Khazanah
Beranda » Berita » Hukum Kebiri Hewan dalam Pandangan Empat Mazhab Fiqih

Hukum Kebiri Hewan dalam Pandangan Empat Mazhab Fiqih

Praktik kebiri atau sterilisasi hewan telah menjadi perdebatan panjang dalam fiqih Islam. Banyak pemilik hewan, terutama kucing dan anjing, sering mempertanyakan hukumnya. Apakah syariat membolehkan atau melarang tindakan ini? Artikel ini akan mengupas tuntas pandangan empat mazhab fiqih utama: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Kita akan melihat argumen serta dalil yang mereka gunakan.

Kebiri hewan melibatkan pengangkatan atau perusakan organ reproduksi hewan. Pada hewan jantan, ini berarti kita mengangkat testisnya. Sementara pada hewan betina, kita mengangkat ovariumnya. Kita melakukan kebiri untuk berbagai tujuan. Ini bisa untuk mengendalikan populasi, mengurangi agresivitas, atau mencegah penyakit tertentu.

Pandangan Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang cukup fleksibel mengenai kebiri hewan. Mereka cenderung membolehkan praktik ini dengan beberapa syarat. Menurut ulama Hanafi, kebiri hewan diperbolehkan jika memberikan manfaat. Manfaat ini bisa berupa peningkatan kualitas daging. Atau mencegah hewan bertindak agresif dan merusak.

Kitab al-Mabsuth karya Imam al-Sarakhsi menyebutkan, “Tidak mengapa mengkebiri kambing. Hal ini demi memperbanyak dagingnya.” Ini menunjukkan prioritas pada manfaat praktis. Namun, mereka juga menekankan bahwa tindakan kebiri tidak boleh menyebabkan penyiksaan. Rasa sakit yang ditimbulkan harus minimal.

Para ulama Hanafi memandang kebiri tidak haram secara mutlak. Terutama jika ada tujuan yang baik. Pengendalian populasi hewan liar juga bisa menjadi alasan pembolehan. Kebiri adalah upaya untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Pandangan Mazhab Maliki

Mazhab Maliki umumnya lebih ketat dalam masalah kebiri hewan. Mereka cenderung menghukumi makruh atau bahkan haram. Terutama jika kebiri dilakukan tanpa alasan yang kuat. Imam Malik sendiri dikenal sangat menjaga kesejahteraan hewan. Beliau melarang segala bentuk penyiksaan.

Menurut mazhab Maliki, kebiri adalah bentuk penyiksaan. Ini mengubah ciptaan Allah. Kecuali jika ada kemaslahatan yang sangat mendesak. Contohnya adalah untuk tujuan pengobatan hewan. Atau mencegah penyebaran penyakit menular.

Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam Fatawa Mu’ashirah menjelaskan. “Ulama mazhab Maliki menghukumi makruh kebiri hewan.” Ini menunjukkan kehati-hatian mereka. Mereka menekankan pentingnya menjaga fitrah hewan. Kebiri dianggap mengganggu fitrah tersebut.

Pandangan Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i memiliki pandangan yang lebih rinci dan terbagi. Mereka membedakan antara hewan yang boleh dikonsumsi dan tidak. Untuk hewan yang boleh dikonsumsi, seperti kambing atau sapi, kebiri diperbolehkan. Terutama jika tujuannya adalah memperbagus kualitas daging.

Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab menyatakan. “Jika kebiri dilakukan pada hewan yang halal dimakan, itu tidak mengapa.” Beliau menambahkan, “Asalkan tidak sampai membahayakan hewan tersebut.” Ini menunjukkan prinsip tidak menyakiti hewan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Namun, untuk hewan yang tidak boleh dikonsumsi, seperti kucing atau anjing, hukumnya berbeda. Kebiri hewan ini dihukumi makruh. Bahkan bisa haram jika menyebabkan penderitaan. Kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya untuk mengendalikan populasi kucing liar. Atau mencegah penyebaran penyakit pada anjing.

Pertimbangan kesehatan dan populasi menjadi kunci. Apabila kebiri dapat mencegah kemudharatan. Maka bisa jadi hukumnya bergeser menjadi boleh. Ini menunjukkan fleksibilitas dalam menanggapi masalah kontemporer.

Pandangan Mazhab Hambali

Mazhab Hambali juga memiliki pandangan yang hati-hati. Mereka cenderung memakruhkan kebiri hewan secara umum. Terutama jika tidak ada manfaat yang jelas. Kebiri dianggap sebagai bentuk penyiksaan. Ini mengubah fisik hewan secara permanen.

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menjelaskan. “Hukum mengkebiri hewan makruh. Kecuali ada manfaat yang lebih kuat.” Manfaat yang dimaksud bisa berupa peningkatan kualitas. Misalnya untuk hewan kurban atau ternak. Namun, kebiri harus dilakukan dengan hati-hati.

Mazhab Hambali membolehkan kebiri dalam kondisi tertentu. Contohnya adalah untuk hewan yang akan disembelih. Tujuan kebiri adalah mempercepat pertumbuhan. Atau untuk meningkatkan kualitas dagingnya. Mereka juga mempertimbangkan usia hewan. Kebiri pada hewan muda lebih bisa diterima. Karena penyembuhan lebih cepat.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Namun, untuk hewan peliharaan, hukumnya cenderung makruh. Terutama jika kebiri tidak memberikan manfaat nyata. Sekadar untuk kenyamanan pemilik tidak cukup. Harus ada alasan kuat yang syar’i.

Perbedaan Pendapat dan Alasannya

Perbedaan pendapat antar mazhab ini bersumber dari beberapa hal. Pertama, interpretasi terhadap dalil-dalil umum tentang hewan. Beberapa ulama menafsirkan hadis yang melarang penyiksaan hewan. Mereka menganggap kebiri sebagai penyiksaan.

Kedua, ada perbedaan dalam melihat illat (sebab hukum). Sebagian melihat bahwa kebiri mengubah ciptaan Allah. Ini diharamkan. Sebagian lain melihat manfaatnya. Seperti peningkatan kualitas daging atau pengendalian populasi. Manfaat ini menjadikan kebiri diperbolehkan.

Ketiga, faktor kemaslahatan atau kemudaratan. Mazhab yang membolehkan melihat kemaslahatan yang didapatkan. Misalnya hewan menjadi lebih jinak atau gemuk. Sedangkan yang melarang melihat kemudaratan. Seperti rasa sakit yang dialami hewan.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, kita dapat melihat beragam pandangan. Mazhab Hanafi cenderung membolehkan kebiri jika ada manfaat. Mazhab Maliki cenderung memakruhkan atau mengharamkan. Ini kecuali ada kebutuhan mendesak. Mazhab Syafi’i membedakan antara hewan konsumsi dan bukan. Serta mempertimbangkan kemaslahatan. Mazhab Hambali memakruhkan secara umum. Namun membolehkan jika ada manfaat yang kuat.

Penting untuk diingat bahwa tujuan utama syariat adalah menjaga maslahat. Ini termasuk maslahat bagi hewan. Jika kebiri dilakukan dengan tujuan baik. Dan tidak menyiksa hewan. Serta memberikan manfaat yang jelas. Maka sebagian ulama membolehkannya. Namun, kehati-hatian tetap diperlukan.

Sebagai pemilik hewan, disarankan untuk berkonsultasi. Tanyakan kepada ulama atau ahli fiqih setempat. Mereka dapat memberikan panduan lebih lanjut. Ini disesuaikan dengan konteks dan kondisi. Pemahaman yang komprehensif sangat penting. Ini untuk memastikan praktik kebiri sesuai syariat.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement