Bayangan yang Menutupi Cahaya
Ketika seorang menteri kehilangan integritas dan memilih jalan menjilat demi selamat, negeri perlahan menjadi ladang sawah mereka sendiri. Padahal dalam pandangan Imam al-Ghazali di Nasihatul Muluk, menteri adalah “penopang keadilan” sekaligus “cermin kebijaksanaan.” Jika menteri rusak, ia tidak hanya meruntuhkan dirinya, tapi juga menggoyahkan fondasi negeri.
إِذَا فَسَدَ الْوُزَرَاءُ ضَاعَ الْمُلْكُ
“Apabila para menteri rusak, maka hancurlah kerajaan.”
Kata-kata itu terasa seperti dentuman gong di tengah kesunyian: pengingat bahwa pengkhianatan menteri bukan hanya soal pribadi, melainkan soal masa depan bangsa.
Suara Rakyat di Warung Kopi
Di warung kopi kampung, saya mendengar dua kawan lama bercakap.
· “Kok menteri itu selalu setuju aja sama bosnya, padahal jelas kebijakannya ngawur?”
· “Ya, namanya juga penjilat. Asal dapat kursi aman, rakyat dikorbankan pun rela.”
Dialog singkat itu menggambarkan betapa rakyat bisa menilai: mana pemimpin yang jujur, mana pejabat yang sekadar ikut arus. Kepercayaan masyarakat runtuh bukan karena propaganda, melainkan karena sikap menteri yang menggadaikan prinsip.
Ketika Kursi Jadi Lebih Berharga daripada Nurani
Seorang menteri penjilat akan lebih sibuk menjaga kursinya daripada menjaga hati rakyat. Ia menutupi kesalahan pemimpin, bahkan membelanya habis-habisan, bukan karena kebenaran, melainkan karena takut kehilangan jabatan.
Imam al-Ghazali menulis:
مَنْ أَطَاعَ السُّلْطَانَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Barang siapa menaati penguasa dalam bermaksiat kepada Allah, maka sungguh ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Ketika ketaatan berubah menjadi pengkhianatan, negeri pun kehilangan arah.
Fenomena Sosial yang Mengulang Sejarah
Dari zaman kerajaan hingga era modern, kita selalu menemukan menteri yang memilih aman dengan cara menjilat. Mereka pandai merangkai kalimat indah untuk menyenangkan penguasa, tapi lupa bahwa rakyat adalah penguasa sejati.
Al-Qur’an sudah memberi peringatan:
وَلَا تَرْكَنُوٓا إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ (هود: ١١٣)
“Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”
Ayat ini seakan berbicara langsung: berhati-hatilah ketika memilih untuk menjilat, karena yang kamu jilat adalah kezaliman itu sendiri.
Riset dan Fakta Lapangan
Sebuah studi Transparency International (2023) menunjukkan bahwa negara dengan budaya “yes man” di kabinetnya cenderung memiliki indeks korupsi lebih tinggi dan tingkat ketidakpuasan publik lebih parah. Sebaliknya, negara yang menterinya berani berbeda pendapat demi rakyat, tingkat kepercayaannya bisa melonjak hingga 40%.
Ini sejalan dengan hikmah Al-Ghazali:
إِذَا كَانَ الْوُزَرَاءُ صَادِقِينَ صَلَحَتِ الْمَمْلَكَةُ
“Apabila para menteri jujur, maka baiklah kerajaan itu.”
Renungan di Tengah Hiruk Pikuk Kekuasaan
Penjilat bisa bertahan sebentar, tapi rakyat akan mengingat luka yang ditinggalkan.
Menteri bukan sekadar pengikut, ia adalah penyeimbang antara kekuasaan dan nurani.
Kursi jabatan tak akan menyelamatkan di hadapan Allah jika nurani dijual.
Keteladanan yang Diharapkan
Bayangkan seandainya menteri memilih jalan lurus. Ia berani berkata, “Tuan, kebijakan ini melukai rakyat.” Ia rela kehilangan jabatan, tapi tetap menjaga martabat. Sikap ini tidak membuatnya lemah, justru menjadikannya penopang kuat bagi pemimpin yang mungkin lupa arah.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Sabda ini adalah cermin yang tak terbantahkan: menteri sejati bukanlah penjilat, melainkan penegak kebenaran.
Langkah Praktis Agar Negeri Tidak Jadi Ladang Mereka
1. Membangun budaya kritik sehat di dalam kabinet, bukan sekadar formalitas rapat.
2. Mendorong transparansi dalam setiap kebijakan, agar rakyat bisa mengawasi.
3. Menumbuhkan spiritualitas jabatan, dengan mengingat bahwa kekuasaan hanyalah titipan.
4. Mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai atau pribadi.
5. Menghormati keberanian berkata benar, meskipun itu pahit didengar pemimpin.
Doa Penutup
Ya Allah, lindungilah negeri kami dari menteri yang menjilat, yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang pribadinya. Anugerahkanlah pemimpin dan pembantu pemimpin yang jujur, berani, dan tulus mencintai rakyat.
Apakah kita akan terus membiarkan negeri ini jadi ladang sawah mereka, atau kita mulai merawatnya kembali sebagai taman bersama?
* Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
