Ketika Suara Aspirasi Terbungkam Oleh Vandalisme.
Demonstrasi adalah pilar penting dalam demokrasi. Ia adalah wadah bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi, menuntut keadilan, dan menekan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Namun, di balik narasi perjuangan, seringkali kita menyaksikan sebuah ironi yang merusak: aksi perusakan fasilitas publik.
Merusak Citra Perjuangan
Ketika demonstrasi yang seharusnya menjadi simbol perlawanan damai berubah menjadi ajang vandalisme, esensi perjuangan itu hilang. Kaca-kaca pecah, rambu jalan tumbang, dan taman kota yang rusak bukan lagi menjadi simbol perlawanan, melainkan cermin dari kegagalan dalam mengendalikan emosi. Vandalisme ini bukan hanya merugikan secara finansial, tetapi juga merusak citra perjuangan itu sendiri di mata masyarakat.
Fasilitas publik, seperti halte bus, trotoar, dan lampu jalan, adalah milik bersama. Kerusakan fasilitas yang parah akhirnya membebani rakyat yang paling sering menggunakannya. Kerusakan fasilitas menyebabkan pemerintah mengambil anggaran dari sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan untuk membiayai perbaikan, sehingga rakyat terkena dampaknya. Akibatnya, rakyat menderita karena kurangnya akses ke layanan dasar yang berkualitas. Dampaknya, masyarakat umum yang tidak terlibat dalam demonstrasi justru menjadi korban.
Lebih dari itu, perusakan ini memberikan amunisi bagi pihak yang ingin membungkam suara rakyat. Pihak berwenang sering menggunakan istilah “aksi anarkis” atau “kerusuhan” untuk menggambarkan perlawanan yang tulus, sehingga merusak citra gerakan dan mengurangi dukungan publik. Alih-alih mendapatkan dukungan, demonstran justru menciptakan jurang antara mereka dan masyarakat.
Merugikan Kepentingan Kolektif
Menurut Mancur Olson, dalam karyanya The Logic of Collective Action, ia berpendapat bahwa “secara rasional, orang-orang yang mengejar kepentingan pribadi tidak akan bertindak untuk mencapai kepentingan kelompok kecuali jika kelompok tersebut cukup kecil… atau kecuali jika ada paksaan atau insentif positif yang terpisah.” Dalam konteks demonstrasi, ini berarti bahwa tanpa struktur dan disiplin yang kuat, beberapa individu cenderung bertindak di luar tujuan kolektif dalam hal ini, dengan merusak karena dampak tindakan mereka secara individu tidak terasa signifikan dalam skala besar, namun merugikan kepentingan kolektif secara keseluruhan.
Senada dengan itu, budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah berpesan, “Jangan sampai perjuanganmu merusak apa yang kau perjuangkan.” Kalimat ini menggarisbawahi paradoks yang sering terjadi dalam sebuah gerakan. Mereka yang merusak fasilitas publik merusak citra perjuangan dan membuat isu keadilan dan kesejahteraan bersama menjadi tidak relevan.
Sebuah demonstrasi yang sukses menyampaikan pesannya secara efektif kepada publik dan pihak berwenang, bukan hanya menimbulkan kerusakan. Melalui cara-cara yang damai dan terorganisir, sebuah aspirasi dapat menjadi kekuatan yang tak terbendung. Sebaliknya, ketika suara aspirasi terbungkam oleh vandalisme, ia hanya akan menjadi bumerang yang melukai diri sendiri. Pengamat Sosial Politik (Jemmy Ibnu Suardi)
Catatan: Ketika suara aspirasi terbungkam oleh vandalisme
Tindakan tidak bertanggung jawab dari oknum-oknum tertentu menghambat ekspresi dan pendapat masyarakat, serta merusak sarana penyampaian aspirasi. Di Jakarta, misalnya, terdapat beberapa masalah terkait dengan pengelolaan ruang publik yang efektif. Sebuah studi menunjukkan bahwa keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan ruang terbuka publik di Jakarta menghasilkan tingkat “publicness” yang rendah, yaitu hanya 29%. Ini menunjukkan bahwa privatisasi ruang publik dapat membatasi akses dan partisipasi demokratis dalam pengelolaan ruang kota.
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah dapat diambil:
– Meningkatkan Partisipasi Masyarakat: Masyarakat perlu dilibatkan lebih banyak dalam proses perencanaan dan pengelolaan ruang publik melalui mekanisme seperti pengumpulan aspirasi dan diskusi publik.
– Mengembangkan Regulasi yang Kuat: Pemerintah perlu mengembangkan regulasi yang jelas dan efektif untuk melindungi ruang publik dan memastikan bahwa privatisasi tidak membatasi akses masyarakat.
– Mengawasi dan Mengelola Vandalisme: Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mengawasi dan mengelola tindakan vandalisme yang dapat merusak ruang publik dan membungkam suara aspirasi.
Dalam hal pengubahan zona spasial di DKI Jakarta, masyarakat dapat berperan dalam proses peninjauan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) dengan memberikan aspirasi dan saran melalui portal yang disediakan oleh pemerintah, seperti Jakarta Satu. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses ini dapat membantu memastikan bahwa ruang publik dikelola dengan baik dan aspirasi masyarakat dapat didengar.
• https://indonesiarealestatelaw.com/alteration-of-spatial-zoning-in-dki-jakarta/
• https://www.jstage.jst.go.jp/article/irspsd/12/4/12_11/_article
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
