Pendidikan
Beranda » Berita » Adab Percakapan dalam Akhlaq lil Banat Juz 3 Karya Umar Baraja (Pelajaran Klasik untuk Hari Ini)

Adab Percakapan dalam Akhlaq lil Banat Juz 3 Karya Umar Baraja (Pelajaran Klasik untuk Hari Ini)

Percakapan
Sekelompok santri laki-laki mengenakan baju dan peci hitam duduk bersila di dalam madrasah tradisional

SURAU.CO- Umar bin Ahmad Baraja, seorang ulama besar abad ke-20, menulis dua kitab akhlak populer Akhlaq lil Banin (untuk anak laki-laki) dan Akhlaq lil Banat (untuk anak perempuan). Kitab ini ditujukan bagi santri dan siswa madrasah agar sejak muda terbiasa dengan budi pekerti Islami.

Tujuannya sederhana menanamkan adab dalam kehidupan sehari-hari. Dari cara duduk, berjalan, berbicara, hingga bersikap pada guru dan orang tua. Di dunia pesantren dan madrasah, kitab ini menempati posisi penting sebagai pedoman akhlak praktis. Meski ditulis puluhan tahun lalu, pesannya tetap relevan hingga hari ini.

1. Menimbang Ucapan Sebelum Berkata

Kitab ini membuka nasihat adab percakapan dengan peringatan keras: jangan sembarang bicara. Umar Baraja menulis:

يَا بُنَيَّ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَتَكَلَّمَ فَزِنْ كَلَامَكَ فِي نَفْسِكَ
“Wahai anakku tercinta, apabila engkau ingin berbicara, timbanglah dulu ucapanmu di dalam hatimu.”

Beliau mengingatkan, jika perkataan pantas, ucapkanlah. Jika tidak, maka diamlah. Hal ini sejalan dengan firman Allah:

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (ق: 18)
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.”

Hadis Nabi ﷺ juga memperkuat: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”

Di era media sosial, pesan ini sangat terasa. Satu komentar yang tergesa-gesa bisa melukai banyak hati. Betapa banyak persahabatan rusak dan nama baik hancur hanya karena lisan yang tidak dijaga. Umar Baraja seakan mengingatkan kita: berhati-hatilah, karena banyak orang terjerumus ke neraka akibat lidah mereka sendiri.

2. Menyesuaikan Ucapan dengan Situasi

Adab berikutnya adalah berbicara sesuai suasana. Jangan bercanda saat suasana duka, dan jangan membawa cerita sedih di saat gembira. Umar Baraja mengingatkan agar tidak menyebut aib atau kekurangan seseorang di hadapannya, karena bisa melukai perasaan.

Beliau juga menekankan pentingnya menjaga etika teknis dalam percakapan jangan meludah, jangan menunjuk dengan kepala atau tangan, berbicaralah dengan suara sedang, jelas, dan tidak terburu-buru. Rasulullah ﷺ dicontohkan sebagai teladan: beliau berbicara dengan kata-kata yang jelas sehingga mudah dipahami semua orang.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Di zaman sekarang, pesan ini relevan sekali. Berapa banyak orang tersinggung karena salah waktu bercanda? Berapa banyak rapat kacau karena ada yang memonopoli pembicaraan dengan suara keras? Umar Baraja mengingatkan kita untuk menjadi pribadi yang tahu waktu, tahu tempat, dan tahu batas.

3. Mendengar dengan Adab dan Menghormati Lawan Bicara

Adab percakapan bukan hanya soal berbicara, tapi juga mendengar. Umar Baraja menulis agar kita tidak memotong pembicaraan orang lain, tidak tergesa menjawab, dan tidak merendahkan orang yang salah ucap. Jika tidak paham, mintalah ia mengulang dengan kalimat halus, bukan dengan nada kasar.

Beliau mencontohkan Nabi ﷺ yang jika berbicara, sering mengulang hingga tiga kali agar mudah dipahami. Dalam hal meminta tolong, gunakanlah kata-kata sopan seperti “tolong” atau “aku minta bantuanmu”, bukan perintah kasar.

Adab juga berlaku pada siapa kita berbicara. Jika ada yang lebih tua, jangan mendahului. Gunakan kata-kata penghormatan seperti antum atau hadrotukum. Nabi ﷺ pernah menegur seorang pemuda yang mendahului orang tua dalam bicara dengan sabdanya: “Diamlah, engkau belum dewasa.”

Hikmahnya jelas menghormati yang tua adalah jalan agar kelak kita juga dihormati.

Menerapkan Parenting Nabawi: Panduan Mendidik Karakter Anak Lewat Riyadus Shalihin

4. Menjauhi Kata-Kata Keji dan Pertengkaran

Kitab ini menutup nasihat tentang adab percakapan dengan peringatan besar: hindarilah caci maki, ghibah, adu domba, dan perdebatan yang sia-sia. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Bukanlah seorang mukmin itu suka mencaci, melaknat, berkata keji, atau kotor.”

Allah pun menegaskan:

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا (الحجرات: 12)
“Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain.”

Bahkan Nabi ﷺ memberi kabar gembira “Barangsiapa meninggalkan perdebatan padahal ia salah, Allah bangunkan baginya rumah di tepi surga. Dan barangsiapa meninggalkan perdebatan padahal ia benar, Allah bangunkan baginya rumah di surga tertinggi.”

Betapa indah pesan ini. Di era komentar pedas, debat kusir di televisi, hingga saling sindir di media sosial, Umar Baraja mengingatkan agar kita tidak mudah terseret. Diam lebih mulia daripada debat yang memutus persaudaraan.

Hikmah untuk Zaman Kita

Adab percakapan yang diajarkan Umar bin Ahmad Baraja bukan sekadar teori klasik. Ia adalah cermin dari kebijaksanaan Islam yang sangat dibutuhkan hari ini. Menimbang ucapan, menyesuaikan situasi, menghormati lawan bicara, dan menjauhi pertengkaran adalah fondasi komunikasi yang sehat.

Mari kita bertanya pada diri sendiri: berapa banyak kata yang lahir dari lisan atau jari kita di dunia digital hari ini? Sudahkah ia menjadi kebaikan, atau justru menyakiti orang lain?

Semoga Allah membimbing lisan kita agar berkata benar, hati kita agar tetap lembut, dan percakapan kita agar selalu menjadi jalan persaudaraan.

“Ya Allah, jadikanlah lisan kami penyampai kebaikan, jauhkan dari keburukan, dan hiasi kami dengan akhlak Nabi-Mu tercinta.”


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement