SURAU.CO- Kitab Akhlaq lil Banat karya Sayyid Umar bin Ahmad Baraja merupakan kitab akhlak klasik yang ditujukan bagi santri dan siswa madrasah, khususnya perempuan. Kitab ini hadir di abad ke-20, namun nilai-nilainya tetap segar hingga kini. Tujuannya adalah membentuk generasi muslimah yang beradab, berilmu, dan berakhlak mulia. Posisi kitab ini penting karena menekankan aspek etika keseharian, bukan hanya ilmu pengetahuan, sehingga layak dijadikan pegangan dalam pendidikan modern.
Imam Syafi’i dan Rasa Segan kepada Gurunya
Kisah pertama datang dari hubungan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dengan gurunya, Imam Malik. Imam Syafi’i berkata:
“Aku selalu membuka kertas di hadapan Imam Malik dengan sangat hati-hati, supaya beliau tidak mendengar suaranya.”
Sikap penuh hormat ini menunjukkan betapa besar segan seorang murid kepada gurunya. Bahkan membuka lembaran kitab pun dilakukan dengan penuh adab. Dalam dunia modern, kisah ini mengingatkan kita bahwa belajar tidak cukup hanya dengan menyerap ilmu, tetapi juga dengan menjaga etika terhadap orang yang mengajarkan.
Ar-Rabi’ bin Sulaiman dan Keagungan Cinta Guru
Ar-Rabi’ bin Sulaiman, murid dekat Imam Syafi’i, menuturkan:
“Demi Allah, aku tidak berani minum air sementara Imam Syafi’i memandang kepadaku karena aku segan kepadanya.”
Adab ini bukan sekadar formalitas, melainkan lahir dari cinta dan penghormatan. Bahkan Imam Syafi’i pernah berkata kepadanya:
“Wahai Rabi’, andaikata aku mampu memberimu makanan ilmu, niscaya aku beri kamu makanan itu.”
Kisah ini memperlihatkan dua arah cinta: murid yang hormat, guru yang tulus. Dalam kehidupan kita sekarang, relasi guru-murid semacam ini membentuk ikatan batin yang melahirkan keberkahan ilmu.
Putra Harun Ar-Rasyid dan Sandal Sang Guru
Kisah lain datang dari istana. Harun Ar-Rasyid menyerahkan pendidikan putranya, Al-Amin dan Al-Ma’mun, kepada guru besar Al-Kisaa’iy. Suatu ketika sang guru hendak keluar rumah, kedua putra khalifah berebut mengambilkan sandalnya. Agar adil, mereka pun berdamai: masing-masing menyerahkan satu sandal.
Ketika kabar itu sampai pada Harun Ar-Rasyid, ia berkata:
“Orang yang paling mulia bukanlah aku, melainkan orang yang anak-anak Amirul Mukminin berlomba untuk mengambilkan sandalnya.”
Sang khalifah bahkan menghadiahi guru dan anak-anaknya dengan jumlah harta yang besar. Kisah ini menegaskan bahwa adab murid bukan merendahkan diri, melainkan menambah kemuliaan bagi dirinya.
Al-Ashma’iy dan Pendidikan Adab Praktis
Harun Ar-Rasyid juga pernah mengutus putranya kepada Al-Ashma’iy untuk belajar. Suatu hari sang khalifah melihat anaknya menuangkan air wudhu untuk gurunya. Namun ia hanya menuangkan, sementara Al-Ashma’iy membasuh kakinya sendiri. Harun menegurnya:
“Seharusnya engkau menyuruhnya menuangkan air dengan satu tangan, dan dengan tangan lainnya ia membasuh kakimu.”
Kisah ini menunjukkan betapa pendidikan adab harus dilatih dalam praktik nyata, bukan sekadar teori. Dalam kehidupan modern, ini berarti pembelajaran akhlak perlu diwujudkan dalam kebiasaan sehari-hari, bukan hanya hafalan di kelas.
Adab Lebih Tinggi dari Ilmu
mengingatkan bahwa kisah-kisah ini menyingkap hakikat penting ilmu tanpa adab akan sia-sia. Imam Syafi’i begitu hormat kepada gurunya, hingga sekadar membuka lembaran kertas pun penuh kehati-hatian. Murid seperti Ar-Rabi’ menunjukkan cinta, sedangkan guru seperti Imam Syafi’i memberi ketulusan. Bahkan putra khalifah pun belajar memuliakan guru.
Hari ini, di tengah derasnya arus teknologi, sering kali kita lupa bahwa keberkahan ilmu lahir dari sikap hormat. Maka mari kita renungkan: apakah kita sudah menjaga adab kepada guru, baik di sekolah, di pesantren, maupun di ruang-ruang digital?
Semoga Allah menanamkan adab dalam hati kita, sebagaimana para salaf menjaga kehormatan guru mereka. Dengan begitu, ilmu yang kita peroleh akan benar-benar menjadi cahaya, bukan sekadar informasi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
