SURAU.CO- Kitab Akhlaq lil Banat karya Sayyid Umar bin Ahmad Baraja adalah pedoman akhlak untuk para santri putri, ditulis dengan tujuan mendidik generasi muslimah agar tumbuh beradab, berakhlak mulia, dan berjiwa sosial. Penulis hidup pada abad ke-20 dan menjadi salah satu ulama Hadhramaut yang banyak berkontribusi dalam pendidikan moral Islam di dunia, termasuk di Nusantara.
Kitab ini memiliki posisi istimewa dalam khazanah Islam, karena berhasil meramu teladan Nabi ﷺ, kisah sahabat, serta nasihat etika menjadi tuntunan praktis yang mudah dipahami oleh remaja muslimah.
Rasulullah ﷺ: Teladan Lembut kepada Pelayan
Dalam kitab diceritakan, Rasulullah ﷺ tidak pernah sekalipun membentak pelayannya. Sahabat Anas bin Malik r.a. menuturkan:
خَدَمْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ، فَمَا قَالَ لِي أُفٍّ قَطُّ
“Selama sepuluh tahun aku melayani Nabi ﷺ, beliau tidak pernah berkata ‘uff’ (cih) kepadaku.”
Anas menambahkan, Nabi tidak pernah mengolok-olok perbuatannya, tidak pernah bertanya dengan nada menyalahkan, “Kenapa engkau melakukannya?” atau “Kenapa tidak engkau kerjakan?”. Bahkan, bila Anas dipersalahkan oleh istri-istri Nabi, Rasulullah ﷺ hanya berkata, “Biarkanlah dia, karena ini terjadi sesuai takdir Allah.”
Teladan ini mengajarkan bahwa kelembutan jauh lebih kuat daripada bentakan. Akhlak Nabi ﷺ menegaskan memaafkan kesalahan kecil pelayan adalah jalan menuju hati yang lapang.
Imam Ali Membalas Malas dengan Kemerdekaan
Kisah lain datang dari Imam Ali karramallahu wajhahu. Suatu hari, beliau memanggil sahayanya tiga kali. Namun sang sahaya tidak menjawab, dan ternyata ia malah berbaring. Imam Ali mendekatinya dan bertanya, “Wahai anak, tidakkah engkau mendengar panggilanku?”
Sahaya itu menjawab, “Ya, aku mendengar.” Imam Ali bertanya lagi, “Mengapa engkau tidak menjawab?” Sahaya itu dengan jujur berkata, “Karena aku merasa aman dari hukumanmu, maka aku bermalas-malasan.”
Mendengar itu, Imam Ali justru berkata, “Pergilah, engkau bebas merdeka karena Allah.”
Betapa agung jiwa beliau! Bukan hanya memaafkan kelalaian, Imam Ali bahkan membalasnya dengan kemerdekaan. Inilah pelajaran: orang besar tidak memperpanjang masalah, tetapi menjadikannya jalan menuju kebajikan.
Qais bin ‘Ashim Memaafkan Tragedi dengan Lapang Dada
Kisah yang lebih menggetarkan datang dari Qais bin ‘Ashim, seorang sahabat Nabi ﷺ. Suatu hari, seorang sahaya perempuan membawa alat pemanggang daging panas. Tanpa sengaja, alat itu terjatuh menimpa anak Qais hingga meninggal.
Bayangkan betapa pedih perasaan seorang ayah. Namun Qais berkata kepada sahayanya: “Engkau tidak usah takut.” Ia memaafkan pelayan itu dan bahkan membebaskannya karena Allah Ta’ala.
Betapa sulit rasanya memaafkan dalam keadaan kehilangan. Namun Qais mengajarkan bahwa iman kepada takdir Allah lebih besar dari amarah pribadi.
Akhlak yang Membebaskan
Kisah Nabi ﷺ, Imam Ali, dan Qais bin ‘Ashim memberi pelajaran abadi: akhlak bukan sekadar teori, melainkan ujian di saat kita punya kuasa. Rasulullah ﷺ tidak pernah membentak pelayan. Imam Ali justru membebaskan budaknya karena malas. Qais memaafkan sahaya yang tanpa sengaja menyebabkan kematian anaknya.
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah belajar menahan amarah saat berhadapan dengan orang kecil di rumah, pekerja, atau bahkan orang-orang di sekitar kita?
Mari renungkan: mungkin surga tidak ditentukan oleh banyaknya ceramah atau postingan dakwah, tetapi oleh kelembutan kita kepada mereka yang lemah.
Semoga Allah menjadikan kita umat yang berakhlak, yang mudah memaafkan, dan tidak menyalakan api amarah, melainkan cahaya kasih sayang.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
