Kisah
Beranda » Berita » Abu Nawas dan Teguran untuk Penguasa

Abu Nawas dan Teguran untuk Penguasa

Humor Abu Nawas bukan Sekedar Hiburan Semata, Melainkan Jalan Bijak untuk Menegur dan Menyadarkan Para Penguasa

SURAU.CO. Abu Nawas, sang penyair legendaris, namanya selalu dikaitkan dengan humor dan kebijaksanaan. Ia adalah sosok yang mampu mengukir tawa sekaligus memberikan pelajaran berharga. Di balik celoteh jenakanya, tersimpan keberanian dan kecerdasan luar biasa.

Abu Nawas menggunakan humor sebagai senjata untuk mengkritik dan menegur para penguasa. Kisah-kisahnya yang abadi menjadi cermin bagi kita, bahkan di zaman modern ini.

Siapa Abu Nawas

Abu Ali al-Hasan bin Hani’ al-Hakami, atau yang kita kenal sebagai Abu Nawas, lahir di Ahvaz, Persia, sekitar tahun 762 M. Ia wafat di Baghdad pada tahun 813 M. Abu Nawas hidup di masa keemasan Dinasti Abbasiyah. Ia bergaul erat dengan Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya, al-Amin.

Sejak usia muda, Abu Nawas telah menampakkan bakat luar biasa dalam dunia sastra Arab. Ia bukan hanya tampil sebagai penyair ulung, melainkan juga tumbuh menjadi kritikus sosial yang tajam. Dengan kepiawaiannya, ia menjadikan humor bukan sekadar tawa, tetapi sarana yang cerdas untuk menyampaikan kritik. Kedekatannya dengan para penguasa pun tidak membuatnya kehilangan daya kritis; justru di situlah ia menunjukkan keberaniannya. Dengan bahasa yang jenaka namun mengena, ia berani menegur pejabat yang zalim, sekaligus mengingatkan mereka agar menegakkan keadilan.

Abu Nawas: Teguran Bijak untuk Pejabat Zalim

Salah satu kisah terkenal yang menggambarkan kecerdasan Abu Nawas adalah interaksinya dengan seorang pejabat zalim. Pejabat itu bertanya,

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

“Siapakah manusia paling kuat di dunia?” Abu Nawas dengan tenang menjawab, “Yang paling kuat adalah orang miskin yang sabar terhadap kezhaliman pejabat.” Ia melanjutkan, “Sebab doa orang yang teraniaya langsung naik ke langit tanpa penghalang.”

Jawaban itu sangat menohok. Pejabat itu terdiam dan menyadari dirinya sedang disindir. Abu Nawas berhasil menyampaikan kritik keras tanpa kata kasar. Ia hanya mengingatkan bahwa doa orang tertindas lebih dahsyat daripada kekuasaan duniawi.

Menertawakan Kezaliman: Kisah Pejabat Rakus

Kisah lain menceritakan tentang seorang pejabat rakus di istana. Pejabat itu selalu menjadi pusat perhatian dalam jamuan istana. Ia berebut makanan dan bahkan menyembunyikan potongan daging di balik bajunya. Melihat hal itu, Abu Nawas berdiri dan berseru,

“Wahai hadirin, lihatlah manusia ajaib ini! Ia bisa makan dengan dua perut—satu di tubuhnya, satu lagi di sakunya.”

Seketika, seisi ruangan tertawa terbahak-bahak. Wajah sang pejabat memerah malu. Sejak hari itu, ia menjadi lebih berhati-hati. Kritik Abu Nawas kembali berhasil. Ia menyadarkan pejabat tersebut.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Nasihat Cerdik untuk Penguasa

Abu Nawas juga menjadi penasihat bagi Khalifah Harun al-Rasyid. Suatu ketika, sang khalifah mendengar keluhan tentang pejabat yang suka menyalahgunakan jabatan. Khalifah bertanya,

“Bagaimana caranya aku bisa tahu pejabat mana yang jujur dan mana yang curang tanpa mereka merasa diadili?”

Abu Nawas memberikan saran cerdik. Ia berkata, “Undang mereka membawa kantong berisi gandum untuk disimpan semalam di gudang. Katakan bahwa gandum itu akan ditimbang kembali besok.” Keesokan harinya, ada kantong yang tetap penuh. Ada pula yang berkurang. Para pejabat curang tidak tahan menahan diri. Mereka mencuri gandum dengan berbagai alasan. Harun al-Rasyid pun tersadar, bahwa amanah sekecil apa pun mampu membongkar kejujuran seseorang.

Abu Nawas dan Kisahnya untuk Saat ini

Kisah-kisah Abu Nawas bukan hanya sekadar cerita jenaka, melainkan juga cermin kehidupan yang sangat relevan hingga kini, sebab di Indonesia kita masih terus mendengar berita tentang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan, dan kita pun menyaksikan bagaimana kasus korupsi, kerakusan akan jabatan, serta pengabaian terhadap penderitaan rakyat terus saja terjadi, padahal Rasulullah ﷺ telah bersabda,

“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR. Abu Dawud),

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Hadis tersebut jelas menegaskan bahwa jabatan bukanlah fasilitas untuk memperkaya diri, melainkan amanah yang seharusnya digunakan untuk mengabdi kepada rakyat, sehingga Abu Nawas dengan gaya humornya yang khas sesungguhnya mengingatkan kita bahwa kekuasaan tanpa akhlak tidak hanya menjerumuskan, melainkan juga pada akhirnya akan mempermalukan diri sendiri.

Humor Abu Nawas dan Jalan Bijak

Humor Abu Nawas bukan sekadar hiburan semata, melainkan jalan bijak untuk menegur dan menyadarkan, sebab ia menunjukkan bahwa kritik tidak harus selalu lahir dari amarah, tetapi bisa lahir dari kecerdasan dan kebijaksanaan. Di tengah hiruk-pikuk politik yang gaduh dan di tengah kasus korupsi yang terus bermunculan, kita sesungguhnya sangat membutuhkan jiwa seperti Abu Nawas—jiwa yang berani menyuarakan kebenaran dengan cara arif dan jenaka. Sebab kritik yang lahir dari kebijaksanaan akan jauh lebih membekas dalam hati, daripada teriakan yang hanya lahir dari kemarahan. (kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement