Khazanah
Beranda » Berita » Menyambut Hujan: Antara Syukur dan Keluh Kesah 

Menyambut Hujan: Antara Syukur dan Keluh Kesah 

Sambut hujan
Ilustrasi pak tani bekerja dibawah rintik hujan. Foto: Meta AI.

SURAU.CO. Selamat datang September ceria. Bulan September, Oktober, November dan Desember katanya bulan hujan. Pada bulan-bulan ini, hujan lebih sering membasahi bumi. Meskipun tidak akan ada yang benar-benar tahu kapan Allah akan menurunkan hujan atau memberikan kemarau panjang.

Ketika musim hujan mulai tiba, banyak masyarakat yang menyambutnya dengan penuh sukacita. Setelah berbulan-bulan menghadapi musim kemarau yang kering dan panas, datangnya hujan bagaikan embun penyejuk yang menghidupkan kembali harapan. Terutama bagi para petani yang selama ini menanti-nantikannya untuk menyuburkan ladang dan menjamin keberlangsungan panen mereka.

Namun di balik kebahagiaan itu, tak sedikit pula yang merasa resah. Kekhawatiran akan banjir, tanah longsor, dan bahkan banjir bandang kerap membayangi. Musim hujan yang seharusnya menjadi anugerah justru dianggap sebagai potensi bencana. Maka, muncullah beragam reaksi dari masyarakat, dari yang bersyukur hingga yang mengeluh dan mencela. Bahkan, sekedar mengeluh karena jemuran belum kering atau batalnya rencana.

Fenomena ini menyiratkan bahwa manusia memandang satu peristiwa dari dua sudut yang sangat berbeda: sebagai nikmat atau sebagai musibah. Dalam hal ini hujan, ada yang bersyukur, namun ada juga yang mengeluh. Padahal, dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang Allah turunkan ke bumi, termasuk hujan, tidak pernah sia-sia. Allah Maha Bijaksana dalam menetapkan setiap ciptaan-Nya.

Allah berfirman, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakannya melainkan dengan hak (penuh hikmah), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Ad-Dukhan : 38-39)

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Dua Sikap Manusia Terhadap Hujan

Secara umum, ada dua tipe manusia dalam menyikapi datangnya hujan. Pertama, mereka yang melihat hujan sebagai berkah dan rahmat dari Allah. Orang-orang dalam kelompok ini akan menyambut hujan dengan rasa syukur, bahkan memanjatkan doa agar hujan yang turun membawa kebaikan.

Rasulullah SAW sendiri memberikan teladan ketika hujan turun. Dalam sebuah hadits dari Aisyah r.a, disebutkan bahwa: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan: ‘Allahumma shoyyiban nafi’an (Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat).” (HR. Bukhari)

Tipe kedua adalah mereka yang memandang hujan sebagai gangguan atau bahkan musibah. Bagi mereka, hujan identik dengan pakaian basah, aktivitas yang tertunda, jalanan yang macet, atau bahkan pembatalan rencana penting. Mereka mengeluh, menyalahkan cuaca, dan mengutuk turunnya hujan seolah hujan datang tanpa hikmah. Padahal, reaksi seperti ini bisa mengarah pada bentuk ketidaksopanan spiritual terhadap ketetapan Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW pernah menyampaikan peringatan tentang kebiasaan manusia mencela sesuatu yang sebenarnya adalah bagian dari ketetapan-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi, Rasulullah SAW bersabda, Allah SWT berfirman: “Anak Adam menyakiti-Ku. Dia mencela masa (waktu), padahal Akulah pemilik dan yang mengatur masa. Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih bergantu” (HR. Muslim)

Dengan mencela hujan, seseorang tanpa sadar telah mencela takdir dan ketentuan Allah. Sikap ini sejatinya merupakan bentuk dari ketidakridhaan terhadap qadha dan qadar-Nya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Hujan dalam Perspektif Al-Qur’an

Islam tidak hanya memandang hujan sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai tanda kekuasaan Allah. Hujan menjadi sumber kehidupan dan bentuk kasih sayang dari Allah. Dalam Al-Qur’an, hujan disebut sebagai sesuatu yang penuh berkah.

Sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qaaf: 9)

Lebih dari itu, air adalah elemen dasar kehidupan. Seluruh makhluk hidup membutuhkan air untuk bertahan hidup. Ini ditegaskan Allah dalam ayat lain:“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30)

Dengan kata lain, tanpa hujan tidak akan ada kehidupan. Pepohonan akan mati, hewan kehausan, dan manusia akan mengalami krisis air. Maka sangat tidak bijak jika hujan yang merupakan sumber kehidupan itu justru dipandang sebagai sumber masalah.

Ketika Hujan Menjadi Musibah

Lalu bagaimana jika hujan justru memicu bencana seperti banjir, longsor, dan kerusakan lainnya? Apakah masih layak disebut rahmat?

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Di sinilah pentingnya memahami bahwa bencana, seperti banjir atau longsor, bukan semata akibat hujan itu sendiri. Al-Qur’an menegaskan bahwa kerusakan yang terjadi di bumi sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Kerusakan lingkungan, pembalakan hutan liar, pengurukan daerah resapan air, serta pembuangan sampah sembarangan menjadi faktor-faktor yang memperparah dampak hujan. Dalam konteks ini, bencana bukanlah dari hujan, tetapi dari kelalaian manusia menjaga amanah bumi.

Ummu Salamah r.a meriwayatkan sabda Rasulullah SAW:“Jika maksiat telah merajalela di tengah umatku, maka Allah akan menimpakan azab kepada mereka secara merata.” Lalu aku (Ummu Salamah) berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah di antara mereka tidak ada orang-orang saleh?” Beliau menjawab, “Ada.” Aku bertanya lagi, “Apa yang Allah akan perbuat pada mereka?” Beliau bersabda, “Allah akan menimpakan kepada mereka azab, sebagaimana ditimpakan kepada orang-orang yang melakukan maksiat.  Kemudian mereka akan mendapatkan ampunan dan keridhaan dari Rabb-nya.” (HR. Ahmad)

Dengan demikian, hujan tetaplah berkah dan rahmat bagi manusia, serta bagi makhluk hidup lainnya. Namun dampak negatifnya dapat menjadi peringatan agar manusia lebih sadar akan tanggung jawabnya terhadap alam dan terhadap syariat Allah.

Menjadi Muslim yang Bijak Menyikapi Hujan

Menyikapi hujan dengan bijak adalah bagian dari keimanan. Seorang Muslim yang paham hakikat kehidupan akan melihat hujan sebagai kesempatan untuk bersyukur, memperbaiki diri, dan mendekat kepada Allah. Jika datang musibah, dia akan menjadikan itu sebagai bahan introspeksi dan seruan untuk kembali menjaga keseimbangan alam.

Mari kita tanamkan dalam diri bahwa tidak ada satu tetes air pun yang jatuh ke bumi kecuali dengan izin dan hikmah dari Allah SWT. Daripada mengeluh, lebih baik kita meneladani Rasulullah SAW dalam menyambut hujan dengan doa dan rasa syukur. Dan bila saudara kita lalai dalam menyikapi hujan, tugas kita adalah mengingatkan dengan cara yang baik.

Firman Allah, “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adh-Dhariyat: 55)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement