SURAU.CO- Kitab Akhlaq lil Banat karya Sayyid Umar bin Ahmad Baraja adalah kitab etika yang banyak dipelajari di pesantren dan madrasah, khususnya untuk santri putri. Ditulis dengan bahasa sederhana, kitab ini menggabungkan ayat Al-Qur’an, hadis, kisah nyata para sahabat, dan teladan ulama. Tujuannya adalah membentuk akhlak mulia, menjaga hubungan sosial, serta menanamkan kasih sayang dalam keluarga dan masyarakat.
Ibadah Tanpa Akhlak Perempuan yang Mengganggu Tetangga
Di zaman Rasulullah ﷺ, ada seorang perempuan yang rajin beribadah. Siang ia berpuasa, malam ia isi dengan shalat. Namun sayangnya, ia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya. Orang-orang lalu mengadukan hal itu kepada Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda:
لَا خَيْرَ فِيهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“Tiada kebaikan padanya, dan ia termasuk penghuni neraka.”
Kisah ini mengajarkan bahwa ibadah ritual tanpa akhlak sosial tidak ada nilainya. Menyakiti tetangga bisa menghapus pahala ibadah sebesar apa pun.
Wasiat Nabi tentang Tetangga Kisah Abdullah bin Umar
Mujahid meriwayatkan bahwa ia pernah melihat Abdullah bin Umar r.a. berkata kepada sahayanya yang sedang menguliti kambing:
“Wahai anak, jika engkau selesai, mulailah berikan daging itu kepada tetangga kita yang Yahudi.”
Ucapan itu ia ulangi berkali-kali. Mujahid pun heran dan bertanya, “Mengapa engkau ulangi begitu banyak?” Abdullah menjawab:
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ selalu mewasiati kami tentang tetangga, hingga kami khawatir beliau akan menjadikannya ahli waris kami.”
Pesan ini sangat relevan. Islam tidak membedakan tetangga berdasarkan agama. Semua tetangga memiliki hak untuk dihormati dan disantuni.
Kepekaan Sosial Kisah Tikus dan Kucing
Ada seorang lelaki mengeluh tentang banyaknya tikus di rumahnya. Orang-orang menyarankan agar ia memelihara kucing. Namun ia menjawab:
“Aku khawatir suara kucing akan membuat tikus lari ke rumah tetangga. Aku tidak ingin merasa senang karena musibah mereka, sementara aku sendiri tidak suka jika hal itu menimpa diriku.”
Jawaban ini menunjukkan tingkat kepekaan sosial yang tinggi. Ia lebih memilih menanggung kesulitan daripada membuat orang lain celaka.
Kesabaran Ulama Imam Abu Hanifah dan Tetangga Pendengki
Imam Abu Hanifah rahimahullah punya seorang tetangga yang sangat pendengki. Ia sering menggunjing dan mengganggu. Meski begitu, Abu Hanifah tetap sabar. Beliau selalu memberi salam ketika melewati rumah tetangga itu, meski tidak pernah dijawab.
Ketika orang-orang heran dengan kesabarannya, Abu Hanifah hanya menjawab:
“Sesungguhnya mereka, para tetangga itu, memiliki hak.”
Dari sini kita belajar bahwa kesabaran dan akhlak yang baik bisa meredam api kebencian, bahkan terhadap mereka yang tidak menyukai kita.
Akhlak Lebih Tinggi dari Ibadah Formal
Kisah-kisah ini menegaskan bahwa ibadah sejati bukan hanya rukuk dan sujud, melainkan juga bagaimana kita berbuat baik kepada sesama. Seorang perempuan bisa rajin puasa dan shalat, namun jika lisannya menyakiti, ibadahnya sia-sia. Sebaliknya, seseorang yang sederhana namun menjaga hubungan sosial, lebih dekat dengan rahmat Allah.
Di era modern, kita sering sibuk dengan pencitraan ibadah lahiriah posting tilawah, sedekah, atau puasa sunnah tetapi lupa bahwa akhlak kepada tetangga dan orang sekitar adalah barometer keimanan yang sejati.
Mari kita renungkan: sudahkah kita menjaga lisan agar tidak melukai tetangga? Sudahkah kita peka pada kebutuhan orang sekitar? Sudahkah kita sabar atas gangguan orang lain?
Semoga Allah menjadikan kita hamba yang bukan hanya tekun beribadah, tetapi juga mulia akhlaknya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
