Opinion
Beranda » Berita » Sepuluh Pohon Iman: Benih yang Sering Kita Siram dengan Air yang Salah

Sepuluh Pohon Iman: Benih yang Sering Kita Siram dengan Air yang Salah

Pohon iman dengan akar kuat dan cabang bercahaya menjulang ke langit.
Ilustrasi filosofis pohon iman yang tumbuh subur, akarnya kuat, cabangnya menjulang, memberi teduh bagi manusia.

Sepuluh pohon iman, kata Imam al-Ghazali dalam Nasihatul Muluk, bukan sekadar simbol. Iman itu seperti pohon: ada akar, batang, cabang, daun, bunga, hingga buah. Tapi pohon itu tidak selalu subur. Ada yang kering karena disiram dengan air yang salah, ada yang rapuh karena dibiarkan diserang rayap keserakahan, ada pula yang ditebang dengan kapak dosa.

Seorang kawan di warung kopi pernah berujar:

·       “Iman itu kan di hati, nggak kelihatan. Yang penting aku baik sama orang.”

·       Saya tersenyum, lalu menjawab, “Iya, tapi hati itu ibarat akar. Kalau akar rapuh, batang bisa roboh. Baik itu penting, tapi iman memberi napas pada kebaikan.”

Iman tidak mati dengan sekali dosa. Ia perlahan layu bila kita menyiraminya dengan racun kesombongan, kemunafikan, dan cinta dunia.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Pohon yang Ditanam di Ladang Jiwa

Al-Ghazali menulis:

اَلْإِيْمَانُ كَالشَّجَرَةِ أَصْلُهَا التَّصْدِيقُ وَفُرُوْعُهَا الطَّاعَاتُ وَثِمَارُهَا الْحَيَاةُ الْأَبَدِيَّةُ

“Iman itu ibarat pohon, akarnya keyakinan, cabangnya ketaatan, dan buahnya adalah kehidupan abadi.”

Kalimat ini sederhana, tapi kalau direnungkan, terasa seperti petir yang menyambar kesadaran kita. Betapa sering kita hanya sibuk dengan cabang, tapi lupa menjaga akar. Kita ingin buahnya—surga, kebahagiaan abadi—tapi lupa menyiram akarnya dengan air yang jernih: dzikir, ilmu, dan amal.

Fenomena sehari-hari membuat kita merenung. Kita hidup di era media sosial, di mana keimanan kadang ditakar dengan berapa banyak ayat atau hadits yang kita posting. Kita menyiram pohon iman dengan air riya, padahal akar membusuk bila siramannya bukan ketulusan.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Firman Allah mengingatkan:

مَّثَلُ كَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24:24)

“Perumpamaan kalimat yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya kokoh dan cabangnya menjulang ke langit.”

Ayat ini bukan hanya metafora. Ia panduan: iman yang sehat harus kokoh di bumi (akar) tapi menjulang ke langit (tujuan).

Ketika Buahnya Tidak Kunjung Datang

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Ada orang yang rajin salat tapi masih gelisah. Ada yang hafal doa tapi hatinya tetap keras. Mengapa buah pohon imannya tak kunjung manis?

Imam al-Ghazali menulis:

اَلشَّجَرَةُ إِنْ لَمْ تُسْقَ بِمَاءِ الْمُرَاقَبَةِ ذَبُلَتْ وَذَهَبَ ثِمَارُهَا
“Pohon (iman) bila tidak disirami dengan air muraqabah (kesadaran akan Allah), ia akan layu dan buahnya hilang.”

Rupanya, bukan sekadar ibadah ritual, tapi kesadaran hati—muraqabah—yang membuat iman tetap segar.

Jalan yang Berliku Menuju Rimbun

Di kampung saya, ada seorang kakek yang tiap pagi menyiram pohon mangga di halaman. Ia tak pernah bosan, meski butuh bertahun-tahun sampai pohon itu berbuah. Suatu hari ia berkata, “Nak, iman juga begitu. Kau rawat tiap hari, jangan berharap instan.”

Saya terdiam. Rasanya seperti membaca kitab Imam al-Ghazali versi hidup.

Dalam Nasihatul Muluk ada kalimat yang seakan melengkapi:

مَنْ لَمْ يَزْدَدْ إِيْمَانُهُ يَوْمًا بَعْدَ يَوْمٍ فَقَدْ نَقَصَ
“Siapa yang imannya tidak bertambah dari hari ke hari, maka sesungguhnya ia telah berkurang.”

Iman tidak bisa stagnan. Ia harus tumbuh, atau ia akan layu.

Iman itu pohon: butuh akar kuat, air jernih, dan perawatan rutin.
Salah menyiram bisa membuatnya layu: riya, sombong, cinta dunia berlebihan.
Kesadaran (muraqabah) adalah air yang membuat pohon iman tetap segar.
Iman harus tumbuh setiap hari, bukan sekadar bertahan hidup.

1.     Sirami dengan dzikir: ulangi kalimat tauhid, biar akar iman selalu segar.

2.     Rawat dengan ilmu: belajar, membaca, mendengar nasihat orang saleh.

3.     Hindari air kotor: jangan biarkan riya atau pamer menyirami hati.

4.     Tumbuhkan dengan amal nyata: iman tanpa amal adalah pohon tanpa daun.

5.     Jaga konsistensi: lebih baik sedikit tapi rutin daripada banyak tapi sekali-sekali.

Pohon yang Menjadi Teduh

Suatu sore, saya melihat anak-anak bermain di bawah pohon beringin besar. Mereka tertawa, berteduh dari panas. Hati saya bergetar: begitulah seharusnya pohon iman—memberi teduh bagi sekitar, bukan hanya untuk dirinya sendiri.

Firman Allah berkata:

الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَٰنُ وُدًّا (مريم: ٩٦)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan rasa kasih sayang (untuk mereka).”

Iman yang benar, buahnya bukan hanya surga di akhirat, tapi cinta kasih di dunia.

Ya Allah, jadikan iman kami pohon yang rindang, berakar kuat di bumi, menjulang ke langit, dan berbuah teduh bagi orang lain. Jangan biarkan kami menyiraminya dengan air yang salah.

Apakah pohon iman kita hari ini tumbuh subur, atau justru mulai layu? Pertanyaan itu biarlah menjadi renungan malam ini.

 

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement