Jejak Bayangan di Balik Kursi Kekuasaan
Siasat menteri selalu menjadi bahan pembicaraan. Dari ruang rapat istana hingga warung kopi pinggir jalan, masyarakat menebak-nebak: apakah menteri benar-benar melayani rakyat, atau sekadar menjaga wajah sang raja? Imam al-Ghazali dalam Nasihatul Muluk mengingatkan bahwa menteri adalah cermin bagi kerajaan. Jika cermin itu buram, raja akan melihat dunia dalam kabut.
الْوُزَرَاءُ عُيُونُ الْمُلُوكِ فَإِذَا خَانُوا أَعْمَوْهَا
“Para menteri adalah mata bagi raja. Jika mereka berkhianat, maka butalah mata itu.”
Kalimat ini membuat kita bertanya: ketika menteri menyusun siasat, apakah ia menajamkan pandangan negeri, atau justru membutakannya?
Selembar Kisah dari Pasar Desa
Beberapa tahun lalu, saya duduk di pasar desa, berbincang dengan seorang pedagang beras.
· “Pak, apa menurutmu pejabat itu mikir soal kita?”
· Ia tertawa kecil. “Mereka lebih mikir kursi daripada beras saya, Mas.”
Jawaban itu sederhana tapi menyentuh. Rakyat tahu, ketika menteri sibuk menjaga harmoni pura-pura dengan raja, kepentingan mereka sering tercecer di pinggir jalan.
Antara Ketaatan dan Pengkhianatan
Menteri memiliki dilema: setia pada raja, atau setia pada rakyat. Tapi Al-Ghazali menegaskan, setia kepada raja tidak boleh mengkhianati Allah dan manusia.
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.”
Jika menteri menutup mata atas kebijakan zalim hanya demi menyenangkan raja, maka ia bukan lagi pelayan rakyat, melainkan pengkhianat titipan Tuhan.
Fenomena Sosial: Negeri yang Digiring ke Sudut Sempit
Kita menyaksikan fenomena sosial yang berulang. Menteri-menteri pandai membuat narasi indah di televisi, namun di lapangan rakyat tak merasakan manfaat. Inilah bentuk siasat yang kehilangan nurani. Mereka tak sadar bahwa sejarah selalu mencatat pengkhianatan.
Al-Qur’an sudah memberi peringatan tegas:
وَلَا تَكْتُمُوا ٱلْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ (البقرة: ٤٢)
“Dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya.”
Menyembunyikan kebenaran demi menjaga tahta hanyalah jalan pintas menuju kehancuran.
Riset yang Menguatkan
Sebuah laporan dari World Bank (2022) menunjukkan bahwa kualitas birokrasi—termasuk integritas menteri—berkorelasi langsung dengan tingkat kepercayaan publik. Negara dengan pejabat yang berani menolak kebijakan salah memiliki indeks kepercayaan masyarakat 35% lebih tinggi dibanding negara yang dipenuhi “yes man”.
Al-Ghazali menulis:
إِذَا كَانَ الْوَزِيرُ أَمِينًا كَانَ الْمُلْكُ مَصُونًا
“Apabila menteri itu amanah, maka kerajaan akan terjaga.”
Siasat yang Menjadi Cermin
Ada menteri yang memilih siasat bijak: ia tahu kapan diam, kapan bicara, kapan menolak, kapan mendukung. Siasat ini bukan untuk menyelamatkan dirinya, tapi untuk menjaga agar rakyat tidak menjadi korban. Inilah yang dimaksud Al-Ghazali sebagai siasat mulia: kecerdikan yang dipandu iman, bukan kelicikan yang dituntun ambisi.
Renungan Singkat
Siasat tanpa iman hanyalah akal bulus.
Siasat dengan iman menjadi strategi penyelamat.
Rakyat tidak butuh menteri yang pintar berbicara, tapi menteri yang berani menanggung risiko demi kebenaran.
Bayangkan seorang menteri berbisik kepada rajanya:
“Tuan, kebijakan ini melukai rakyat.”
Raja terdiam, lalu bertanya, “Apakah engkau menentangku?”
Menteri menjawab, “Aku tidak menentangmu, aku hanya menjaga agar engkau tidak menentang Tuhan.”
Dialog seperti ini jarang terdengar di ruang kekuasaan. Tapi jika terjadi, negeri akan terselamatkan.
Langkah Praktis untuk Negeri yang Jernih
1. Mendorong keberanian berbicara benar di dalam kabinet.
2. Membangun budaya kritik sehat antara menteri dan raja/presiden.
3. Menanamkan nilai spiritual jabatan, agar menteri ingat bahwa rakyat adalah amanah Allah.
4. Mengawasi transparansi publik, supaya rakyat tahu arah kebijakan.
5. Menghargai siasat bijak, bukan siasat licik.
Kita butuh menteri yang tidak takut kehilangan jabatan, tapi takut kehilangan ridha Allah. Siasat yang mereka susun seharusnya bukan untuk melanggengkan kekuasaan semu, melainkan untuk menyalakan cahaya keadilan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ
“Orang yang dimintai nasihat adalah orang yang dipercaya.” (HR. Abu Dawud)
Menteri adalah orang yang dimintai nasihat. Jika ia berkhianat, maka seluruh kerajaan kehilangan sandaran.
Ya Allah, karuniakanlah negeri ini para menteri yang amanah, yang menyusun siasat dengan jernih, bukan dengan licik. Lindungilah pemimpin kami dari pengkhianatan orang dekatnya. Bimbinglah kami agar selalu memilih jalan kebenaran, meski pahit terasa.
Apakah kita rela negeri ini terus dipandu oleh siasat licik, atau kita berani menuntut siasat yang berpihak kepada nurani?
* Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
