Di antara khazanah hikmah klasik, Nasihatul Mulk karya Imam al-Ghazali selalu terasa hidup, seakan ia tidak berbicara hanya pada sultan di masanya, tetapi juga pada kita yang sering menjadi “raja kecil” dalam lingkaran hidup sendiri. Sejak awal, kitab ini mengingatkan bahwa surat raja—baik keputusan, kebijakan, atau sekadar kata-kata yang keluar dari mulut pemimpin—dapat menjadi pintu keberkahan yang membuka negeri, atau sebaliknya, menjadi palu kehancuran.
Saya teringat obrolan ringan di warung kopi kampung:
“Kalau lurah kita ucapannya adem, warganya ikut adem. Tapi kalau kasar, semua orang jadi gampang marah.”
“Benar. Lidah pemimpin itu seperti surat resmi. Sekali keluar, seluruh kampung bisa berubah suasana.”
Itulah ruh yang digarisbawahi al-Ghazali. Pemimpin bukan hanya mengurus kas negara atau pembangunan jalan, melainkan menjaga nyawa batin rakyatnya.
Ketika Kata Menjadi Doa atau Luka
Imam al-Ghazali dalam Nasihatul Mulk menulis:
“إِنَّ الْمَلِكَ إِذَا صَلَحَ صَلَحَ الْجُنْدُ، وَإِذَا فَسَدَ فَسَدُوا”
“Sesungguhnya seorang raja, bila ia baik maka baiklah tentaranya, dan bila ia rusak maka rusaklah mereka.”
Makna kalimat ini sederhana tapi mengguncang. Rakyat adalah cermin, sementara pemimpin adalah wajahnya. Kata yang lembut dari seorang penguasa bisa jadi doa yang memanjangkan umur negeri. Sebaliknya, kebijakan yang lahir dari nafsu serakah bisa menyalakan api yang membakar sampai akar rumput.
Fenomena sosial kita memberi bukti. Saat seorang pemimpin daerah berbicara santun, mendengarkan rakyat, suasana tenteram menjalar. Tapi begitu ia menebar kata kasar atau menolak kritik, bukan hanya oposisi yang membara, bahkan warganya sendiri ikut tercerai-berai.
Jalan Sunyi Seorang Raja
Ada bagian dalam Nasihatul Mulk yang terdengar seperti suara hati seorang ayah kepada anaknya:
“يَا أَيُّهَا الْمَلِكُ، إِنَّكَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِكَ، فَإِنْ عَدَلْتَ نَجَوْتَ، وَإِنْ جُرْتَ هَلَكْتَ”
“Wahai raja, engkau bertanggung jawab atas rakyatmu. Jika engkau berlaku adil, engkau selamat; jika zalim, engkau binasa.”
Membaca ini, saya teringat wajah seorang sahabat yang menjadi kepala sekolah. Ia pernah berkata, “Setiap kali saya tanda tangan rapor anak didik, saya takut jangan-jangan tangan saya ikut menentukan jalan hidup mereka.”
Pemimpin sejati bukanlah yang selalu merasa benar, melainkan yang takut salah. Di titik itu, kerendahan hati menjadi lebih berharga daripada seluruh singgasana.
Negeri yang Dibuka oleh Cinta
Al-Ghazali mengibaratkan pemimpin sebagai pintu. Jika pintu itu terbuka oleh keadilan, rahmat Allah masuk bersama angin.
“الْعَدْلُ أَسَاسُ الْمُلْكِ”
“Keadilan adalah fondasi sebuah kerajaan.”
Tidak ada negeri yang bertahan hanya dengan kekuatan senjata atau angka pertumbuhan ekonomi. Negeri hidup karena cinta: cinta pemimpin kepada rakyatnya, cinta rakyat kepada pemimpinnya.
Di sebuah desa kecil di Jawa, saya pernah melihat lurah turun langsung membantu warga membetulkan jalan berlumpur setelah hujan. Bukan pekerjaan besar. Tapi saya mendengar warga berkata, “Kami rela kerja bakti tiap minggu, karena lurah juga ikut.” Itu cinta yang membuka negeri, cinta yang lahir dari keadilan.
Negeri yang Runtuh karena Nafsu
Namun sejarah juga mengajarkan, banyak negeri runtuh karena nafsu serakah penguasanya. Al-Ghazali menulis:
“إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا وَلَّى أُمُورَهُمْ شِرَارَهُمْ”
“Apabila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, Dia menyerahkan urusan mereka kepada orang-orang jahat di antara mereka.”
Betapa sering kita menyaksikan pemimpin yang menggadaikan negeri demi ambisi pribadi. Proyek tak jelas, kebijakan hanya menguntungkan kelompok kecil, dan rakyat menjadi sekadar angka statistik.
Fenomena ini bukan sekadar politik, tapi soal spiritual. Negeri yang dirampas oleh nafsu akan kehilangan berkah. Dan ketika berkah hilang, banjir, krisis, dan konflik seakan datang beruntun.
Renungan Singkat
Tiga Cermin dari Nasihat al-Ghazali
- Kata pemimpin adalah doa – sekali terucap, ia bisa menumbuhkan atau meruntuhkan.
- Adil lebih utama dari kuat – keadilan menegakkan negeri, kekuatan hanya menunda runtuhnya.
- Rakyat adalah wajah pemimpin – jika rakyat gelisah, lihatlah ke dalam cermin kekuasaan.
Langkah Praktis
- Mulailah dari diri: apakah kita berlaku adil pada lingkaran kecil—keluarga, teman, pekerjaan?
- Gunakan lidah sebagai surat yang menyejukkan, bukan melukai.
- Bila berada di posisi pemimpin, sekecil apapun, jadikan keputusan sebagai ibadah, bukan ambisi.
Penutup: Doa di Ujung Surat
Seorang ulama berkata, “Pemimpin adalah doa yang hidup.” Apa yang ia lakukan, terangkat ke langit dan kembali sebagai takdir rakyatnya.
Maka marilah kita memohon:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا خَيْرَنَا، وَلَا تَجْعَلْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا شِرَارَنَا
“Ya Allah, jadikanlah pemimpin kami yang terbaik di antara kami, dan jangan jadikan pemimpin kami yang terburuk di antara kami.”
Pertanyaannya, apakah kita sendiri sudah siap menjadi “raja kecil” yang membuka, bukan menghancurkan, negeri di sekitar kita?
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
