SURAU.CO. Setiap bulan Rabi‘ul Awal, umat Islam di berbagai penjuru dunia menggelar majelis shalawat dan maulid Nabi Muhammad Saw. Lantunan kitab-kitab klasik seperti Al-Barzanji, Adz-Dhiba‘i, Simṭuddurar, hingga Burdah karya Imam al-Bushiri menggema di masjid-masjid, langgar, dan majelis taklim. Tradisi ini tidak lahir tiba-tiba, tetapi memiliki akar sejarah yang panjang. Salah satu tokoh penting yang pertama kali mempopulerkannya dalam skala luas adalah Shalahuddin al-Ayyubi, panglima besar penakluk Yerusalem.
Bagi Shalahuddin, shalawat bukan sekadar untaian pujian. Ia adalah sarana membangun kekuatan ruhani umat yang terpecah belah di tengah gelombang Perang Salib. Inilah yang membuatnya dikenang bukan hanya sebagai jenderal perang, tetapi juga sebagai pemimpin spiritual umat.
Riwayat Hidup Shalahuddin: Dari Tikrit ke Yerusalem
Shalahuddin al-Ayyubi lahir pada tahun 1137 M (532 H) di Tikrit, Irak, dengan nama lengkap Shalahuddin Yusuf bin Ayyub. Ia berasal dari keluarga Kurdi yang sederhana namun terpandang. Ayahnya, Najmuddin Ayyub, adalah pejabat lokal yang kemudian menjadi gubernur di bawah kekuasaan Dinasti Zengid.
Sejak kecil, Shalahuddin tumbuh di lingkungan ilmu. Ia belajar agama, fiqih, astronomi, dan geometri, sekaligus mengasah kemampuan strategi militer. Lingkungan Damaskus dan kemudian Mesir membentuk kariernya. Pamannya, Asaduddin Syirkuh, seorang panglima besar Dinasti Zengid, turut membawanya dalam ekspedisi militer ke Mesir. Dari sinilah jalan sejarah Shalahuddin dimulai.
Ketika Dinasti Fatimiyah melemah, Shalahuddin tampil sebagai tokoh penting. Setelah wafatnya pamannya, ia diangkat menjadi wazir Mesir pada usia muda. Tidak lama kemudian, ia berhasil menghapus pengaruh Fatimiyah yang Syiah Ismailiyah dan mengembalikan Mesir ke pangkuan Sunni. Dari Mesir, langkah Shalahuddin semakin kokoh hingga ia mendirikan Dinasti Ayyubiyah, menyatukan Suriah, Mesir, Hijaz, Yaman, dan sebagian Irak di bawah kepemimpinannya.
Profil Singkat Shalahuddin:
Nama Lengkap: Shalahuddin Yusuf bin Ayyub
Lahir: 1137 M, Tikrit, Irak
Wafat: 4 Maret 1193 M, Damaskus, Suriah
Peran: Panglima, Sultan Mesir & Suriah, pendiri Dinasti Ayyubiyah
Jasa Besar: Merebut kembali Yerusalem dari pasukan Salib (1187 M)
Warisan Spiritual: Penggerak majelis shalawat dan perayaan maulid Nabi ﷺ
Peran Shalahuddin dalam Membangun Persatuan Umat
Pada abad ke-12, dunia Islam berada dalam kondisi tercerai-berai. Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah, sementara Suriah, Mesir, dan Hijaz terpecah di bawah kekuasaan lokal. Perpecahan inilah yang dimanfaatkan pasukan Salib untuk menguasai Yerusalem pada tahun 1099 M.
Shalahuddin menyadari bahwa kekuatan militer saja tidak cukup untuk membangkitkan umat. Ia memperkuat spiritualitas dengan mendorong tradisi maulid Nabi dan shalawat berjamaah. Majelis-majelis ini menjadi ruang kebangkitan ruhani:
- Membangkitkan kecintaan kepada Rasulullah Saw.
- Menyatukan umat yang tercerai-berai.
- Menyalakan semangat juang dan keberanian.
Di masjid-masjid besar Damaskus dan Kairo, gema shalawat dan kisah sirah Nabi menggugah hati umat. Para ulama menulis syair pujian kepada Rasulullah Saw, yang kelak melahirkan karya monumental seperti Al-Barzanji dan Adz-Dhiba‘i. Dukungan Shalahuddin meletakkan dasar tradisi shalawat berjamaah yang bertahan hingga kini.
Kemenangan Yerusalem dan Akhlak Mulia Shalahuddin
Puncak kejayaan Shalahuddin terjadi pada tahun 1187 M, ketika ia memenangkan Pertempuran Hattin dan berhasil merebut kembali Yerusalem dari pasukan Salib. Namun, yang membuat namanya harum hingga kini bukan hanya kemenangan militer, melainkan akhlak dan kebijaksanaannya.
Ketika memasuki Yerusalem, Shalahuddin tidak melakukan pembalasan dendam. Kaum Nasrani diberi jaminan keamanan, bahkan dilindungi hak-haknya. Sikap penuh welas asih ini membuat dunia Barat menjulukinya The Noble Enemy (musuh yang mulia). Sejarawan Barat, Stanley Lane-Poole, menulis bahwa “Shalahuddin adalah tokoh yang mampu memadukan keberanian seorang ksatria dengan kemurahan hati seorang sufi.”
Sikap ini menunjukkan bahwa keberanian Shalahuddin lahir dari fondasi spiritual yang kokoh. Majelis shalawat dan sirah Nabi bukan hanya ritual, tetapi sumber energi moral yang menumbuhkan kasih sayang, keberanian, dan keteladanan.
Warisan Shalahuddin: Tradisi Shalawat yang Berkelanjutan
Dukungan Shalahuddin terhadap tradisi maulid dan shalawat berjamaah telah mengubah wajah dunia Islam. Dari gerakan inilah lahir karya-karya sastra keagamaan yang terus hidup sepanjang zaman.
Di Nusantara, gema shalawat itu terasa melalui Simṭuddurar karya Habib Ali al-Habsyi, Burdah karya Imam al-Bushiri, Al-Barzanji karya Ja‘far al-Barzanji, dan Adz-Dhiba‘i karya Ibn Diba‘. Karya-karya ini tidak hanya melestarikan pujian kepada Rasulullah Saw, tetapi juga menumbuhkan cinta, semangat perjuangan, dan persatuan umat Islam.
Hingga hari ini, tradisi shalawat berjamaah masih menjadi identitas kultural umat Islam di banyak negeri. Dari masjid hingga pesantren, dari Timur Tengah hingga Nusantara, shalawat menjadi media pemersatu lintas generasi.
Warisan Spiritual Shalahuddin al-Ayyubi
Shalahuddin al-Ayyubi bukan sekadar panglima yang gagah di medan perang. Ia adalah simbol pemimpin yang memahami bahwa kekuatan umat Islam tidak hanya lahir dari pedang, tetapi juga dari cinta Rasulullah Saw. Dengan shalawat dan maulid, ia menyatukan hati yang tercerai-berai, lalu mengantarkan umat kepada kejayaan.
Maka, setiap kali kita membaca shalawat di bulan Rabi‘ul Awal, sejatinya kita sedang menyambung warisan spiritual yang pernah dihidupkan oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Dari Tikrit yang sederhana, ia melangkah menjadi tokoh dunia yang mengubah sejarah, pengakuan bukan hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh dunia Barat sebagai ksatria mulia yang memadukan kekuatan, kasih sayang, dan spiritualitas. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
