Khazanah
Beranda » Berita » Memahami Nasihat Agung Rasulullah: Panduan bagi Para Hakim dalam Memutuskan Perkara

Memahami Nasihat Agung Rasulullah: Panduan bagi Para Hakim dalam Memutuskan Perkara

Jaksa dan Hakim Harus Paham, Impor Gula Kristal Putih Merugikan Perekonomian Negara

Seorang hakim memegang peran yang sangat krusial. Mereka adalah penentu nasib, pemutus sengketa, dan penegak keadilan di tengah masyarakat. Posisi ini tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual, tetapi juga kebijaksanaan, integritas, dan ketakwaan yang tinggi. Dalam tradisi Islam, kedudukan hakim sangat dihormati. Hal ini sekaligus memiliki tanggung jawab yang amat besar. Oleh karena itu, Rasulullah SAW, sebagai teladan utama umat Islam, telah memberikan nasihat-nasihat agung. pesan tersebut sangat relevan bagi para hakim dalam menjalankan tugas mulianya.

Nasihat Rasulullah SAW bukan sekadar kata-kata. Nasihat tersebut merupakan fondasi moral dan etika. Fondasi ini harus dipegang teguh oleh siapa pun yang mengemban amanah peradilan. Nasihat-nasihat ini memastikan bahwa setiap putusan yang diambil berlandaskan pada kebenaran dan keadilan ilahi. Tentunya, bukan berdasarkan pada hawa nafsu atau kepentingan pribadi.

Kisah Mu’adz bin Jabal: Pelajaran Berharga dari Rasulullah

Salah satu momen penting yang menggambarkan nasihat Rasulullah SAW adalah ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Mu’adz diutus untuk menjadi seorang qadhi atau hakim di sana. Sebelum keberangkatannya, Rasulullah SAW mengadakan dialog mendalam dengan Mu’adz. Dialog ini bertujuan untuk membekalinya dengan prinsip-prinsip penting dalam memutuskan perkara.

Rasulullah SAW bertanya kepada Mu’adz, “Dengan apa engkau menghukumi?”

Mu’adz menjawab, “Dengan Kitabullah.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kemudian Rasulullah SAW bertanya lagi, “Jika tidak engkau dapati di dalam Kitabullah?”

Mu’adz menjawab, “Dengan Sunah Rasulullah.”

Rasulullah SAW kembali bertanya, “Jika tidak engkau dapati di dalam Sunah Rasulullah?”

Mu’adz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya. Saya tidak akan berlebihan dan tidak akan mengurangi.”

Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW merasa sangat senang. Beliau menepuk dada Mu’adz seraya berkata, “Segala puji bagi Allah. Dia telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah terhadap sesuatu yang diridai oleh Rasulullah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kisah ini memuat banyak pelajaran berharga. Pertama, hakim perlu senantiasa menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama. Al-Qur’an adalah kalamullah yang memberikan petunjuk sempurna bagi seluruh umat manusia. Kedua, jika hakim tidak menemukan petunjuk dalam Al-Qur’an, ia harus merujuk pada Sunnah Rasulullah SAW. Sunnah mengimplementasikan ajaran Al-Qur’an secara praktis. Ketiga, dalam situasi di mana kedua sumber tersebut belum memberikan jawaban spesifik, ijtihad (usaha keras menggunakan akal dan nalar) membolehkan solusi. Namun, hakim harus melakukan ijtihad tersebut dengan penuh kehati-hatian. Ijtihad bertujuan mencapai keadilan.

Pentingnya Kedudukan Seorang Hakim

Nasihat Rasulullah SAW lainnya juga menegaskan betapa beratnya tanggung jawab seorang hakim. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda, “Hakim itu ada tiga macam. Dua macam di neraka dan satu macam di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum dengan kebenaran itu. Ia di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi berbuat curang dalam menetapkan hukum. Ia di neraka. Hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum menurut hawa nafsunya. Ia di neraka.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Hadis ini adalah peringatan keras. Ini menunjukkan bahwa seorang hakim harus memiliki pemahaman mendalam. Pemahaman tersebut adalah tentang hukum dan kebenaran. Selanjutnya, hakim tersebut harus memiliki integritas tinggi dalam penerapannya. Hakim yang memutuskan perkara dengan adil. Ia berlandaskan pada kebenaran. Maka, ia akan mendapatkan balasan surga. Namun, hakim yang menyimpang dari kebenaran, baik karena kesengajaan atau ketidaktahuan, akan menghadapi konsekuensi yang berat di akhirat.

Keadilan adalah pilar utama dalam Islam. Bahkan, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah. Biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (QS. An-Nisa: 135). Ayat ini menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Keadilan harus ditegakkan bahkan jika itu merugikan diri sendiri atau orang-orang terdekat. Ini menunjukkan standar moral yang sangat tinggi. Standar ini harus dimiliki oleh setiap penegak hukum.

Prinsip-prinsip Keadilan dalam Peradilan Islam

Nasihat Rasulullah SAW juga mencakup prinsip-prinsip penting lainnya yang harus diterapkan oleh seorang hakim:

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

  1. Tidak Memihak: Seorang hakim tidak boleh memihak. Ia tidak boleh memihak kepada salah satu pihak yang berperkara. Keduanya harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Rasulullah SAW mengajarkan, “Jika dua orang bersengketa datang kepadamu, janganlah engkau memutuskan untuk salah satu dari keduanya sebelum engkau mendengar perkataan yang lain. Karena sesungguhnya dengan begitu, engkau akan tahu kebenaran.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi). Mendengar kedua belah pihak secara adil adalah esensi dari keadilan.

  2. Berlandaskan Bukti dan Saksi: Keputusan hakim harus berdasarkan pada bukti-bukti. Bukti-bukti yang kuat dan kesaksian yang dapat dipercaya. Islam sangat menjunjung tinggi pentingnya bukti dalam peradilan. Islam tidak membolehkan keputusan berdasarkan asumsi atau prasangka.

  3. Mempertimbangkan Kondisi Sosial dan Kemanusiaan: Meskipun hukum harus ditegakkan, seorang hakim juga harus memiliki empati. Empati dan mempertimbangkan kondisi sosial. Ia juga mempertimbangkan kemanusiaan dari pihak-pihak yang terlibat. Tentu saja, hal ini harus tetap berada dalam koridor syariah.

  4. Menghindari Suap dan Tekanan: Seorang hakim harus bebas dari segala bentuk pengaruh eksternal. Pengaruh eksternal termasuk suap, tekanan politik, atau intervensi dari pihak-pihak berkepentingan. Integritas dan independensi adalah kunci utama. Keduanya untuk memastikan keputusan yang adil dan objektif.

Implementasi Nasihat dalam Konteks Kekinian

Nasihat Rasulullah SAW ini tidak lekang oleh waktu. Nasihat ini relevan di setiap zaman dan tempat. Di era modern ini, kompleksitas kasus hukum semakin meningkat. Maka dari itu, penting bagi para hakim untuk kembali merenungi ajaran-ajaran luhur ini. Mereka perlu memahami esensi keadilan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Sebaliknya, jika hakim menyimpang dari prinsip-prinsip ini, maka akan terjadi kekacauan. Ia akan menyebabkan ketidakpercayaan. Ia juga akan menyebabkan keresahan di masyarakat. Hal ini karena keadilan adalah fondasi utama sebuah peradaban. Tanpa keadilan, tatanan sosial akan rapuh. Masyarakat akan mudah hancur.

Maka dari itu, marilah kita senantiasa mendoakan para hakim. Kita doakan agar mereka diberikan kekuatan. Mereka diberikan kebijaksanaan. Mereka juga diberikan integritas. Hal ini agar mereka dapat menjalankan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Semoga setiap putusan yang mereka ambil senantiasa mendapatkan ridha dari Allah SWT. Semoga putusan tersebut membawa manfaat bagi seluruh umat manusia. Nasihat agung Rasulullah SAW adalah obor penerang. Ia adalah pedoman bagi setiap hakim. Pedoman ini mengemban tugas suci untuk menegakkan keadilan di muka bumi.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement