SURAU.CO – Sejarah politik Islam tidak hanya menggambarkan kemenangan spiritual dan peradaban, tetapi juga oleh dinamika politik yang penuh gejolak. Pertentangan antara Imam Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan adalah salah satu episode penting yang memperlihatkan bagaimana perbedaan ijtihad, fanatisme, dan kepentingan kekuasaan dapat melahirkan konflik dalam tubuh umat.
Konsekuensi fanatisme
Ketika terjadi peristiwa bersejarah antara Imam Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, yang merupakan konsekuensi dari fanatisme, maka jalan yang mereka tempuh tetap benar dan bagian dari ijtihad. Menurut Ibnu Khaldun, peperangan mereka tidak bertujuan untuk kenikmatan dunia atau mempropagandakan kebathilan atau karena kedengkian, sebagaimana pendapat yang populer di masyarakat, apalagi kalangan kafir. Ada pun latar belakang peperangan itu akibat hasil ijtihad mereka yang berbeda, sehingga masing-masing kelompok memandang ijtihad yang lain keliru, yang pada akhirnya menimbulkan peperangan.
Meski dalam hal ini kebenaran berada di pihak Ali bin Abi Thalib, perang yang Muawiyah lakulan tersebut tidak berdasarkan pada tujuan yang keliru, melainkan tetap untuk tujuan kebenaran. Ia keliru dalam berijtihad. Namun tujuan dari masing-masing golongan adalah kebenaran.
Karakter asli kekuasaan
Karakter dasar kekuasaan cenderung mendorong seseorang untuk menikmati sendiri kebesaran yang ia raih, dan ia pun berupaya mendapatkannya. Muawiyah tidak dapat menolak kebutuhan bangsanya untuk meraih kekuasaan. Keinginan ini merupakan sesuatu yang wajar dan akibat dorongan fanatisme. Bani Umayyah juga merasakan hal yang sama. Para pengikut Muawiyah yang tidak sependapat dengan jalan yang Muawiyah tempuh dalam mengikuti kebenaran tetap sanggup bersatu dengannya dan rela berkorban untuknya.
Apabila Muawiyah mengambil keputusan selain keputusan tersebut dan bertentangan dengan keinginan mereka, maka tentulah akan menggoyahkan persatuan yang telah ia bangun di antara mereka. Muawiyah lebih senang mengambil keputusan yang dapat meminimalisir perpecahan tersebut.
Upaya mencegah perpecahan
Ketika melihat Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan: “Apabila aku mempunyai kewenangan, maka jabatan khalifah ini tentu akan aku serahkan kepadanya.” Kalau dia ingin mengangkatnya sebagai pengganti, maka tentu akan ia lakukan. Akan tetapi, ia khawatir dengan reaksi Bani Umayyah dari dewan perwakilan rakyat. Kondisi ini menyebabkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak dapat melimpahkan atau mengalihkan kekuasaan dari mereka agar tidak terjadi perpecahan.
Semua ini terjadi atas dorongan untuk merebut kekuasaan yang merupakan konsekuensi dari fanatisme. Apabila suatu kekuasaan telah tercapai, dan kita asumsikan bahwa seorang penguasa memonopolinya untuk diri sendiri dan terdorong untuk menegakkan kebenaran dan sejenisnya, maka hal itu tidak bermasalah. Sebab Nabi Sulaiman dan ayahnya, Nabi Daud, memonopoli kekuasaan pemerintahan Bani Israel karena karakter dasar kekuasaan mendorong seseorang untuk memonopolinya. Mereka berdua, sebagaimana telah kita ketahui bersama, adalah seorang Nabi dan berada dalam kebenaran.
Sikap politik Muawiyah
Begitu juga dengan sikap politik Muawiyah yang mengangkat Yazid sebagai khalifah karena khawatir terjadi perpecahan di antara mereka. Sebab Bani Umayyah tidak akan rela jika kekuasaan jatuh kepada bangsa lain. Jika Muawiyah mengangkat pemimpin dari selain bangsanya, maka mereka akan menentangnya. Bersamaan dengan itu, mereka yakin bahwa Yazid adalah orang saleh, dan tidak seorang pun yang meragukannya. Muawiyah tidak mempunyai pilihan lain selain itu. Sebab jika tidak demikian, maka Muawiyah tentu akan mengangkat pemimpin lain, karena dia meyakini bahwa Yazid adalah orang fasik. Muawiyah merasa khawatir terjadinya perpecahan pada kaumnya.
Hal yang sama juga terjadi pada Marwan bin Al-Hakam dan putranya. Meskipun mereka adalah penguasa, tetapi mereka tidak bertindak otoriter dan sewenang-wenang. Mereka menjalankan pemerintahannya menelusuri jalan-jalan kebenaran untuk mencapai kebenaran, kecuali jika dalam keadaan terpaksa yang mendorong mereka mengambil kebijakan yang keliru. Misalnya ketika khawatir terjadi perpecahan, sedangkan kesatuan dan persatuan merupakan tujuan terpenting menurut mereka.
Taat dan tunduk pada ulama salaf yang saleh
Kebijakan dan strategi ini terbukti dengan ketaatan dan ketundukan mereka kepada para ulama salaf yang saleh, dalam sikap, tujuan, dan perilaku mereka. Imam Malik pernah memprotes kebijakan Khalifah Abdul Malik, sebagaimana yang ia tulis dalam Al-Muwaththa’. Marwan termasuk tabi’in senior. Integritas mereka telah terkenal dan terakui.
Kemudian kekuasaan terlimpah kepada keturunan Abdul Malik. Mereka adalah putra-putri yang taat beragama. Umar bin Abdul Aziz mampu mengambil jalan tengah, ketika ia mengikuti jejak Khulafaur Rasyidin dan perjuangan para sahabat serta tidak mengabaikannya.
Lalu datanglah para penguasa yang menggantikannya yang cenderung mengikuti karakter dasar kekuasaan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan duniawi dan tujuan mereka. Akibatnya, mereka melupakan perjuangan para pendahulu yang senantiasa menempuh jalan kebenaran dan menjadikan kebenaran sebagai tujuan mereka.
Penyebab kecaman masyarakat pada penguasa
Faktor-faktor itulah yang mendorong masyarakat mengecam sikap hidup dan tindakan mereka serta lebih memilih bergabung dengan Bani Abbasiyah daripada mereka. Akhirnya, para pemimpin Bani Abbasiyah berhasil mencapai kekuasaan. Bani Abbasiyah memiliki sifat-sifat keadilan dan sangat umat hormati. Mereka berupaya mengarahkan jalannya kekuasaan menuju kebenaran semaksimal mungkin, hingga datanglah anak cucu Harun Ar-Rasyid memegang kekuasaan. Di antara mereka pun terdapat pemimpin yang saleh dan jahat, hingga suksesi kekuasaan sampai kepada generasi penerus mereka yang hanya mengenal kekuasaan sebagai tempat bermegah-megah dan tenggelam dalam kenikmatan dunia dengan segala perhiasannya.
Ibnu Khaldun menyampaikan bahwa mereka melanggar nilai-nilai dan ajaran agama secara terang-terangan, hingga Allah menghendaki kehancuran mereka dan mencabut kekuasaan dari tangan bangsa Arab secara total. Dan Allah mengizinkan bangsa-bangsa lain merebut kekuasaan mereka.
Akhirnya, sejarah membuktikan bahwa kekuasaan, betapapun jaya dan agungnya, tetap menjadi ujian bagi manusia. Ketika fanatisme dan kepentingan duniawi mendominasi, dan meminggirkan kebenaran.(St.Diyar)
Referensi: Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun.Muqaddimah Ibnu Khaldun, 2011
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
