Khazanah Opinion
Beranda » Berita » Takabbur: Ketika Kita Ingin Menjadi Allah Kecil

Takabbur: Ketika Kita Ingin Menjadi Allah Kecil

Ilustrasi manusia sombong dengan bayangan kecil rapuh di tanah.
Ilustrasi filosofis takabbur: manusia yang ingin jadi besar, tapi bayangannya kecil dan rapuh.

Jejak bayangan yang menipu

Takabbur: ketika kita ingin menjadi Allah kecil. Begitu kira-kira Imam al-Ghazali dalam Kimiyaus Sa’adah menegur kita. Takabbur bukan sekadar kesombongan biasa, melainkan ilusi halus di mana manusia merasa dirinya pusat semesta. Kita merasa lebih pintar, lebih suci, lebih pantas dihormati. Padahal, pada hakikatnya kita hanyalah makhluk kecil yang hidup dari setetes air dan akan berakhir di tanah.

Di zaman medsos, takabbur punya panggung baru. Orang bisa mengedit hidupnya jadi gemerlap, lalu menyajikannya seolah tanpa cacat. Kita ingin orang lain kagum, padahal hati kita sendiri sering kosong.

Kisah sederhana dari pasar kecil

Saya pernah melihat seorang ibu penjual sayur di pasar. Dagangannya sedikit, untungnya tipis. Namun ketika ada ibu lain yang meminta harga lebih murah, ia tersenyum, “Ambil saja, Bu, semoga berkah.”

Sementara di tempat lain, ada pejabat berjas rapi yang marah-marah hanya karena kursinya tidak dipasang di barisan depan. Anehnya, justru orang yang tampak besar seringkali hatinya kecil, dan orang yang kelihatan kecil ternyata jiwanya luas.

Firman yang membalikkan ukuran

Allah ﷻ berfirman:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong. Sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS. Al-Isra: 37)

Ayat ini seakan menertawakan kesombongan manusia. Kita merasa hebat, padahal pijakan kaki pun tak mampu menembus tanah. Kita merasa tinggi, padahal tetap kerdil di hadapan gunung.

Dialog hati yang sering kita sembunyikan

Ego: “Aku lebih baik dari dia. Lihatlah prestasiku.”
Nurani: “Tapi bukankah semua itu hanya pinjaman dari Allah?”
Ego: “Tetap saja, aku pantas dihormati.”
Nurani: “Kalau begitu, hormat yang kau dapat hanyalah bayangan, bukan cahaya.”

Takabbur adalah racun yang tenang. Ia tidak langsung terlihat, tapi merusak pelan-pelan, terutama ketika kita mulai membandingkan diri dengan orang lain.

Sabda Nabi tentang ukuran sejati

Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji sawi dari kesombongan.” (HR. Muslim)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Lalu seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan orang yang suka memakai pakaian dan sandal yang indah?” Nabi menjawab,
“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”

Maka jelaslah, takabbur bukan soal baju, rumah, atau kendaraan, tapi soal hati yang merasa lebih tinggi dari orang lain.

 

Renungan Singkat

Takabbur adalah lupa diri. Orang yang sombong sesungguhnya bukan sedang naik derajat, tapi justru kehilangan arah.

Cermin sosial di zaman kita

Fenomena sombong kini bukan hanya soal harta atau jabatan. Di medsos, kesombongan bisa berupa merasa paling benar, paling Islami, atau paling terbuka. Semua orang punya panggung, semua orang bisa menuding.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Riset dari Journal of Personality and Social Psychology (2020) menunjukkan bahwa orang yang sering menampilkan “superioritas moral” di ruang publik justru cenderung memiliki rasa cemas dan ketidakpuasan yang lebih tinggi. Rupanya, kesombongan bukanlah bukti kekuatan, melainkan penutup rapuh bagi luka batin.

Siasat melawan kesombongan

Imam al-Ghazali menyarankan obatnya: mengingat asal-usul kita yang hina dan tujuan akhir kita yang fana. Kita tercipta dari tanah dan air, lalu kembali jadi tanah yang dipijak orang lain. Apa yang pantas kita sombongkan?

Orang yang sombong itu seperti balon. Ia terlihat besar, tapi di dalamnya hanya angin.

Langkah Praktis Meruntuhkan Takabbur

  1. Latih tawadhu. Belajar mendengar lebih banyak daripada bicara.
  2. Lihat ke bawah. Ingat bahwa ada orang yang hidupnya jauh lebih sulit.
  3. Koreksi diri. Tanyakan setiap malam: hari ini aku merendahkan siapa?
  4. Menyadari kematian. Ingat kubur agar ego mereda.
  5. Bergaul dengan orang sederhana. Kesombongan cair saat kita duduk sama rata.

Saat kita ingin jadi “Allah kecil”

Sombong sejatinya adalah ambisi manusia untuk menjadi “Allah kecil”: merasa paling kuasa, paling benar, paling layak disembah. Padahal, semakin kita ingin menjadi Allah kecil, semakin nyata kelemahan kita.

Sederhananya, manusia yang benar-benar besar justru tampak rendah hati. Laksana padi, semakin berisi semakin merunduk.

Penutup yang mengetuk

Ya Allah, jauhkan kami dari takabbur yang menghalangi cahaya-Mu. Jadikan kami hamba yang rendah hati, bukan budak ego. Biarkan hati kami tunduk hanya pada-Mu, bukan pada bayangan kebesaran diri.

Maukah kita belajar mengecilkan ego, agar jiwa kita membesar di hadapan Allah?

 

*Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement