Opinion
Beranda » Berita » Raja-Raja Besar yang Tumbang Karena Lupa Menimbang Keadilan

Raja-Raja Besar yang Tumbang Karena Lupa Menimbang Keadilan

Raja besar di singgasana retak dengan timbangan miring sebagai simbol kezaliman.
Ilustrasi filosofis tentang raja yang kehilangan keseimbangan keadilan, menyebabkan singgasananya runtuh.

Bayangan Megah yang Runtuh di Senyap Waktu

Sejarah selalu menyimpan nama besar yang pernah dielu-elukan rakyatnya. Ada raja yang mendirikan istana dari emas, ada pula penguasa yang menaklukkan daratan luas dari timur hingga barat. Namun, ketika keadilan tergadaikan demi keserakahan, takhta mereka pun runtuh secepat bangunan pasir diterpa ombak. Karena itu, setiap penguasa seharusnya sadar: kekuasaan hanya kokoh bila berdiri di atas keadilan.

Imam al-Ghazali dalam Nasihatul Muluk menegaskan bahwa keadilan adalah timbangan yang wajib dijaga. Kekuasaan bisa melambung setinggi langit, tetapi jika timbangan itu diabaikan, maka kekuasaan akan roboh bersama doa-doa rakyat yang teraniaya.

Jejak Luka dari Negeri yang Lupa Menimbang

Kita sering membaca kisah Babilonia yang megah atau Firaun dengan piramida menjulang. Mereka memang meninggalkan bukti kekuatan fisik, namun pada saat yang sama mereka juga meninggalkan jejak luka: rakyat yang dipaksa, buruh yang ditindas, dan keadilan yang diganti dengan ambisi. Oleh sebab itu, peradaban mereka tidak bertahan lama.

Al-Ghazali menulis dalam Nasihatul Muluk:

اَلظُّلْمُ مُؤْذِنٌ بِخَرَابِ الْعُمْرَانِ
“Kezaliman adalah pemberi kabar hancurnya sebuah peradaban.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Kalimat pendek ini seperti lonceng peringatan. Sebesar apa pun bangunan peradaban, bila keadilan runtuh, maka kehancuran hanya menunggu waktu.

Sepercik Kisah dari Tanah Kita

Di tanah air, kita bahkan tidak perlu menoleh jauh. Berulang kali kita mendengar berita pemimpin lokal yang terseret kasus korupsi. Kita juga menyaksikan janji-janji politik yang ditebar, namun tak pernah tumbuh menjadi kenyataan.

Saya pernah berbincang dengan seorang sopir angkot.

  • “Pak, apa sih yang Bapak harapkan dari pemimpin?”

  • Dia tersenyum getir, lalu menjawab, “Saya cuma mau bayar pajak, tapi jalan nggak bolong. Anak sekolah nggak harus pungutan macam-macam. Itu aja udah mewah.”

    Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Jawaban sederhana itu justru menohok. Bagi rakyat, keadilan bukanlah kata-kata besar, melainkan roti harian yang seharusnya bisa dinikmati setiap hari.

Keadilan Lebih Kokoh daripada Benteng

Banyak penguasa berusaha membangun benteng tinggi agar rakyat merasa aman. Namun, benteng terbesar bukanlah tembok batu, melainkan keadilan yang ditegakkan. Karena itu, negeri yang adil tidak mudah runtuh, meskipun tidak memiliki benteng fisik.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّوا ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِٱلْعَدْلِ (النساء: ٥٨)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.”

Ayat ini menegaskan fondasi negara: amanah dan adil. Keduanya lebih kuat daripada senjata, bahkan lebih tahan lama daripada tembok batu.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Suara yang Tak Didengar, Doa yang Menembus Langit

Imam al-Ghazali kembali mengingatkan:

إِيَّاكَ وَدَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهَا تُصْعِدُ إِلَى السَّمَاءِ كَأَنَّهَا شَرَارٌ
“Waspadalah terhadap doa orang yang dizalimi, karena ia naik ke langit seperti percikan api.”

Sejarah telah membuktikan. Firaun, Namrud, hingga penguasa modern yang otoriter akhirnya tumbang. Doa orang kecil yang tak dianggap, ternyata mampu merobohkan singgasana paling kokoh.

Renungan Singkat

  • Kezaliman adalah sinyal awal kehancuran peradaban.

  • Doa orang teraniaya dapat mengguncang singgasana penguasa.

  • Benteng sejati negeri adalah keadilan, bukan dinding beton.

  • Keadilan hadir bukan dalam pidato, melainkan dalam roti harian rakyat.

Dialog Sunyi yang Menggugah

  • “Apakah semua raja akan tumbang, Gus?”

  • “Tidak. Raja yang adil justru dikenang. Yang tumbang hanyalah yang lupa menimbang.”

Imam al-Ghazali menulis lagi:

إِذَا ظَلَمَ السُّلْطَانُ هَدَمَ الْبُنْيَانُ وَأَفْسَدَ الْأَعْمَارَ
“Jika seorang penguasa berlaku zalim, maka ia meruntuhkan bangunan dan merusak kehidupan.”

Membaca Ulang Nafas Kehidupan Negeri

Riset modern tentang negara gagal (Failed States Index) menunjukkan bahwa faktor terbesar kehancuran bukan sekadar kemiskinan. Justru korupsi, tirani, dan ketidakadilan hukum menjadi racun yang melumpuhkan negara dari dalam.

Kita dapat melihat banyak negeri yang kaya sumber daya alam, namun rakyatnya tetap miskin. Mengapa? Karena distribusi tidak adil, kekuasaan dijadikan komoditas, dan hukum diperalat. Maka, meski tampak kuat dari luar, negara seperti itu rapuh di dalam.

Langkah Praktis Menimbang Keadilan

  1. Jaga amanah kecil: dari uang parkir hingga jabatan, jangan dikorupsi.

  2. Berpihak pada yang lemah: bantu suara yang sering terpinggirkan.

  3. Berani mengoreksi: jangan diam ketika melihat ketidakadilan, sekecil apa pun.

  4. Hidup sederhana: karena keserakahan sering melahirkan ketidakadilan.

  5. Doakan pemimpin: sebab doa mampu mengubah arah negeri.

Doa di Ujung Perjalanan

Ya Allah, jangan biarkan kami ikut dalam barisan orang zalim. Jadikanlah pemimpin kami orang-orang yang menimbang dengan adil. Jangan biarkan negeri kami megah di luar, tetapi busuk di dalam.

* Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement