SURAU.CO – Hari Kiamat adalah hari penegakan keadilan yang mutlak. Pada hari itu, Allah akan menuntaskan semua urusan. Tidak akan ada lagi kezaliman yang terlewatkan. Semua hak akan kembali kepada pemiliknya. Namun, mata uang yang berlaku saat itu bukanlah emas atau perak, melainkan pahala dan dosa. Inilah hal yang paling orang-orang saleh takuti.
Kesadaran inilah yang membuat Rasulullah SAW sangat berhati-hati dalam setiap tindakannya. Beliau, sebagai manusia paling mulia, sangat ingin bertemu Allah dalam keadaan suci. Suci dari dosa kepada Allah dan suci dari segala tuntutan kezaliman dari manusia. Oleh karena itu, kisah di akhir hayat beliau memberikan kita sebuah teladan agung, sebuah teladan keadilan Nabi Muhammad yang tiada tandingannya.
Pidato Perpisahan yang Mengharukan
Beberapa hari sebelum wafat, Rasulullah SAW naik ke atas mimbar. Beliau mengumpulkan seluruh sahabatnya, lalu menyampaikan sebuah pidato yang sangat menyentuh. Pidato ini menunjukkan betapa besar rasa takut beliau kepada pertanggungjawaban di akhirat. Beliau menawarkan dirinya untuk diadili di dunia agar bebas dari tuntutan apa pun di akhirat kelak.
Dengan suara yang tulus, beliau bersabda:
“Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya aku akan berpisah dengan kalian. Barangsiapa yang pernah aku pukul punggungnya, maka inilah punggungku, hendaklah ia membalasnya. Barangsiapa yang pernah aku caci kehormatannya, maka inilah kehormatanku, hendaklah ia membalasnya. Barangsiapa yang pernah aku ambil hartanya, maka inilah hartaku, hendaklah ia mengambilnya. Janganlah ia takut kepadaku, karena dendam bukanlah tabiat dan watakku.”
Bayangkan suasana saat itu. Seorang pemimpin besar dan seorang Nabi yang dicintai jutaan orang, dengan rendah hati menawarkan dirinya untuk di–qisas. Beliau lebih memilih menanggung sakit di dunia yang fana daripada menanggung tuntutan di akhirat yang abadi.
‘Ukasyah bin Mihshan dan Tuntutannya
Setelah pidato itu, suasana menjadi hening dan para sahabat menangis. Mereka merasa tidak pernah dizalimi oleh Nabi. Namun, tiba-tiba seorang sahabat bernama ‘Ukasyah bin Mihshan radhiyallahu ‘anhu berdiri. Ia maju ke depan dan berkata, “Wahai Rasulullah, engkau pernah memukulku.”
‘Ukasyah lalu menceritakan sebuah peristiwa saat perang. Ketika itu, Rasulullah SAW sedang merapikan barisan. Tongkat beliau secara tidak sengaja mengenai perut ‘Ukasyah. Mendengar ini, Rasulullah SAW tidak membela diri atau mencari alasan. Sebaliknya, beliau langsung mengakui dan siap menerima balasannya.
Rasulullah SAW segera menyuruh Bilal bin Rabah untuk mengambil tongkat. Beliau mempersilakan ‘Ukasyah untuk membalas pukulan itu. Para sahabat terkemuka, seperti Abu Bakar dan ‘Umar, bahkan menawarkan diri mereka untuk menggantikan posisi Nabi. Akan tetapi, Rasulullah SAW menolak karena ingin menuntaskan urusan ini secara pribadi.
Puncak Kecintaan dan Kerinduan
Inilah momen yang paling mengharukan. ‘Ukasyah berkata, “Wahai Rasulullah, engkau memukulku saat perutku tidak tertutup pakaian.” Tanpa ragu, Rasulullah SAW langsung menyingkap pakaiannya. Beliau memperlihatkan punggung dan perut beliau yang mulia untuk di-qisas.
Akan tetapi, saat itulah ‘Ukasyah tidak lagi memegang tongkatnya. Ia justru maju dan memeluk tubuh Rasulullah SAW. Ia menciumi punggung beliau sambil menangis. Ternyata, inilah tujuan ‘Ukasyah sebenarnya. Ia tidak pernah berniat untuk memukul Nabi.
Ia kemudian berkata, “Siapakah yang tega memukulmu, wahai Rasulullah? Aku hanya ingin kulitku menyentuh kulitmu di saat-saat terakhirmu. Semoga Allah menjadikannya sebagai pelindung bagiku dari api neraka.”
Pelajaran untuk Kita Semua
Kisah ini memberikan kita banyak pelajaran berharga:
-
Jangan pernah meremehkan kezaliman. Sekecil apa pun, Allah akan menuntutnya di akhirat.
-
Segerakan penyelesaian di dunia. Mintalah maaf dan kembalikan hak orang lain selagi kita masih hidup.
-
Inilah teladan pemimpin sejati. Seorang pemimpin harus siap bertanggung jawab dan tidak anti-kritik.
-
Lihatlah kecintaan para sahabat. Mereka menunjukkan cinta yang luar biasa kepada Nabi SAW.
Pada akhirnya, jika Rasulullah SAW yang ma’shum (terjaga dari dosa) begitu takut akan tuntutan kezaliman, bagaimana dengan kita? Kita yang setiap hari berlumuran dosa dan kesalahan. Kisah ini adalah pengingat keras bagi kita semua. Periksalah diri kita, apakah ada hak orang lain yang masih kita tahan? Segeralah selesaikan sebelum semuanya harus kita bayar dengan pahala dan dosa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
