Kesadaran yang menetes di hati
Taubat adalah jalan pulang yang paling anggun. Kalimat ini bukan sekadar nasihat dari para ulama, tapi semacam musik yang selalu berdentum di dada kita. Dalam Kimiyaus Sa’adah, Imam al-Ghazali menulis bahwa dosa itu seperti debu yang menutupi cahaya hati, dan taubat adalah angin lembut yang meniupkan kembali kejernihannya.
Kita semua pernah salah. Bahkan, mungkin setiap hari kita salah. Bedanya, ada yang menolak mengakuinya, ada pula yang menjadikannya alasan untuk pulang.
Sebuah malam di kamar sepi
Saat duduk sendirian di kamar yang gelap dengan suara kipas berputar lirih, saya merasakan kekosongan yang sulit didefinisikan. Kekosongan itu bukan karena lapar atau kegagalan, melainkan tumpukan rasa bersalah.
Saya teringat satu kata: taubat.
Namun bisikan lain muncul, “Terlambat. Dosamu sudah terlalu banyak.”
Lalu hati kecil menjawab: “Kalau pintu Allah tidak tertutup, kenapa kamu menutup pintu sendiri?”
Firman yang selalu jadi obat
Allah ﷻ berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah (wahai Muhammad): Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar: 53)
Ayat ini seperti tangan yang menuntun kita dari jurang ke jalan lapang.
Mengaku salah, bukan kalah
Kita sering menganggap pengakuan salah sebagai kelemahan, dan pembelaan diri sebagai kegagahan.Padahal, yang paling anggun justru orang yang berani berkata, “Ya Allah, aku salah.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak punya dosa.” (HR. Ibnu Majah)
Lihatlah betapa Allah meniadakan dosa hanya karena kita berani mengakuinya.
Renungan Singkat
Taubat bukan sekadar ritual, melainkan keberanian untuk menanggalkan topeng ego. Mengaku salah tidak membuat kita jatuh, justru itulah jalan pulang yang paling anggun.
Fenomena sosial: dunia yang takut mengaku salah
Di media sosial, kita jarang melihat orang berkata, “Maaf, saya keliru.” Justru yang terlihat adalah balapan saling menyalahkan. Budaya defensif ini menular ke kehidupan nyata: di rumah tangga, di politik, bahkan di masjid.
Riset psikologi menunjukkan, orang yang mampu mengakui kesalahan lebih sehat mentalnya. Menurut Journal of Positive Psychology (2017), pengakuan kesalahan dan permintaan maaf berhubungan langsung dengan peningkatan empati dan kualitas hubungan sosial. Artinya, taubat bukan hanya urusan spiritual, tapi juga kesehatan jiwa.
Dialog kecil dalam jiwa
Ego: “Kalau aku mengaku salah, harga diriku jatuh.”
Hati: “Justru harga dirimu naik di mata Allah.”
Ego: “Tapi orang lain mungkin akan merendahkan.”
Hati: “Apa gunanya tinggi di mata manusia, kalau jatuh di hadapan Tuhan?”
Dialog seperti itu sering muncul, hanya saja kita lebih sering memihak ego.
Jalan pulang yang tidak pernah ditutup
Al-Ghazali menggambarkan taubat sebagai rumah yang selalu membuka pintunya. Rumah itu akan selalu menunggu, tidak peduli seberapa sering kita kabur.
Yang terkadang mengunci justru kita sendiri: dengan gengsi, dengan rasa malu, dengan putus asa. Padahal Allah lebih dekat daripada alasan-alasan itu.
Langkah Praktis Menapaki Taubat
- Sadar dan jujur pada diri – berhenti menyalahkan orang lain.
- Menyesali dosa – bukan sekadar ingat, tapi benar-benar merasa pedih.
- Berhenti dari kesalahan – segera, bukan nanti.
- Niat tidak mengulang – meski mungkin jatuh lagi, niat itu yang menjaga.
- Isi dengan amal baik – karena cahaya hanya bisa masuk bila ruang hati dibersihkan.
Taubat sebagai seni hidup
Bisa jadi taubat bukan hanya soal dosa ritual, tapi juga tentang kebiasaan kecil: marah berlebihan, meremehkan orang, atau sekadar lupa bersyukur. Taubat adalah seni kembali.
Orang bijak tidak pernah mengakui kesempurnaan diri. Mereka terus kembali setiap kali tersesat. Karena itulah taubat disebut jalan pulang yang paling anggun. Taubat bukan tentang siapa yang melakukan dosa paling besar, melainkan tentang siapa yang memiliki kerendahan hati untuk kembali.
Penutup: doa dan simpul hati
Ya Allah, jangan biarkan kami malu untuk pulang. Jangan biarkan dosa membuat kami putus asa. Jadikanlah setiap salah yang kami lakukan sebagai alasan untuk semakin dekat dengan-Mu.
Mungkin, hidup ini sebenarnya bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling berani mengaku salah lalu pulang. Lalu, apakah kita sudah cukup berani untuk mengakuinya hari ini?
*Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
