Ada satu kalimat yang terus bergetar di hati saya setiap kali menyelami kitab Kimiya’us Sa’adah: cinta Allah itu bukan sekadar perasaan, tapi ikatan halus yang tidak pernah bisa putus. Cinta ini lebih dalam daripada logika, lebih kuat daripada luka, lebih lembut daripada belaian angin subuh.
Ketika kita bicara tentang cinta Allah, jangan bayangkan ia hanya hadir di masjid atau majelis dzikir. Ia justru bergetar di ruang-ruang kecil kehidupan: pada sepiring nasi yang mengenyangkan, pada pelukan ibu, atau pada kesempatan kedua yang Tuhan beri setelah kita jatuh. Di situlah, ikatan itu terasa nyata.
Saat Hati Menyadari Keintiman yang Tak Terlukiskan
Ada satu kisah sederhana. Seorang sahabat saya pernah bercerita, betapa hidupnya terasa hampa meski semua kebutuhan materi terpenuhi. Rumah ada, kendaraan ada, pekerjaan mapan. Tapi ada rongga kosong di dada yang tidak bisa diisi apa pun. “Aku baru sadar,” katanya lirih, “yang hilang itu bukan rezeki, tapi rasa dekat dengan Allah.”
Firman Allah menjadi jawaban atas kegelisahannya:
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan orang-orang yang beriman itu sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Ayat ini bukan hanya kalimat indah, tapi cermin yang menampar. Kita sibuk mencintai dunia, mencintai pengakuan, bahkan mencintai gengsi. Tapi apakah cinta Allah masih kita letakkan di pusatnya?
Dialog Kecil di Tengah Sunyi
Kadang, cinta Allah terasa lewat percakapan kecil dengan diri sendiri.
- “Kenapa aku masih bisa bernapas padahal tadi lalai shalat?”
- “Kenapa rezeki tetap mengalir meski aku sering lupa bersyukur?”
- “Apakah ini bukan cinta Allah yang terlalu besar untuk aku dustakan?”
Dialog batin itu, sesederhana apa pun, adalah pintu pulang.
Menyulam Makna di Tengah Hiruk Pikuk
Di jalanan kota, saya sering melihat kontras: orang-orang mengejar sesuatu yang belum tentu membahagiakan. Motor-motor berdesakan, wajah-wajah letih menunggu lampu hijau, dan di antara mereka ada yang menggumamkan doa. Kita kadang lupa, bahwa di balik setiap detik hiruk pikuk itu ada Allah yang menunggu disapa.
Cinta Allah bukan tentang menjauh dari dunia, melainkan menyulam makna di tengah dunia. Seperti kata Rasulullah ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kalian dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Di situlah cinta Allah bekerja—ia tidak peduli pada topeng, tapi pada denyut hati yang jujur.
Renungan Singkat
Cinta Allah itu hadir ketika:
- Kita jatuh, lalu diberi kesempatan bangkit.
- Kita takut, tapi tiba-tiba merasa tenang tanpa alasan logis.
- Kita kehilangan, lalu menemukan makna yang lebih dalam.
Ketika Ilmu Bertemu Rasa
Riset psikologi menyebutkan bahwa manusia yang merasa “punya koneksi spiritual” cenderung lebih tahan menghadapi stres dan rasa sakit. American Psychological Association (APA) pernah menegaskan, spiritualitas bisa menjadi sumber kekuatan mental. Bukankah ini selaras dengan janji Allah dalam Al-Qur’an?
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Sains hanya membuktikan sesuatu yang sejak lama sudah Allah bisikkan dalam kitab-Nya.
Langkah Praktis Menjaga Cinta Allah
- Luangkan ruang hening meski hanya 5 menit sehari, untuk mengingat Allah tanpa distraksi.
- Cari jejak-Nya dalam keseharian, dari senyum anak kecil hingga dedaunan jatuh.
- Perbanyak doa kecil, bahkan sesederhana “Ya Allah, jangan lepaskan aku.”
- Bersahabat dengan Al-Qur’an, bukan sekadar dibaca tapi didengar suaranya di hati.
Mengikat Hati dengan Benang yang Tak Terputus
Cinta Allah itu bukan teori, bukan sekadar kata indah di ceramah. Ia adalah benang halus yang tetap menyambung meski kita sering lupa. Satu-satunya cara agar benang itu tidak mengendur adalah dengan terus menggenggamnya, meski tangan kita gemetar.
Seorang kiai pernah berkata, “Allah itu terlalu besar untuk ditinggalkan. Bahkan ketika kau merasa meninggalkan-Nya, sebenarnya Dia masih menggenggammu.”
Penutup: Menemukan Kasih dalam Hal-Hal Sederhana
Di ujung perjalanan, kita sering menemukan bahwa cinta Allah itu hadir dalam hal-hal sederhana. Selembar daun yang jatuh, tawa seorang anak kecil, bahkan keheningan malam ketika semua orang tertidur. Dalam setiap detail itu, ada tanda-tanda kasih-Nya yang tak putus.
Maka siapa pun kita—lemah, rapuh, sering salah—selalu punya satu pegangan yang tidak pernah patah: cinta Allah. Cinta itu tidak meminta syarat, tidak menuntut kesempurnaan. Ia hanya menunggu kita kembali, dengan langkah sekecil apa pun, agar ikatan itu terus terjaga.
اللهم ارزقنا حبك وحب من يحبك وحب عمل يقربنا إلى حبك
Aamiin.
*Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
