Opinion
Beranda » Berita » Surat Itu Doa yang Ditulis: Kenapa Bahasa Menentukan Berkah atau Musibah

Surat Itu Doa yang Ditulis: Kenapa Bahasa Menentukan Berkah atau Musibah

Pena menulis kertas, tinta bercahaya di satu sisi dan membara di sisi lain.
Pena menulis di kertas, tinta berubah menjadi cahaya di kiri dan api di kanan—simbol bahasa sebagai doa.

Jejak Kata di Kertas yang Hidup

Surat bukan sekadar rangkaian huruf. Dalam pandangan Imam al-Ghazali dalam Nasihatul Muluk, setiap kalimat yang keluar dari tangan pejabat, menteri, atau siapa pun yang berkuasa, adalah doa yang ditulis. Bahasa bisa jadi berkah, bisa pula jadi musibah. Seorang raja mungkin mampu menggerakkan ribuan pasukan, tetapi satu surat yang ditulis dengan tergesa bisa meruntuhkan kerajaan yang dibangunnya.

الْكَلِمَةُ إِذَا خَرَجَتْ مِنَ الْفَمِ كَانَتْ عَلَيْكَ أَوْ لَكَ
“Kata yang keluar dari lisanmu akan menjadi beban atasmu, atau menjadi penolong bagimu.”

Kalimat itu menegaskan, bahwa bahasa bukan sekadar suara atau tinta, melainkan takdir yang menempel pada diri kita.

Kisah Selembar Surat di Meja Desa

Beberapa tahun lalu saya melihat seorang lurah menulis surat rekomendasi untuk warganya yang ingin kuliah dengan beasiswa. Tulisannya sederhana, kaku, bahkan ada beberapa kesalahan tata bahasa. Namun, surat itu tetap membawa berkah. Si anak diterima, lalu kuliah, lalu kini bekerja membantu ekonomi keluarganya.

Di sisi lain, kita pernah membaca berita tentang pejabat yang salah memilih diksi dalam surat edaran. Akibatnya, bukan hanya membuat gaduh, tapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Bahasa itu seperti air: bisa menjadi penyejuk, bisa juga menenggelamkan.

Bahasa yang Menyelamatkan, Bahasa yang Membinasakan

Imam al-Ghazali mengingatkan:

إِنَّ الْكِتَابَ لِسَانُ الْغَائِبِ وَقَلْبُ الْحَاضِرِ
“Sesungguhnya surat adalah lisan bagi yang tidak hadir, dan hati bagi yang ada di tempat.”

Artinya, surat bukan hanya informasi. Ia adalah wajah, hati, dan bahkan nyawa dari penulisnya. Maka bahasa dalam surat bisa menentukan apakah orang akan menaruh hormat atau menaruh dendam.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Al-Qur’an menegaskan pula:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا (البقرة: ٨٣)
“Berkatalah kepada manusia dengan perkataan yang baik.”

Jika mulut kita wajib mengeluarkan kata baik, apalagi pena yang menggores sejarah.

Fenomena Sosial: Bahasa Politik yang Membakar

Hari-hari ini, kita sering melihat bahasa politik di televisi yang kasar, penuh sindiran, bahkan menghasut. Surat resmi seringkali hanya formalitas, sementara isinya lebih dekat ke propaganda. Rakyat bingung, apakah bahasa itu jujur atau sekadar kamuflase.

Riset dari Journal of Political Communication (2021) menunjukkan bahwa gaya bahasa pejabat yang kasar menurunkan tingkat kepercayaan publik hingga 42%. Sebaliknya, bahasa sederhana dan jujur mampu meningkatkan kredibilitas hingga 65%.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Imam al-Ghazali menulis:

إِذَا حَسُنَ كَلَامُ الْمَلِكِ صَلَحَتْ رَعِيَّتُهُ
“Jika indah bahasa seorang raja, maka baiklah rakyatnya.”

Bahasa, ternyata, bukan sekadar komunikasi. Ia adalah arah kehidupan sosial.

Dialog di Balik Pintu Kekuasaan

Bayangkan seorang menteri menulis surat untuk rakyatnya:

·       “Kita harus sabar, karena ini untuk kebaikan bersama.”

·       Rakyat membalas dalam hati, “Apakah sabar itu hanya untuk kami, sementara tuan bersenang-senang?”

Dialog itu tak pernah benar-benar tertulis, tapi ia hidup dalam jiwa rakyat. Itulah musibah bahasa: ketika kata-kata kehilangan ruh kebenaran.

Renungan Singkat

Bahasa bukan hanya suara, melainkan doa yang tertulis.
Surat resmi pejabat adalah wajah sebuah negara.
Bahasa yang benar melahirkan kepercayaan, bahasa yang salah melahirkan kecurigaan.

Langkah Praktis Menjaga Bahasa

1.     Menulis dengan hati, bukan hanya dengan pena.

2.     Menggunakan bahasa sederhana yang mudah dimengerti rakyat.

3.     Menghindari istilah ambigu yang bisa menimbulkan fitnah.

4.     Mengaji ulang setiap surat resmi dengan kesadaran moral, bukan hanya tata bahasa.

5.     Mengingat bahwa setiap kata adalah doa—akan kembali kepada penulisnya.

Bahasa yang Menjadi Amanah

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)

Jika lisan saja harus dijaga, apalagi bahasa dalam surat yang akan dibaca ribuan orang. Bahasa bisa menjadi ladang pahala, atau neraka yang ditulis dengan tangan sendiri.

Cahaya yang Menyelimuti Kata

Bahasa yang ditulis dengan niat tulus adalah cahaya. Ia menuntun manusia ke arah yang benar. Tetapi bahasa yang ditulis dengan kebencian adalah bara, yang membakar jembatan kepercayaan.

Imam al-Ghazali mengingatkan:

الْكِتَابُ بَاقٍ بَعْدَ كَاتِبِهِ
“Surat tetap hidup setelah penulisnya tiada.”

Betapa ngeri jika kita meninggalkan surat yang hanya menyisakan musibah, bukan berkah.

Doa Penutup

Ya Allah, ajarkan kami menulis dengan hati yang jernih. Jadikan setiap kata kami doa yang membawa rahmat, bukan musibah. Lindungilah negeri ini dari bahasa yang menipu dan menyesatkan.

Apakah kita sudah menjaga bahasa kita sebagai doa, atau justru menulis kutukan yang kelak kembali kepada kita?


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement