Nikmat yang sering kita abaikan
Syukur bukan hanya ucapan, melainkan cara melihat dunia. Dalam Kimiyaus Sa’adah, Imam al-Ghazali menyebut syukur sebagai cahaya yang membuka mata hati. Ia bukan sekadar berkata “Alhamdulillah” di bibir, melainkan kesadaran bahwa setiap butir nasi dan setetes air adalah surga kecil yang dititipkan Allah kepada kita.
Pernahkah kita makan sepiring nasi tanpa sempat merasakannya? Kita sibuk dengan ponsel, mengunyah dengan tergesa. Padahal, di luar sana, ada orang yang menatap piring kosong dengan perut keroncongan. Syukur adalah seni menghargai hal-hal sederhana yang sering kita abaikan.
Piring nasi di meja kayu
Saya masih ingat masa kecil di rumah desa. Meja kami sederhana, terbuat dari kayu rapuh, kadang sedikit miring. Tapi ketika ibu menyajikan nasi hangat, sayur bening, dan sambal terasi, meja itu terasa seperti meja surga.
Kami makan sambil bercanda, kadang rebutan lauk, kadang hanya ditemani kerupuk. Kini, ketika hidup makin sibuk dan makanan makin berlimpah, justru rasa nikmat itu sering hilang. Dari situ saya belajar, syukur bukan soal banyaknya rezeki, melainkan cara hati memandangnya.
Firman yang menyadarkan
Allah ﷻ berfirman:
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Ayat ini bukan ancaman kaku, melainkan undangan mesra. Allah seakan berkata: “Hargailah apa yang kau miliki, maka Aku akan menambahnya.” Syukur, ternyata, adalah pintu rezeki.
Syukur yang lahir dari luka
Kita sering baru belajar syukur setelah kehilangan. Seorang teman pernah bercerita, ia baru sadar nikmatnya udara ketika harus berhari-hari memakai tabung oksigen di rumah sakit.
“Baru aku tahu, setiap tarikan napas gratis yang Allah beri itu adalah hadiah.”
Saya hanya terdiam. Bagaimana mungkin sesuatu yang kita lakukan setiap detik, yang begitu otomatis, bisa terlupakan dari daftar nikmat?
Syukur kadang perlu ditempa oleh luka, agar kita benar-benar paham.
Dunia yang lapar meski kenyang
Fenomena hari ini memperlihatkan betapa banyak orang kenyang tapi tetap merasa lapar. Lapar bukan karena kurang makan, tapi karena kurang syukur.
Sebuah riset dari Harvard Health Publishing (2019) menyebutkan bahwa menuliskan tiga hal kecil untuk disyukuri setiap hari terbukti meningkatkan kebahagiaan dan menurunkan tingkat depresi. Ilmiah membenarkan apa yang Al-Qur’an ajarkan sejak berabad-abad lalu: syukur adalah obat jiwa.
Renungan Singkat
San tidak mengubah nasi jadi emas, tapi membuat nasi sederhana terasa seperti hidangan raja.
Syukur bukan hanya ucapan
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ
“Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi)
Syukur itu konkret. Ia bisa berupa senyum pada orang tua, ucapan terima kasih pada tukang parkir, atau berbagi sebagian rezeki pada yang membutuhkan. Ia bukan sekadar “Alhamdulillah”, melainkan aksi nyata.
Dialog batin antara lapar dan syukur
Lapar: “Aku masih kurang, aku ingin lebih.”
Syukur: “Kau sudah punya cukup untuk hidup hari ini, kenapa masih gelisah?”
Lapar: “Tapi aku iri dengan mereka yang punya banyak.”
Syukur: “Apa gunanya banyak kalau hatimu tetap kosong?”
Menemukan surga dalam kesederhanaan
Syukur bukan tentang menunggu kaya. Banyak orang sederhana yang hidupnya lebih damai karena bisa bersyukur, dibanding orang kaya yang terus merasa kurang.
Saya pernah melihat seorang bapak penjual gorengan, duduk di pinggir jalan, makan gorengan sisa jualannya dengan senyum lebar. Ia berkata, “Alhamdulillah, masih bisa makan, masih bisa pulang ketemu anak.” Saya terdiam, merasa kalah oleh kebahagiaan sederhana itu.
Langkah Praktis Menumbuhkan Syukur
- Tulis tiga nikmat kecil setiap hari – misalnya bisa tidur nyenyak, punya teman bicara, atau sekadar segelas teh hangat.
- Lambatkan saat makan – rasakan benar rasa nasi dan air, nikmati seakan itu hadiah.
- Ucapkan terima kasih – pada manusia yang kita temui, sekecil apa pun jasanya.
- Berbagi meski sedikit – karena berbagi adalah bentuk syukur yang paling nyata.
- Ingat kehilangan – bayangkan jika nikmat kecil itu diambil, maka hati lebih mudah menghargai.
Penutup: doa yang melembutkan hati
Ya Allah, jadikanlah kami hamba yang pandai bersyukur. Ajari kami menemukan surga-Mu bahkan di piring nasi sederhana dan segelas air putih yang Kau titipkan.
Sebab mungkin surga bukan hanya ada setelah mati, melainkan sudah hadir dalam rasa syukur yang kita rawat setiap hari. Jadi, sudahkah hari ini kita menemukan surga di piring nasi kita sendiri?
*Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
