Khazanah Opinion
Beranda » Berita » Marah Itu Boleh, Asal Tidak Menjadi Tuhan Palsu dalam Diri

Marah Itu Boleh, Asal Tidak Menjadi Tuhan Palsu dalam Diri

Ilustrasi filosofis marah sebagai api yang bisa membakar atau jadi cahaya kebenaran.
Ilustrasi manusia dengan dua sisi wajah: satu terbakar api, satu bercahaya lembut. Simbol marah yang bisa jadi bencana atau kekuatan.

Bara yang menyala di dalam dada

Marah adalah emosi yang manusiawi. Dalam kitab Kimiyaus Sa’adah, Imam al-Ghazali menyinggung bahwa marah laksana singa dalam dada manusia. Bila ia terkendali, bisa menjadi penjaga yang melindungi. Namun bila dilepas liar, marah bisa berubah menjadi “tuhan palsu” yang menuntut semua orang tunduk pada keinginannya.

Kita semua pernah merasakan amarah. Di jalanan ketika diserobot, di rumah ketika anak membantah, atau di kantor ketika dihina. Tidak ada yang salah dengan marah, yang salah adalah ketika kita memuja marah seolah ia penentu kebenaran.

Sebuah sore di halte bus

Saya pernah melihat seorang bapak di halte yang berteriak pada kondektur. Hanya karena uang kembalian kurang seribu rupiah.

“Kamu kira saya tidak butuh uang seribu?!” katanya keras.
Kondektur menunduk, wajahnya merah.
Orang-orang terdiam, sebagian menertawakan.
Saya hanya berpikir: seribu rupiah bisa membeli harga diri orang lain, ternyata.

Marah sering lahir dari hal-hal sepele, tapi bisa menciptakan luka panjang.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Petunjuk dari wahyu

Allah ﷻ mengingatkan:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Yaitu) orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 134)

Ayat ini tidak melarang marah, tetapi mengajarkan seni mengendalikannya. Menahan bukan berarti menekan sampai meledak, melainkan mengolahnya menjadi sikap bijak.

Api yang bisa melindungi

Rasulullah ﷺ pun pernah marah. Tetapi marah beliau selalu karena kebenaran diinjak, bukan karena ego pribadi dilukai. Beliau bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Hadis ini membalik tafsir kekuatan: bukan otot, melainkan kendali hati.

Renungan Singkat

Marah itu energi. Ia bisa jadi tameng melawan kezaliman, atau jadi pedang yang melukai orang yang kita cintai.

Fenomena sosial: era marah massal

Hari ini, media sosial jadi panggung marah berjamaah. Komentar pedas, hujatan, cancel culture—semua jadi tontonan harian. Amarah lebih mudah meledak karena anonim.

Riset dari Pew Research Center (2020) menunjukkan bahwa 64% pengguna internet pernah mengalami serangan verbal di dunia maya. Marah digital sering lebih tajam daripada marah di dunia nyata, karena tidak ada tatap muka, tidak ada empati langsung.

Apakah kita sadar, di balik setiap kata kasar di layar, ada hati manusia yang bisa retak?

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

 

Dialog kecil dalam hati

Ego: “Dia sudah menghina aku, aku harus balas!”
Hati: “Tapi balasanmu akan membuatmu sama rendahnya.”
Ego: “Kalau aku diam, aku kalah.”
Hati: “Kadang diam justru kemenangan paling besar.”

Dialog itu terjadi, tapi sering kita kalah sebelum sempat mendengarnya.

Jalan tengah ala al-Ghazali

Al-Ghazali menawarkan jalan tengah: jangan mematikan marah, tapi kendalikan dengan akal dan iman.

  • Bila amarah padam total, jiwa jadi penakut.
  • Bila amarah menyala tanpa kendali, jiwa jadi buas.
  • Bila amarah  dijaga di tengah, ia jadi kekuatan membela kebenaran.

Murka bukan untuk dipuja, bukan pula untuk dipendam. Ia harus diarahkan.

Langkah Praktis Mengelola Amarah

  1. Tarik napas dalam – jeda sejenak memberi ruang akal menenangkan emosi.
  2. Berwudhu – air memadamkan api. Rasulullah ﷺ menuntunkan ini saat marah.
  3. Ubah posisi – bila berdiri, duduk. Bila duduk, berbaring.
  4. Alihkan energi – gunakan amarah sebagai bahan doa atau karya.
  5. Berbicara dengan hati-hati – karena satu kata bisa jadi luka seumur hidup.

Ketika amarah jadi cermin

Bayangkan amarah seperti cermin. Ia memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya. Apakah kita budak ego atau hamba Allah? Amarah yang tak terkendali menjadikan kita “tuhan palsu” dalam diri—memaksa dunia tunduk pada hasrat kita.

Tetapi amarah yang ditata bisa menjadi doa, bisa menjadi pembelaan terhadap yang lemah, bisa menjadi suara kebenaran.

Penutup: doa dan pertanyaan terbuka

Ya Allah, ajari kami murka yang benar: marah karena-Mu, bukan murka karena ego kami. Jadikan bara di dada kami cahaya yang membela kebenaran, bukan api yang membakar cinta di sekeliling kami.

Lalu, dalam setiap amarah yang kita rasakan, apakah kita sedang membela kebenaran, atau sekadar memuja diri sendiri sebagai tuhan kecil?

 

*Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement