Kalam
Beranda » Berita » Dhiya’ul Lami’: Cahaya yang Menyinari Maulid Nabi

Dhiya’ul Lami’: Cahaya yang Menyinari Maulid Nabi

Dhiya’ul Lami’ bukan hanya kitab sastra, bukan pula sekedar tradisi. Ia adalah cahaya yang terus menyinari hati umat Islam dari masa ke masa, bukan hanya kitab sastra, bukan pula sekadar tradisi. Ia adalah cahaya yang terus menyinari hati umat Islam dari masa ke masa.

SURAU.CO. Bulan Rabi‘ul Awwal menjadi momen istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia. Bulan ini adalah waktu untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan penuh suka cita. Peringatan Maulid Nabi bukan hanya sekadar perayaan historis, melainkan ungkapan cinta yang mendalam.

Di nusantara, tradisi Maulid Nabi selalu diwarnai dengan lantunan syair yang mengisahkan perjalanan hidup beliau. Syair-syair tersebut menceritakan silsilah mulia, kelahiran penuh cahaya, dan akhlak luhur yang menjadi teladan sepanjang zaman. Salah satu bacaan yang paling populer adalah Dhiya’ul Lami’, karya Sayyid Ja‘far bin Hasan yang lahir pada abad ke-18 di Madinah.

Saat itu, dunia Islam tengah bergeliat dengan penguatan identitas spiritual melalui syair dan prosa. Barzanji, seorang ulama keturunan Rasulullah Saw yang juga ahli fikih dan qari‘, menyusun kitab ini. Tujuannya bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga untuk dihayati sebagai media dakwah, pendidikan, dan pengikat ruhani umat.

Dhiya’ul Lami’ di antara Judul Asli dan Popularitas

Dalam tradisi keilmuan Islam, sebuah karya sering dikenal dengan nama pengarangnya. Fenomena ini juga terjadi pada kitab maulid yang masyhur di nusantara. Kitab tersebut berjudul Ḍiyā’ al-Lāmi‘ fī Mawlid al-Nabiyy al-Shāfi‘, karya Sayyid Ja‘far bin Hasan al-Barzanji al-Madani. Namun, masyarakat lebih akrab menyebutnya dengan nama “al-Barzanji”.

Sebutan al-Barzanji berasal dari nisbah pengarangnya, Sayyid Ja‘far al-Barzanji. Ia berdarah Kurdi dan lahir dari keluarga ulama besar di Madinah. Penggunaan nama pengarang sebagai sebutan populer adalah hal yang lumrah dalam tradisi Arab-Islam.

Manajemen Waktu: Refleksi Mendalam Bab Bersegera dalam Kebaikan

Dengan demikian, al-Barzanji bukanlah judul kitab, melainkan sebutan populer. Judul asli kitab adalah Dhiya’ul Lami’. Perbedaan ini penting dalam kajian akademik. Hal ini untuk menghindari kekeliruan antara sebutan populer dan nama resmi karya. Namun, penyebutan al-Barzanji dalam tradisi memperlihatkan kedekatan masyarakat Muslim dengan pengarangnya. Membaca al-Barzanji berarti merasakan sanad spiritual dan keilmuan yang tersambung dari penulisnya hingga kepada Nabi Muhammad Saw.

Jejak Dhiya’ul Lami’ Melintasi Ruang dan Waktu

Kitab ini dengan cepat melampaui batas ruang dan waktu. Dari Turki Utsmani hingga kepulauan nusantara, Dhiya’ul Lami’ dibacakan dalam perayaan maulid, juga hadir dalam acara keluarga, hingga doa-doa sosial. Dhiya’ul Lami’ bukan hanya sekadar teks yang dibacakan tetapi energi spiritual yang menyatukan umat dalam kerinduan kepada Nabi Saw.

Bahasa yang tersusun dalam kitab ini sangatlah merangkul rasa. Doa, syukur, dan kerinduan bercampur dengan fakta sejarah yang kemudian membuat kitab ini dapat diterima oleh semua kalangan. Para ulama dan cendekia menghargainya sebagai karya sastra bernilai tinggi. Sementara itu, masyarakat awam merasakannya sebagai ungkapan cinta yang menghangatkan jiwa.

Pesan-Pesan Abadi di Balik Indahnya Syair

Di balik keindahan bahasanya, Dhiya’ul Lami’ menyimpan pesan-pesan pokok yang terus relevan.

  1. Kitab ini mengajarkan umat untuk mencintai Rasulullah Saw. Umat diajak mengenal riwayat hidup beliau. Cinta yang sejati lahir dari pengetahuan. Dengan memahami perjalanan beliau, umat dapat meneladani jejaknya.
  2. Kitab ini menanamkan rasa syukur atas kelahiran Nabi Saw. Kelahiran Nabi adalah anugerah terbesar bagi umat manusia. Beliau adalah cahaya yang menerangi kegelapan dunia.
  3. Dhiya’ul Lami’ mengajak untuk memperbanyak shalawat. Shalawat bukan hanya doa, tetapi juga ikatan batin antara umat dengan Nabi Saw.

Kitab ini juga menegaskan bahwa kisah Nabi Saw bukan sekadar nostalgia sejarah. Ia adalah inspirasi moral di mana setiap bait menjadi ajakan untuk berbuat adil, berkasih sayang, dan menjaga kejujuran. Dhiyaul Lami’ juga mengajak untuk menghadirkan kelembutan hati. Membacanya, berarti memperbaharui tekad untuk meneladani akhlak Nabi Saw dalam keseharian.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Dhiya’ul Lami’ : Warisan Ulama dan Perekat Umat

Para ulama dan jaringan keilmuan dunia Islam berperan besar dalam menghadirkan Dhiya’ul Lami’ di nusantara. Para ulama yang menjalin hubungan erat dengan Haramain dan Hadramaut membawa kitab ini ke tanah air. Sejak abad ke-18, masyarakat Muslim di pesantren, masjid, hingga surau-surau kampung membacakan kitab ini sebagai bagian wajib dari tradisi maulid.

Menariknya, umat Islam Nusantara tidak hanya membaca Dhiya’ul Lami’  dalam peringatan maulid Kitab ini juga hadir di acara pernikahan, khitanan, aqiqah, hingga tahlilan. Fungsinya meluas sebagai media doa, perekat sosial, dan sumber keberkahan. Tradisi ini menjadikan kitab ini bukan sekadar kitab, melainkan bagian dari denyut kehidupan religius masyarakat.

Dhiya’ul Lami’ : Menjaga Cahaya di Tengah Keterasingan

Di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, Dhiya’ul Lami’ tetap memancarkan relevansi. Membacanya bukan hanya ritual pembacaan sejarah, melainkan sarana memperkuat identitas keislaman. Membaca kitab ini juga mempererat persaudaraan dan mengingatkan umat bahwa cinta kepada Rasulullah Saw harus senantiasa hidup dan hadir dalam doa, akhlak, dan amal nyata.

Refleksi ini menjadi semakin penting ketika dunia modern sering melahirkan keterasingan spiritual. Dalam situasi seperti itu, lantunan syair al-Barzanji menjadi oase karena mampu menghadirkan kehangatan dan menyatukan jamaah dalam satu irama shalawat. Syair ini juga menghidupkan kembali ikatan ruhani dengan Rasulullah Saw.

Dhiya’ul Lami’ Adalah Doa

Dhiya’ul Lami’ adalah cahaya yang terus menyinari hati umat Islam dari masa ke masa. Melalui doa, syair, dan prosa indah, ia menyalakan cinta kepada Nabi Saw. Dhiyaul Lami’ini telah menggambarkan kelahiran Nabi Muhammad Saw sebagai cahaya kosmik di mana momentum ini memperbarui kesadaran bahwa cinta kepada Rasulullah Saw  adalah energi yang menghidupkan iman. Selamat Bersholawat. (kareemustofa)

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement