SURAU.CO. Kasus korupsi dana haji yang saat ini sedang diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan sekadar perkara hukum biasa. Ini adalah cerminan betapa sabarnya umat Islam Indonesia dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk saat hak mereka dalam beribadah terganggu. Puluhan tahun antre, menabung dengan penuh harap, mereka tetap diam dan berserah diri, berdoa dalam kesunyian, berharap suatu saat bisa menjadi tamu Allah di Tanah Suci.
Namun sayangnya, penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia masih berjalan di bawah sistem sekuler dan kapitalistik yang menjadikan manfaat dan keuntungan sebagai orientasi utama. Dalam sistem seperti ini, peluang untuk menyalahgunakan wewenang sangat terbuka lebar. Ketika para pejabat tidak lagi menjadikan amanah sebagai panggilan iman, maka urusan ibadah pun bisa menjadi ladang korupsi yang menggiurkan.
Antara Aturan dan Lobi Politik
Tahun 2024, kuota haji Indonesia mencapai 221 ribu orang. Pemerintah menyebut tambahan 20 ribu kuota adalah hasil lobi langsung Presiden kepada pemerintah Arab Saudi. Angka itu kemudian dibagi menjadi 213.320 jemaah haji reguler dan 27.680 jemaah haji khusus.
Jika mengacu pada Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, porsi jemaah haji khusus seharusnya tidak melebihi 8% dari total kuota. Berdasarkan hitungan ini, jumlah haji khusus mestinya hanya sekitar 19.280 orang. Artinya, ada kelebihan hampir 8.400 orang yang tidak sesuai dengan aturan hukum.
Lebih mengejutkan lagi, penetapan kuota ini ternyata tidak mengacu pada kesepakatan antara Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR RI. Tempo.com mengumumkan hasil investigasi independen menunjukkan adanya upaya lobi-lobi politik di belakang layar. Kementerian Agama bahkan diduga mengutus orang untuk mempengaruhi anggota dewan agar menyetujui pembagian kuota baru yang dianggap melanggar aturan.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: perubahan kuota tersebut sebenarnya menguntungkan siapa?
Akar Masalah Pengelolaan Haji
Salah satu akar masalah dalam pengelolaan haji terletak pada pemisahan kuota antara haji reguler dan khusus. Pembagian ini telah melahirkan ketimpangan dan menjadi celah subur bagi praktik-praktik tidak jujur, seperti jual beli kuota oleh oknum pejabat, anggota legislatif, hingga biro travel tertentu. Alih-alih mempermudah ibadah, justru membuka ruang bagi permainan kuota demi keuntungan pribadi.
Tambahan kuota yang seharusnya menjadi berkah, dalam kenyataannya justru menambah celah bagi praktik korupsi. Pemerintah lebih fokus pada pencapaian target jumlah jemaah ketimbang memastikan kualitas pelaksanaan ibadah. Kenyamanan, keselamatan, dan kekhusyukan ibadah kerap diabaikan. Hal ini menunjukkan bahwa selama masih menjalankan penyelenggaraan haji dalam kerangka kapitalistik, orientasinya akan selalu condong pada hitungan untung-rugi, bukan keikhlasan melayani umat.
Ibadah Menjadi Komoditas
Pertanyaannya, mengapa ibadah yang seharusnya suci dan penuh keikhlasan bisa menjadi objek korupsi? Jawabannya kembali pada sistem yang meminggirkan nilai-nilai agama dalam tata kelola negara. Sistem sekuler memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, seolah urusan ibadah adalah sesuatu yang bisa dikelola seperti proyek bisnis biasa. Jabatan hanya dianggap sebagai jalan untuk memperkaya diri, bukan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Di tengah sistem yang hanya mengejar manfaat material, dana umat menjadi sumber keuntungan. Dana calon jemaah haji yang seharusnya dikelola dengan transparan dan penuh tanggung jawab, malah dijadikan lahan empuk untuk kepentingan segelintir pihak. Masyarakat yang berharap bisa berhaji dengan layak justru menjadi korban. Banyak dari mereka terpaksa menerima kondisi tenda yang sempit, makanan yang kurang layak, hingga pelaksanaan ibadah yang tidak maksimal.
Penyelenggaraan Haji di Era Khilafah
Berbeda halnya jika kita melihat bagaimana penyelenggaraan haji dilakukan dalam sejarah Islam di bawah kepemimpinan Khilafah. Negara benar-benar serius mempersiapkan segala sesuatunya demi kenyamanan jemaah. Di era Khilafah Utsmaniyah misalnya, di bawah kepemimpinan Sultan Ustmani, negara memberikan perhatian lebih pada pelaksanaan ibadah haji. Melalui lajnah khusus, khalifah memberi amanah untuk memonitor dan memastikan semua kebutuhan jamaah haji agar dapat memenuhi wajib, rukun dan sunah haji, sehingga menjadi haji mabrur.
Sultan Abdul Hamid II pada masa pemerintahannya 1900 M membangun jalur kereta api Hijaz agar jemaah bisa lebih mudah dan cepat mencapai Makkah. Tidak hanya itu, negara menyediakan rumah-rumah singgah, logistik, dan petugas yang siap membantu jemaah di sepanjang perjalanan. Semua itu dilakukan agar jamaah haji dapat melaksanakan semua wajib, rukun dan sunah haji lebih baik dan sesuai ketentuan.
Ibadah Haji Bukan Sekedar Ritual
Kepemimpinan dalam sistem Islam memahami bahwa para jemaah haji adalah tamu-tamu Allah. Karena jamaah haji adalah tamu Allah, maka memperlakukan mereka tidak boleh sembarangan. Khalifah memandang bahwa pelaksanaan ibadah haji tidak hanya berdimensi spiritual, tapi juga berdampak sosial dan politik. Ibadah ini menyatukan umat Islam dari berbagai penjuru dunia, mengokohkan solidaritas, dan memperkuat syiar Islam secara global. Karena itu, melakukan pengelolaan ibadah haji dengan penuh amanah dan kesungguhan menjadi keharusan.
Lebih dari itu, negara dalam sistem Islam menyiapkan struktur pemerintahan yang khusus mengatur segala urusan haji. Negara memperhatikan setiap aspek dengan baik, mulai dari teknis keberangkatan, keamanan, fasilitas, hingga pembimbingan ibadah. Tidak ada ruang bagi oknum mencari keuntungan pribadi. Semua bekerja dalam bingkai tanggung jawab keagamaan.
Sayangnya, model pengelolaan seperti ini semakin jauh dari jangkauan kita. Dunia Islam saat ini terpecah oleh batas-batas negara dan kebijakan nasional masing-masing. Semangat kolektif umat untuk bersama-sama menjaga kesucian ibadah mulai terkikis. Akibatnya, banyak pihak melihat ibadah haji kini cenderung sebagai urusan administrasi dan logistik belaka.
Sistem Syariat Pilihan Pengelolaan Haji
Pengelolaan ibadah haji sejatinya bukan hanya urusan teknis, tapi juga menyangkut integritas dan keimanan. Dalam sistem Islam, para pemimpin dan pejabat sadar betul bahwa jabatan adalah amanah besar, dan Allah akan memintai pertanggungjawabannya kelak. Mereka tidak akan bermain-main dengan urusan ibadah, apalagi sampai menjadikannya ladang korupsi.
Berbeda dengan sistem sekuler yang menjadikan manfaat dan keuntungan sebagai tolak ukur utama, sistem Islam menempatkan amanah sebagai pusat dari semua tindakan. Maka, solusi atas berbagai kisruh penyelenggaraan haji tidak cukup hanya dengan pergantian pejabat atau regulasi baru. Pengelolaan ibadah haji membutuhkan perubahan sistemik, yakni sistem yang menjadikan syariat sebagai fondasi utama dalam mengelola urusan umat.
Wallahu a’lam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
