sejati adalah cermin. Jika ia punya visi besar dan tetap berpijak pada tanah, rakyat akan ikut menapaki jalan cita-cita. Tapi bila ia kehilangan arah, rakyat pun terseret dalam kebingungan.

Saya jadi ingat dialog ringan antara seorang guru dengan muridnya di surau kecil:

“Pak, kenapa negara kita sering ribut terus?”
“Karena pemimpinnya lupa, Nak. Mereka sibuk bermimpi, tapi lupa di mana pijakan kakinya.”

Renungan Singkat

Tiga Pesan dari Imam al-Ghazali untuk Pemimpin:

  1. Bermimpilah sebesar langit, tapi jangan lupakan tanah tempat berpijak.
  2. Ingatlah bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan keuntungan pribadi.
  3. Kesucian niat pemimpin menular pada rakyatnya.

Langkah Praktis

  • Latih diri punya visi melampaui diri sendiri, tapi tetap memenuhi tanggung jawab harian.
  • Dalam lingkar kecil (keluarga, organisasi), jangan hanya bicara mimpi besar, tetapi juga wujudkan langkah nyata.
  • Dorong pemimpin kita agar tidak hanya pandai berjanji, melainkan juga menapakkan kaki dalam realitas rakyat.
  • Ingat selalu bahwa mimpi tanpa pijakan hanyalah ilusi, pijakan tanpa mimpi hanyalah rutinitas.

Penutup: Doa di Persimpangan Langit dan Tanah

Kita semua adalah pemimpin, sekecil apapun lingkar amanahnya. Dan kita semua dituntut menyeimbangkan dua hal: mimpi langit dan pijakan tanah.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْقَادَةِ الَّذِينَ يَرْفَعُونَ أَعْيُنَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ، وَلَا يَنْسَوْنَ أَقْدَامَهُمْ عَلَى الْأَرْضِ

“Ya Allah, jadikanlah kami pemimpin yang mengangkat pandangan ke langit, tapi tidak melupakan pijakan di bumi.”

Maka pertanyaan yang kembali ke dada kita: apakah kita sudah bermimpi setinggi langit, sambil tetap menempelkan kaki di tanah kehidupan?


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement