SURAU.CO. Perilaku pejabat negara belakangan ini kerap menjadi sorotan publik. Kita sering menyaksikan gaya hidup mewah para pejabat. Mobil mewah berjejer, motor gede dan rumah tingkat milyaran harganya, pesta pernikahan anak digelar megah, dan flexing harta di media sosial menjadi pemandangan umum. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran. Apakah jabatan publik masih dipahami sebagai amanah untuk melayani rakyat? Atau, sudah bergeser menjadi tiket menuju kemewahan pribadi?
Di tengah arus pragmatisme kekuasaan yang deras, kita patut menoleh pada sosok KH. Idham Chalid. Beliau adalah ulama besar sekaligus politisi senior yang pernah menduduki jabatan tertinggi di Republik ini. Ia adalah Ketua DPR/MPR, Wakil Perdana Menteri, Menteri Negara, dan Ketua Umum PBNU selama hampir tiga dekade. Yang membedakan KH. Idham Chalid dari pejabat publik pada umumnya adalah kesederhanaannya. Ia membuktikan bahwa kekuasaan dapat dijalankan tanpa harus bergelimang harta.
Masa Kecil dan Perjalanan Hidup Idham Chalid
Lahir di Satui, Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1921, KH. Idham Chalid tumbuh dalam lingkungan keluarga religius. Sejak kecil, ia termasuk anak yang cerdas dan pemberani. Pendidikan pesantren, termasuk di Gontor, membentuk karakter kepemimpinannya yang berwawasan luas dan berintegritas tinggi.
Karier politik KH. Idham Chalid terbilang panjang dan penuh warna. Ia menjadi anggota parlemen sejak awal kemerdekaan. Ia dipercaya sebagai Wakil Perdana Menteri pada era Demokrasi Parlementer. Ia tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjabat sebagai Ketua DPR dan Ketua MPR dari tahun 1972 hingga 1977 di era Orde Baru. Dalam Nahdlatul Ulama (NU), ia memimpin sebagai ketua umum terlama dalam sejarah. Ia menjabat dari tahun 1956 hingga 1984.
Kesederhanaan yang Mengagumkan
Di balik semua jabatan tersebut, KH. Idham Chalid tetaplah sosok yang sederhana. Ia tetap menjadi kiai dengan kesahajaan khas pesantren. Kesederhanaannya inilah yang membuat namanya harum hingga kini. Julukan “Ketua DPR termiskin” melekat pada KH. Idham Chalid. Ini bukan karena ia hidup dalam kemiskinan, tetapi karena ia menolak hidup berlebihan. Ia tidak memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri atau keluarganya.
Kisah yang menjadi buah bibir adalah anak-anak KH. dham Chalid tetap menggunakan transportasi umum. Mereka naik metromini, meski ayah mereka adalah pejabat tinggi negara. Bahkan, ada yang berjualan nasi dan air minum untuk membantu keluarga. Bayangkan, seorang Ketua DPR yang memiliki akses ke semua fasilitas negara, tetapi keluarganya hidup seperti rakyat kebanyakan.
KH. Idham Chalid juga menolak fasilitas mewah. Rumah dinas dan mobil dinas tidak menjadi simbol status.
Ketika sakit di usia senja, keluarganya justru kesulitan membiayai perawatan. Ini sangat ironis jika dibandingkan dengan pejabat publik masa kini yang berlomba memperkaya diri. Di situlah letak kemuliaannya. Ia membuktikan bahwa jabatan adalah amanah, bukan hak istimewa.
Kontras dengan Gaya Hidup Pejabat Masa Kini
Fenomena flexing pejabat publik hari ini sangat kontras dengan teladan KH. Idham Chalid. Media sosial berbagai platform penuh dengan wajah pejabat yang bangga memamerkan kekayaan. Mereka memamerkan mobil sport, jam tangan mewah, atau pesta yang menelan miliaran rupiah. Di sisi lain, rakyat kecil masih berjuang dengan harga kebutuhan pokok yang terus meningkat.
Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
KH. Idham Chalid menjalankan hadis ini dengan nyata. Ia memimpin tanpa memperkaya diri, dan berkuasa tanpa kehilangan akan kesederhanaan.
Para pejabat publik masa kini seharusnya belajar dari beliau. Kekuasaan bukanlah soal seberapa banyak harta yang bisa terkumpul, tetapi tentang menjaga integritas dan melayani rakyat dengan tulus dan ikhlas.
Warisan Abadi KH. Idham Chalid
Kisah KH. Idham Chalid memberikan pelajaran moral yang mendalambagi kita. Kekuasaan adalah fana, jabatan pasti berganti, dan harta bisa hilang kapan saja. Namun, integritas, kesederhanaan, dan teladan akan tetap hidup setelah seorang pemimpin wafat.
KH. Idham Chalid membuktikan bahwa seorang pejabat tinggi dapat meninggalkan warisan tanpa mewariskan kekayaan materi. Ia meninggalkan warisan moral yang tak ternilai. Kesederhanaan adalah kekayaan sejati seorang pemimpin.
Di tengah krisis keteladanan pejabat publik, nama KH. Idham Chalid layak dihidupkan kembali. Ia bukan hanya ulama dan politisi tetapi Ia adalah pahlawan moral yang memberikan pesan penting. Jabatan adalah amanah, dan integritas adalah warisan abadi.
Penghargaan dan Pengakuan
KH. Idham Chalid wafat pada 11 Juli 2010. Ia meninggalkan jejak panjang sebagai ulama, politisi, dan negarawan sederhana. Pada tahun 2011, ia mendapat gelar Pahlawan Nasional. Pada tahun 2016, wajahnya begitu abadi dalam uang kertas pecahan Rp 5.000. Ia meninggalkan teladan yang tak lekang oleh zaman.
Di tengah maraknya pejabat yang pamer kekayaan, sosok KH. Idham Chalid adalah oase keteladanan. Ia menunjukkan bahwa pejabat publik bisa hidup sederhana. Mereka tidak kehilangan wibawa. Justru dari kesederhanaan itulah, lahir kemuliaan yang abadi.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
