Ibadah
Beranda » Berita » Shalawat di Gereja: Antara Cinta Rasul dan Batas Syariat

Shalawat di Gereja: Antara Cinta Rasul dan Batas Syariat

Sholawat adalah bahasa cinta. Ia bukan sekadar rangkaian doa, melainkan jembatan ruhani yang menyambungkan hati umat dengan Nabi Muhammad Saw

SURAU.CO. Beberapa tahun lalu, masyarakat di Indonesia sempat tersentuh oleh peristiwa Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang melantunkan shalawat di sebuah gereja. Lantunan penuh penghayatan itu segera menimbulkan kontroversi dan  beragam tanggapan. Ada yang memandangnya sebagai simbol toleransi dan jembatan persaudaraan lintas iman. Ada pula yang menilai perlu kehati-hatian agar tidak menabrak batas syariat. dan pertanyaan pun mengemuka: bagaimana sebenarnya kedudukan membaca shalawat di rumah ibadah umat lain?

Fenomena serupa bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Papua, sebuah paduan suara gereja pernah membawakan Shalawat Badar menjelang Ramadan, sebagai tanda penghormatan kepada umat Muslim. Di Vatikan, rombongan seni dari Indonesia melantunkan shalawat di hadapan Paus Fransiskus sebagai bagian dari diplomasi budaya. Sementara di Mesir dan Turki, seniman Sufi kerap menghadirkan qasidah dan munajat di ruang-ruang lintas iman. Semua ini menunjukkan bahwa shalawat, di luar ruang ibadah Islam, seringkali hadir sebagai bahasa budaya dan persaudaraan.

Shalawat: Ekspresi Cinta dan Perintah Ilahi

Shalawat adalah doa sekaligus pujian kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam al-Qur’an, Allah Swt secara tegas memerintahkan umat Islam untuk bershalawat:

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56)

Rasulullah Saw pun menegaskan keutamaan shalawat dengan sabdanya:

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

“Barang siapa bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, shalawat bukan sekadar rangkaian lafaz, melainkan ibadah sekaligus wujud cinta kepada Nabi. Ia adalah jembatan ruhani yang menghubungkan hati seorang Muslim dengan sosok yang paling dicintainya, Muhammad Saw. Karena itu, sholawat bisa hadir di mana saja—di masjid, di majelis taklim, di rumah, bahkan di panggung-panggung budaya. Di manapun ia dilantunkan, shalawat tetap membawa ketenangan dan cahaya kasih sayang.

Hukum Memasuki Gereja: Perbedaan Pendapat Ulama

Ulama memiliki perbedaan pendapat tentang memasuki gereja. Umar bin Khattab r.a. pernah enggan masuk gereja. Ia khawatir ada najis dan syiar kesyirikan. Sebaliknya, sebagian sahabat tidak mempermasalahkannya. Ulama Hanafiyah menilai makruh.

Sementara itu Imam Nawawi dari Syafi’iyah membolehkan. Syaratnya, tidak ikut ritual mereka. Nabi Muhammad Saw pernah menerima delegasi Nasrani di Masjid Nabawi. Ia membiarkan mereka beribadah. Jadi, masuk gereja bukan haram mutlak, asalkan akidah terjaga.

Baca Shalawat di Gereja: Tingkatan Hukum dan Batasannya

Ulama membagi hukum membaca shalawat di gereja. Jika niatnya adalah syiar Islam, hukumnya mubah. Sholawat tidak boleh bercampur dengan ritual gereja dan harus dipahami sebagai doa khas Muslim. Selanjutnya hukumnya makruh jika menimbulkan kerancuan. Haram jika menyerupai atau sampai masuk pada bagian  dari ritual non-Muslim dan kehati-hatian sangat diperlukan dalam hal ini. Nabi Muhammad Saw bersabda:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud). 

Adapun terkait peristiwa yang menimpa Cak Nun, bahwa niat awal Cak Nun adalah menghadirkan cinta Rasulullah Saw. Ia ingin membangun jembatan kemanusiaan. Namun demikian, beberapa ulama sempat mengingatkan pentingnya syiar tetap berlandaskan syariat. Jangan sampai ada kesalahpahaman. Semua rumah ibadah sama dan Shalawat menjadi bagian ritual non-Islam.

Sholawat: Bahasa Cinta yang Universal

Sholawat memancarkan bahasa cinta dan membentangkan jembatan ruhani yang menghubungkan hati umat dengan Nabi Muhammad Saw; ia mampu menggerakkan siapa pun, bahkan mereka yang berbeda keyakinan, sehingga tugas kita adalah merawatnya dengan penuh adab dan mengikatnya dalam pagar syariat.

Tempat terbaik bershalawat tetaplah masjid. Jika shalawat hadir di gereja, itu pengingat rahmatan lil ‘alamin. Nabi Muhammad Saw adalah rahmat bagi seluruh alam. Shalawat adalah bahasa cinta universal dan merangkul semua manusia, tetapi kita sebagai muslim maka harus tetap berpegang teguh pada jati diri keislaman.

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa cinta kepada Rasulullah Saw adalah bagian dari iman. Cinta itu menemukan ekspresinya melalui sholawat, yang menjadi cermin keterikatan hati seorang Muslim kepada Nabinya.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Di sisi lain, Gus Dur kerap mengingatkan bahwa keteguhan akidah harus berjalan seiring dengan keluasan hati. Baginya, “Islam datang bukan untuk menghapus perbedaan, melainkan untuk menata agar perbedaan tidak menjadi sebab pertengkaran.”

Sejalan dengan itu, Buya Syafii Maarif menulis bahwa iman yang sejati akan memancarkan kasih, bukan kebencian. Seorang beriman tidak akan kehilangan identitas ketika menghormati yang berbeda, justru semakin menegaskan keindahan imannya.

Mengukuhkan Identitas dan Merajut Persaudaraan

Shalawat di ruang lintas iman pada hakikatnya menjadi pengingat bahwa Nabi Muhammad Saw diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi seluruh alam. Lantunan shalawat adalah bahasa universal cinta. Ia mampu merangkul siapa saja, melintasi batas-batas identitas, tanpa membuat seorang Muslim kehilangan jati dirinya.

Dengan shalawat, kita belajar bahwa cinta Nabi bukan hanya soal pribadi, tetapi juga jalan untuk merajut persaudaraan, menguatkan keimanan, dan menghadirkan Islam yang teduh sekaligus penuh kasih.(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement