SURAU.CO. Tragedi yang terjadi pada 25 Agustus 2025, menewaskan seorang pengemudi ojek online (ojol) setelah terlindas kendaraan baracuda milik Brimob. Peristiwa ini terjadi saat pengamanan demonstrasi di depan Gedung DPR, telah menyulut amarah dan duka masyarakat Indonesia. Terlepas dari peristiwa demonstrasinya, driver ojol tersebut meninggal karena kecelakaan yang sengaja ataupun tidak.
Indonesia memiliki daftar panjang kecelakaan lalu lintas yang kerap menelan korban jiwa. Bahkan dalam konteks unjuk rasa yang seharusnya dilindungi secara hukum dan kemanusiaan. Hampir setiap hari ada saja peristiwa kecelakaan di berbagai wilayah Indonesia. Banyak faktor yang dapat menyebabkan kecelakaan. Ada yang sengaja ataupun tidak, meski lebih seringnya karena kelalaian.
Peristiwa semacam ini menimbulkan pertanyaan bagi umat Islam. Apakah seseorang yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas, tergolong sebagai orang yang mati syahid? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu pendekatan komprehensif dari segi sejarah (historis), landasan hukum Islam (dalil), fatwa para ulama, serta ketentuan dan syarat yang memperjelas konsep syahid dalam konteks kontemporer.
Kecelakaan Pada Masa Kenabian (Historis)
Pada masa kenabian, transportasi darat terbatas pada hewan tunggangan seperti unta dan kuda. Orang- orang belum mengenal adanya kendaraan bermotor. Maka, kecelakaan seperti tabrakan kendaraan bermotor, mobil atau kendaraan taktis jelas belum ada. Dengan demikian, tidak ada sejarah atau kisah pada masa kenabian tentang kecelakaan sebagai contoh atau rujukan. Namun, terdapat beberapa kejadian serupa, seperti orang yang meninggal karena jatuh dari hewan kendaraan atau masuk ke jurang, dan masuk dalam pembahasan lain.
Dalam hal ini, sebagian ulama mengqiyaskan (menyerupakan) kejadian kecelakaan lalu lintas masa kini dengan orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan bangunan atau kecelakaan serupa.
Dalil-dalil tentang Mati Syahid (Hukum)
Syariat Islam memuat klasifikasi orang-orang yang mati syahid dalam berbagai keadaan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim: “Orang yang mati syahid ada lima: yaitu orang yang mati karena tha’un (wabah), sakit perut, tenggelam, tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Bukhari No. 2829, Muslim No. 1914)
Dalam hadis lain memperluas klasifikasi tersebut menjadi tujuh golongan, termasuk wanita yang meninggal saat melahirkan. Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban wabah adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya, pen.) adalah syahid.” (HR. Abu Daud)
Dari hadis ini, para ulama mengembangkan pemahaman bahwa kematian yang terjadi secara tidak wajar dan menyakitkan, seperti tertimpa bangunan, kebakaran, atau tenggelam, tergolong sebagai syahid akhirat. Dan kedua hadis tersebut di atas tidak menyebutkan secara eksplisit tentang kematian sebab kecelakaan.
Pendapat dan Fatwa Ulama Kontemporer
Para ulama kontemporer banyak memberikan penjelasan mengenai status orang yang meninggal dalam kecelakaan. Di antaranya, Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan bahwa orang yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas termasuk sebagai syahid dalam makna pahala (syahid akhirat). Akan tetapi tidak menggugurkan kewajiban memandikan dan mensholatkannya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Kita berharap orang yang meninggal karena kecelakaan masuk dalam kategori syahid, dan ini (pendapat) yang lebih dekat wallahu’alam yang seperti ini masuk dalam kategori syahid. Karena situasinya serupa dengan orang yang tertimpa reruntuhan dan ia syahid InsyaAllah. Yaitu dalam segi pahala, akan tetapi dia tetap dimandikan dan disholatkan, adapun para syuhada yang tidak dimandikan dan tidak disholatkan adalah para syuhada dimedan tempur”.
Kemudian Syaikh Al-Utsaimin menambahkan: “Akan tetapi kita tidak bisa memastikan seseorang sebagai syahid, dalam aqidah ahlussunnah waljamaah kita tidak mensaksikan seseorang dengan surga atau neraka kecuali orang-orang yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyebutksnnya. Akan tetapi kita berharap orang tersebut termasuk dari para syuhada.” (Fatwa Nur ‘Ala Darb Syarit 253).
Demikian pula, Lajnah Ad-Da’imah, sebuah lembaga fatwa resmi di Arab Saudi, menyatakan bahwa korban kecelakaan tergolong sebagai syahid, karena analoginya dengan kematian karena reruntuhan.
“Kita berharap dia (termasuk) syahid, karena dia seperti seorang muslim yang meninggal karena reruntuhan dan telah shohih riwayat tersebut dari nabi shallallahu alaihi wasallam bahwasanya dia syahid”. (Fatawa Lajnah Ad-Da’imah 8/375)
Syahid Akhirat
Ulama klasik seperti Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj sepakat bahwa kematian karena kejadian tak wajar, seperti kebakaran, tenggelam, dan kecelakaan, masuk dalam kategori syahid akhirat.
Ibnu Hajr al-Haitami dalam kitabnya Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj menyatakan: “(Adapun syahid akhirat saja adalah seperti meninggal akibat tenggelam, sakit perut, dan kebakaran) dan menulis Syubari, berkata Syekh Ibn Abdil Haq: termasuk pada syahid akhirat itu adalah orang yang menyebabkan/ meninggal secara tak wajar”
Sementara itu, Habib Syekh Hasan bin Ahmad bin Salim al-Kaff dalam At-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah menyebutkan bahwa jenis mati syahid akhirat bisa mencapai lebih dari 70 macam, termasuk mereka yang mati karena mempertahankan harta, kehormatan, atau karena kecelakaan.
“Syahid akhirat itu banyak macamnya, sebagian ulama berpendapat sampai 70 macam, seperti seseorang yang dibunuh tanpa uangnya, atau dirinya sendiri, atau kehormatannya, dan orang yang mati akibat tenggelam, dan kebakaran”
Niat, Konteks, dan Keselamatan
Status syahid hanya berlaku jika kematian itu terjadi dalam konteks dalam jalan yang boleh secara syariat. Dalam hal ini, syahid karena kecelakaan hanya ketika terjadi pada safar yang mubah, bukan safar yang haram. Misalnya, seseorang yang wafat saat bekerja, berpergian untuk kebutuhan halal, atau membantu orang lain. Sebaliknya, seseorang yang mengalami kecelakaan dalam konteks maksiat, seperti menuju tempat perjudian atau konsumsi narkotika, tidak termasuk sebagai syahid.
Demikian pula, orang yang sengaja menabrakkan diri atau melakukan bunuh diri, jelas tidak termasuk dalam kategori mati syahid. Bunuh diri adalah dosa besar dalam Islam. Semoga allah subhanahu wata’ala mewafatkan kita semua dalam keadaan khusnul khotimah.
Bukan Syahid Perang
Berdasarkan dalil-dalil yang sahih, pendapat para ulama, serta kaidah fikih, maka kita menyimpulkan bahwa orang yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas, berpeluang mendapatkan pahala mati syahid akhirat. Ia termasuk dalam kematian tidak wajar dan dapat mengqiyaskan dengan orang meninggal karena kecelakaan tertimpa reruntuhan, karena badannya luka-luka. Selama kematiannya terjadi bukan dalam konteks maksiat dan tidak sengaja sebagai bentuk bunuh diri.
Mereka tidak sama dengan syahid perang dalam hal perlakuan jenazah. Karena, mereka tetap dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim Li al-Nawawi berkata, “Ulama berpendapat yang dimaksud orang yang syahid bukan karena memohon dijalan Allah akan mendapatkan pahala seperti orang yang mati syahid. Namun, jenazahnya tetap dimandikan dan berdoa”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
