Opinion
Beranda » Berita » Adab Bicara Pemimpin: Lidah Bisa Jadi Jalan Surga atau Neraka

Adab Bicara Pemimpin: Lidah Bisa Jadi Jalan Surga atau Neraka

Pemimpin di podium dengan lidah bercabang, cahaya dan api menggambarkan surga atau neraka.
Pemimpin di podium, lidahnya bercabang, satu sisi bercahaya putih, sisi lain menyala merah—simbol lidah sebagai amanah.

Lidah yang Menentukan Arah Negeri

Adab bicara pemimpin bukan perkara kecil. Dalam kitab Nasihatul Muluk, Imam al-Ghazali menulis bahwa kata-kata seorang pemimpin lebih berat dari seribu pedang, karena pedang hanya melukai tubuh, sedangkan lidah bisa menyalakan api di hati umat.

إِذَا أَحْسَنَ الْمَلِكُ كَلَامَهُ، اسْتَقَامَتْ رَعِيَّتُهُ
“Apabila seorang raja memperindah lisannya, maka rakyatnya akan lurus dalam ketaatan.”

Kalimat itu terasa begitu relevan hari ini, ketika kita mendengar lidah para pemimpin berseliweran di layar kaca, di media sosial, bahkan di ruang-ruang rapat.

Lidah Pemimpin di Warung Kopi

Saya pernah nongkrong di warung kopi dekat rumah. Televisi menyiarkan seorang pejabat berpidato tentang krisis ekonomi. Bahasanya kaku, penuh istilah teknis yang sulit dipahami rakyat kecil.

Seorang bapak di sebelah saya menimpali sambil geleng-geleng kepala:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

·       “Ngomongnya tinggi-tinggi, padahal yang saya butuh tahu cuma: harga beras besok naik apa turun?”
Semua tertawa getir.

Bahasa pemimpin yang gagal menyentuh realitas rakyat ibarat musik tanpa nada—didengar tapi tak merasuk.

Kata yang Menyembuhkan, Kata yang Menyakitkan

Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa lidah pemimpin bisa menyembuhkan luka rakyat, tapi juga bisa memperdalam perih.

الْمَلِكُ إِذَا نَطَقَ فَهُوَ مُقَدَّمٌ بَيْنَ يَدَيِ الْحَقِّ
“Seorang pemimpin ketika berbicara, ia berdiri di hadapan Allah.”

Bayangkan, betapa seriusnya konsekuensi sebuah ucapan. Kata yang sederhana seperti “sabar” atau “kuatkan hati” bisa jadi doa yang menenangkan, tapi kata yang meremehkan rakyat bisa jadi bara yang membakar legitimasi.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Fenomena Sosial: Lidah yang Jadi Senjata Politik

Bahasa pemimpin di era digital tak lagi terbatas di podium. Setiap kalimat bisa dipotong, dipelintir, dan disebar dengan kecepatan cahaya. Riset Harvard Kennedy School (2020) menunjukkan bahwa satu kalimat negatif dari pejabat publik di media sosial bisa meningkatkan ketegangan sosial hingga 27%.

Al-Qur’an mengingatkan:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (ق: ١٨)
“Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya melainkan ada malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.”

Lidah bukan hanya urusan politik, tapi juga urusan malaikat.

Dialog Sunyi di Hati Rakyat

Seorang ibu yang baru kehilangan pekerjaannya mendengar pemimpin berkata di televisi:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

·       “Ekonomi kita baik-baik saja.”
Ibu itu hanya bisa bergumam, “Kalau baik-baik saja, kenapa dapur saya kosong?”

Dialog sunyi seperti ini lahir dari jurang antara lidah pemimpin dan kenyataan rakyat.

Renungan Singkat

Kata-kata pemimpin adalah wajah negeri.
Bahasa yang meremehkan akan melahirkan jurang kepercayaan.
Lidah pemimpin bukan hanya diplomasi, tapi amanah di hadapan Allah.

Lidah Sebagai Jalan Surga atau Neraka

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa menjaga apa yang ada di antara dua rahangnya (lidah) dan dua kakinya (kemaluan), maka aku jamin baginya surga.” (HR. Bukhari)

Maka lidah pemimpin bukan hanya bisa membuka jalan surga bagi dirinya, tapi juga bisa menyeret rakyat menuju kebinasaan bila digunakan untuk dusta.

Imam al-Ghazali kembali menegaskan:

إِنَّ الْمَلِكَ إِذَا كَذَبَ، فَقَدْ هَدَمَ دِينَهُ وَدُنْيَاهُ
“Jika seorang pemimpin berdusta, maka ia telah meruntuhkan agamanya dan dunianya.”

Langkah Praktis Menjaga Lidah Pemimpin

1.     Berbicara sesuai realitas, bukan sekadar retorika.

2.     Gunakan bahasa yang membumi, menyentuh rakyat kecil.

3.     Hindari kata yang merendahkan martabat rakyat.

4.     Selalu uji ucapan dengan kesadaran: apakah ini doa atau musibah?

5.     Belajar dari Al-Qur’an: sampaikan dengan qaulan ma‘rufan (perkataan yang baik).

Lidah yang Menjadi Amanah

Bahasa pemimpin adalah amanah. Lidah yang beradab bisa menjadi obat untuk keresahan rakyat, sementara lidah yang sembarangan bisa menjadi api fitnah yang tak terpadamkan.

اَلْمَلِكُ إِذَا حَفِظَ لِسَانَهُ حَفِظَ اللَّهُ مُلْكَهُ
“Seorang pemimpin jika menjaga lisannya, Allah akan menjaga kerajaannya.”

Inilah pelajaran penting: lidah yang jujur dan adil akan memperpanjang umur negeri, sementara lidah yang dusta hanya mempercepat kehancuran.

Doa Penutup

Ya Allah, ajari para pemimpin kami adab bicara yang menyejukkan. Jadikan lidah mereka doa yang menguatkan rakyat, bukan racun yang melemahkan. Berikan kepada kami pemimpin yang menjaga lisannya, agar negeri ini terjaga dalam rahmat-Mu.

Lidah itu pendek, tapi dampaknya panjang. Pertanyaannya, apakah lidah pemimpin kita sedang menuntun kita menuju surga, atau sedang menyeret kita perlahan ke jurang neraka?


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement