Dahaga yang Tidak Pernah Usai
Seorang sahabat pernah bertanya di sebuah perjalanan malam,
“Kenapa ya, kita sudah punya rumah, kendaraan, gaji tetap, tapi masih merasa kurang?”
Saya hanya tersenyum, lalu menjawab, “Mungkin kita sedang minum dari mata air yang salah.”
Imam al-Ghazali dalam Nasihatul Muluk menggambarkan hidup seperti orang kehausan di padang pasir. Ada dua mata air: satu keruh tapi dekat, satu jernih tapi jauh. Sebagian orang memilih yang dekat, karena cepat menghilangkan haus, meski akhirnya sakit perut. Sementara yang sabar menempuh perjalanan panjang menuju mata air jernih, ia mendapat kesegaran yang menyehatkan.
Al-Ghazali menulis:
اَلدُّنْيَا مَاءٌ مِلْحٌ لَا يُرْوِي وَإِنْ كَثُرَ شُرْبُهُ بَلْ يَزْدَادُ الْعَطَشُ بِهِ
“Dunia itu seperti air laut, takkan pernah menghilangkan dahaga meski diminum banyak, bahkan semakin menambah haus.”
Air dunia itu berupa harta, pangkat, pujian, dan segala gemerlap yang kita kira bisa menenangkan hati. Namun semakin kita meneguknya, semakin kerongkongan batin kita kering.
Sebaliknya, air akhirat adalah ibadah, keikhlasan, sedekah, dan amal yang lillah. Sekilas memang pahit, butuh kesabaran, bahkan sering harus melawan nafsu. Tapi justru di situlah segarnya, menyehatkan hati, menguatkan jiwa.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَسَقَاهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُورًا (الإنسان: ٢١)
“Dan Tuhan mereka memberi mereka minum dengan minuman yang suci.”
Ayat ini bukan sekadar janji surga, melainkan arah kompas: ada minuman suci yang hanya bisa diraih bila kita memilih jalan akhirat.
Namun jalan itu tidak mudah. Di tengah kota, kita tergoda billboard, diskon, dan iklan yang menawarkan “air dunia” setiap saat. Fenomena consumerism terbukti dalam riset psikologi modern: semakin tinggi orientasi materialisme, semakin rendah tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup (Kasser & Ryan, 1996). Al-Ghazali sudah mewanti-wanti hal itu ratusan tahun lalu.
Dialog dalam Kesadaran
· “Tapi, Gus, bukankah kita butuh uang, rumah, pekerjaan? Itu juga air dunia kan?”
· Saya tersenyum, “Iya, tapi kalau sekadar air dunia, minumlah secukupnya. Jangan menjadikannya sumber utama. Jangan mabuk olehnya.”
Imam al-Ghazali berkata:
اَلْعَاقِلُ يَشْرَبُ مِنْ مَاءِ الدُّنْيَا بِقَدْرِ مَا يَدْفَعُ عَنْهُ الْعَطَشَ ثُمَّ يَتَزَوَّدُ لِلْآخِرَةِ
“Orang berakal minum dari air dunia sekadar menghilangkan haus, lalu ia segera berbekal untuk akhirat.”
Betapa jernih nasihat ini: dunia jangan diharamkan, tapi jangan pula dijadikan candu.
Suatu sore saya melihat anak-anak bermain bola di lapangan becek. Mereka tertawa riang, meski pakaian kotor. Saya termenung: mereka tidak minum dari air dunia berupa sepatu mahal atau lapangan sintetis, tapi dari kesederhanaan yang justru memberi kebahagiaan.
Iman al-Ghazali menegaskan:
مَنْ شَرِبَ مِنْ مَاءِ الدُّنْيَا فَقَدْ سَكِرَ وَمَنْ سَكِرَ فَقَدْ غَفَلَ
“Barangsiapa minum dari air dunia, ia akan mabuk; dan siapa yang mabuk, ia akan lalai.”
Lalai inilah yang berbahaya. Lalai pada salat, lalai pada dzikir, lalai pada tujuan hidup.
Air dunia: harta, pangkat, dan pujian. Menyegarkan sesaat, tapi menambah haus batin.
Air akhirat: ibadah, ikhlas, amal saleh. Pahit awalnya, tapi menyehatkan jiwa.
Minumlah air dunia secukupnya, jangan sampai mabuk.
Bekal utama tetap air akhirat, karena itu yang menolong di padang mahsyar.
1. Batasi tegukan dunia: ambil seperlunya, jangan berlebih.
2. Seimbangkan dengan air akhirat: setiap nikmat dunia disertai amal yang menyehatkan jiwa.
3. Latih kesederhanaan: biasakan hidup cukup, bukan berlebih.
4. Tingkatkan muraqabah: hadirkan kesadaran Allah saat menikmati dunia.
5. Ingat tujuan akhir: air dunia hanya pelepas dahaga sementara, bukan sumber kehidupan abadi.
Teduh yang Datang dari Air yang Benar
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ
“Barangsiapa menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, Allah akan cerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di pelupuk matanya, dan dunia takkan datang kepadanya kecuali apa yang ditentukan.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini seperti tamparan lembut: bila kita mengejar air dunia berlebihan, justru kita semakin kehausan.
Ya Allah, jangan biarkan kami mabuk oleh air dunia. Tunjukkan jalan menuju mata air jernih akhirat, agar dahaga kami terpuaskan bukan hanya sesaat, melainkan selama-lamanya.
* Sugianto al-Jawi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
