SURAU.CO – Negara menjamin pemenuhan hak-hak kelompok difabel. Mulai dari payung hukum dalam bentuk peraturan, kemudian memastikan terlaksananya kebijakan tersebut hingga terasa dampaknya. Salah satunya adalah pelaksanaan prinsip aksesibilitas–kemudahan yang tersedia bagi difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan. Aksesibilitas ini berupa fisik dan non fisik. Dalam Islam, memberikan aksesibilitas ini sama dan sebangun dengan istilah ‘taysir’.
Prinsip Taysir
Kemudahan (taysir) merupakan salah satu prinsip penting dalam Islam. Prinsip ini anugerah dan karunia dari Allah, agar manusia tetap bersemangat dan tekun dalam menjalankan ajaran agama. Khususnya ketika manusia berada dalam situasi sulit. Artinya, setiap kesulitan menuntut adanya kemudahan (al-masyaqqah tajlib al-taysir).
Allah Swt berfirman:
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
Artinya:“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS al-Baqarah [2]: 185).
Tujuan Taysir
Berbagai kemudahan Allah berikan tentunya untuk tujuan dan maksud yang mulia. Pertama, memastikan agar manusia dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu. Kedua, memotivasi manusia agar rajin dan semangat menjalankan agama, lantaran bisa mereka lakukan dengan mudah dan tanpa kesulitan. Ini menjadi bagian dari prinsip Islam, yakni menghilangkan segala bentuk kesulitan.
Jika merujuk dalam al-Quran, terdapat beberapa ayat yang menyebutkan bahwa Allah sama sekali tidak menghendaki kesulitan bagi para hamba-Nya.
مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. al-Maidah: 6)
Allah juga berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj: 78)
Allah juga menegaskan bahwa Dia tidak membebani jiwa manusia di luar batas kemampuannya.
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. al-Baqarah:286)
Keringanan beribadah bagi difabel
Allah juga memberi keringanan, bagi mereka yang memiliki hambatan secara fisik, sehingga tidak bisa melakukan kewajiban selayaknya kaum muslimin lain lakukan . Suatu misal, terdapat riwayat muslim difabel memiliki keinginan untuk bergabung jihad, namun keterbatasan fisiknya tidak memungkinkan bagi mereka untuk ikut jihad. Meskipun mereka tidak ikut, Allah tetap memuji mereka.
لَّيْسَ عَلَى ٱلۡأَعۡمَىٰ حَرَجٞ وَلَا عَلَى ٱلۡأَعۡرَجِ حَرَجٞ وَلَا عَلَى ٱلۡمَرِيضِ حَرَجٞۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدۡخِلۡهُ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۖ وَمَن يَتَوَلَّ يُعَذِّبۡهُ عَذَابًا أَلِيمٗا
Artinya: Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih. (QS. Al-Fath: 17)
Allah memberikan keringanan bagi umat-Nya dalam beribadah. Ketika dia tidak mampu melaksanakan dengan sempurna, dia dapat melaksanakannya sesuai kemampuannya. Allah berfirman:
فَاتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ
Artinya: Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian (QS. At-Taghabun: 16)
Larangan Rasulullah memaksakan gerakan shalat saat sakit
Karena itu, pernah terdapat riwayat Rasulullah mengizinkan seseorang untuk shalat semampunya. Sahabat Imran bin Hushain menderitat wasir, sehingga menyulitkan beliau untuk shalat dengan sempurna.
Rasulullah berkata kepadanya:“Shalatlah sambil berdiri, jika kamu tidak mampu sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu, sambil berbaring miring.” (HR. Bukhari).
Ketika seorang muslim tidak mampu duduk secara sempurna, baik iftirasy (duduk tahiyat awwal) maupun tawarru’(duduk tahiyat akhir ), ia bisa duduk sekemampuannya.Bahkan Rasulullah melarang umatnya memaksakan fisik untuk melakukan gerakan yang membuat diri kesakitan.
Beberapa dalil tersebut menjadi landasan bahwa difabel dapat mengambil kemudahan atau keringanan dalam beribadah dengan cara melakukan gerakan sesuai dengan kemampuannya.
Pendekatan fikih dalam isu difabel
Selain pesan-pesan moral dalam pemenuhan hak difabel, terdapat pula pendekatan lain yang sering digunakan untuk menyelesaikan masalah, termasuk masalah bagi difabel, yaitu pendekatan fikih.
Fikih dapat merambah pada masalah kelompok difabel untuk menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan hambatan difabel dalam pandangan dan pemahaman ajaran Islam yang dari teks al-Qur’an dan Hadis. Sehingga akhirnya fikih bukan saja sekumpulan ketentuan hukum (legal-formal), melainkan juga kerangka etika moral sosial yang esensial untuk memandu kehidupan manusia yang adil, maslahah, manusiawi, dan bijaksana untuk pemenuhan hak difabel.
Fikih sangat bisa mendukung semua strategi mencari penyelesaian masalah hukum keagamaan kelompok difabel, karena naluri fikih yang selalu memperhatikan dasar-dasar kebaikan (kemaslahatan) dan meminimalisir segi risiko keburukan (mafsadah) yang mungkin timbul.
Sebagaimana kaidah fikih yang dikemukakan Imam Jalaluddin asSuyuthi:
الضّرَرُ يُزَالُ
Artinya:“Bahaya itu (harus) dihilangkan”.
Bahkan sekiranya ada dua faktor tarik menarik antara bahaya (kerugian) dan kepentingan (keuntungan, kemaslahatan), maka yang menjadi prioritas adalah menghilangkan bahaya.
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya: “Mencegah kerusakan harus lebih utama daripada mengambil kemaslahatan.”
Jika terjadi pertentangan antara kerusakan (mafsadah) dan kesejahteraan (maslahah) maka biasanya yang diutamakan adalah penolakan (terjadinya) kerusakan.
Mengingat pentingnya memenuhi hak penyandang disabilitas, terutama dalam masalah hak untuk menjalankan agamanya, maka pemenuhan hak itu bisa merupakan perintah wajib bagi setiap muslim.
Karena terdapat kaidah :
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Artinya: “Sesuatu yang mana perkara yang wajib tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali dengan sesuatu tersebut, maka sesuatu tersebut adalah wajib”.
Artinya, jika menjalankan agama, terutama sholat merupakan perintah wajib, maka mewujudkan sarana atau fasilitas untuk memenuhi hak difabel hukumnya juga wajib. Ini harus menjadi perhatian negara untuk memastikan aksesibilitas fisik dan non-fisik bagi difabel untuk beribadah. Peraturan, anggaran, sosialisasi dan edukasi harus segera terimplementasikan.
Dengan demikian, melalui kaidah-kaidah yang menekankan kemaslahatan dan mencegah mafsadah, jelas bahwa pemenuhan hak-hak difabel—khususnya hak beribadah—bukanlah suatu pilihan tambahan, melainkan kewajiban syar’i yang harus terwujud demi tercapainya kehidupan beragama dan praktik ibadah yang inklusif, sebagaimana tujuan hadirnya agama Islam yakni rahmatan lil ‘alamin.(St.Diyar)
Referensi: Lembaga Bahtsul Masail PBNU, FIQIH PENGUATAN PENYANDANG DISABILITAS, 2018.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
