SURAU.CO -Di tengah deru pembangunan Indonesia dan percepatan dunia digital, jiwa-jiwa kita terengah-engah. Notifikasi WhatsApp grup keluarga, target pekerjaan, tren TikTok, hingga obrolan warung kopi tentang politik dan ekonomi – semuanya berebut perhatian. Sebanyak 81% pekerja Indonesia melaporkan mengalami stres terkait pekerjaan (Data Ministry of Health, 2023), sementara tingkat penggunaan media sosial masyarakat Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, rata-rata 3,5 jam per hari (Data We Are Social, 2024).
Pertanyaan mendesaknya: Di mana kita dapat menemukan ketenangan sejati yang tidak tergantung pada kondisi eksternal?
Buku bestseller internasional “The Things You Can See Only When You Slow Down” karya Haemin Sunim, seorang guru Zen Buddhis Korea, menawarkan jawaban yang mengejutkan: “Lambatkanlah dirimu.” Yang lebih mengejutkan lagi, pesan utama buku ini bersesuaian secara profund dengan ajaran Islam tentang ketenangan hati (qalbun salim).
Haemin Sunim menulis:
“Kita bergegas melalui hidup tanpa benar-benar hidup. Kita begitu sibuk melakukan sehingga lupa mengalami.”
Ini mengingatkan kita pada firman Allah SWT:
“Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran: 185)
Buku ini, walau berasal dari tradisi Buddhis, tidak berbicara tentang theology melainkan universal human experience. Ia berbicara tentang mengelola pikiran, emosi, dan hubungan – hal-hal yang juga menjadi perhatian utama dalam Islam untuk membentuk muslim yang produktif tanpa kehilangan jiwa.
Tiga Pilar Ketenangan: Antara Nasihat Haemin Sunim dan Tuntunan Abadi Islam
Buku Haemin Sunim memecah ketenangan menjadi beberapa prinsip praktis yang sangat selaras dengan ajaran Islam.
1. Jeda: Melawan Budaya “Hustle Culture” ala Indonesia Budaya”grind” atau ” hustle culture” yang diagung-agungkan di media sosial adalah racun bagi jiwa. Ia menciptakan ilusi bahwa kita harus produktif 24/7. Haemin mengajak kita untuk berani berhenti.
Islam datang dengan solusi yang lebih radikal. Selain shalat, ada puasa Senin-Kamis, yang memaksa kita untuk melambatkan nafsu. Ada larangan bekerja di hari Jumat, yang menekankan pentingnya istirahat dan berkumpul dengan komunitas untuk shalat Jumat. Konsep “qana’ah” (merasa cukup) adalah tameng paling ampuh untuk melawan kegelisahan akibat membanding-bandingkan diri dengan pencapaian orang lain di linimasa.
2. Passion & Kebahagiaan Sejati: Melampaui Gengsi dan Materialisme Masyarakat Indonesia,khususnya di perkotaan, sering terjebak dalam perlombaan mengejar gelar, jabatan, dan mobil terbaru. Haemin Sunim berpesan, “Jangan mengejar kesuksesan orang lain. Temukan apa yang membuatmu bahagia.”
Islam membingkai ini dalam konsep “ikhtiar yang barokah”. Bekerja bukan hanya untuk menumpuk harta, tetapi untuk mencari ridha Allah. Sebuah pekerjaan yang halal dan dilakukan dengan ikhlas lillahi ta’ala akan terasa ringan dan membawa ketenangan, sekalipun secara materi mungkin tidak sebanyak orang lain. Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad)
Passion sejati dalam Islam adalah menemukan di mana bakat dan potensi kita bisa memberikan manfaat paling besar bagi umat. Itulah sumber kebahagiaan yang sebenarnya.
3. Hubungan yang Membahagiakan: Memupuk Silaturahmi di Tengah Polarisasi Indonesia belakangan ini sering memanas oleh perdebatan politik dan sosial yang memecah belah.Haemin Sunim mengingatkan, “Dalam hubungan, kebahagiaan lebih penting daripada merasa benar.”
Ini adalah echo dari sabda Rasulullah SAW tentang menjaga silaturahmi.
“Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam mengajarkan untuk mendahulukan ishlah (perdamaian) daripada memenangkan ego. Berbeda pendapat adalah sunnatullah, tetapi memutus hubungan karena perbedaan adalah dosa. Dalam keluarga, pertemanan, dan bahkan pergaulan sosial berbangsa, nilai untuk mendengarkan, memaafkan, dan menjaga keharmonian adalah kunci hidup tenang.
Mengapa Pesan Ini Abadi dan Relevan bagi Indonesia?
Pesan untuk “melambat” dan “menenangkan hati” akan selalu relevan sepanjang masa karena ia menyentuh fitrah kemanusiaan kita. Teknologi boleh berubah, ekonomi boleh naik-turun, tetapi kebutuhan hati akan ketenangan dan hubungan dengan Penciptanya adalah tetap.
Bagi Indonesia yang sedang berkembang pesat namun masih memegang kuat nilai-nilai religius dan kekeluargaan, buku seperti ini dan yang lebih utama, ajaran Islam kita, adalah kompas yang menjaga kita tidak tersesat dalam laju pembangunan.
Ia mengingatkan kita bahwa:
· Kemajuan material harus diimbangi dengan kedalaman spiritual.
· Kesibukan kerja harus ditopang oleh kekuatan jiwa.
· Kecepatan teknologi harus diatur oleh kebijaksanaan hati.
Pertanyaan Umum Tentang Ketenangan Islami
Q: Apakah melambat tidak bertentangan dengan etos kerja keras dalam Islam? A:Tidak. Islam menganjurkan bekerja dengan cerdas, bukan sekadar keras. Bekerja tanpa henti hingga lupa ibadah dan keluarga justru bertentangan dengan konsep keseimbangan (tawazun) dalam Islam.
Q: Bagaimana jika lingkungan kerja saya sangat menuntut dan cepat? A:Nabi Muhammad SAW pun hidup dalam masyarakat yang sibuk berdagang. Rahasianya adalah disiplin waktu. Beliau membagi waktu dengan jelas untuk bekerja, ibadah, keluarga, dan istirahat.
Q: Apakah membaca buku non-Muslim seperti ini diperbolehkan? A:Rasulullah SAW bersabda: “Hikmah adalah barang hilang milik orang beriman. Di mana saja dia menemukannya, dialah yang paling berhak atasnya.” (HR. Tirmidzi). Selama kontennya tidak bertentangan dengan akidah, mengambil hikmah adalah bijak.
Ketenangan adalah Pilihan Ibadah
Haemin Sunim menutup dengan sebuah bijak:
“Jika pikiranmu beristirahat, maka dunia juga akan ikut beristirahat.”
Pesan ini beresonansi dengan doa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW:
“Ya Allah, jadikanlah hati kami tenang dengan iman kepada-Mu.”
Pada akhirnya, melambat bukanlah tentang kurangnya semangat atau ambisi. Melambat adalah tentang kesadaran. Sadar bahwa di balik segala kesibukan dunia, ada sebuah tujuan yang lebih agung. Sadar bahwa ketenangan adalah hadiah dari Allah yang harus kita usahakan dengan disiplin melalui dzikir, shalat, dan akhlak yang baik.
Di tengah riuhnya Indonesia, marilah kita menjadi pribadi yang pandai mengelola kecepatan tubuh dan ketenangan jiwa. Karena hanya dengan hati yang tenang, kita bisa benar-benar berkontribusi untuk membangun negeri ini dengan ikhlas, bijak, dan penuh cinta.
Ketenangan adalah Ibadah Aktif
Melambat dalam perspektif Islam bukanlah kemalasan atau escapism. Ia adalah strategi spiritual untuk mendapatkan kejernihan dalam bertindak. Ia adalah bentuk ketaatan pada perintah Allah untuk mengingat-Nya di tengah kesibukan.
Sebagaimana pesan terakhir Haemin Sunim:
“Dunia tidak akan berakhir jika kamu beristirahat sejenak.”
Dan Allah mengingatkan:
“Ketahuilah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Di tengen gelombang modernitas Indonesia yang tak terhindarkan, marilah kita menjadi muslim yang cepat dalam beramal saleh, tetapi tenang dalam jiwa. Yang produktif dalam bekerja, tetapi khusyuk dalam beribadah. Yang terhubung secara digital, tetapi tidak terputus secara spiritual.
Wallahu A'lam Bissawwab
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
