Opinion
Beranda » Berita » Bahasa Kudeta: Antara Makna, Narasi, dan Dampaknya bagi Umat

Bahasa Kudeta: Antara Makna, Narasi, dan Dampaknya bagi Umat

Bahasa Kudeta: Antara Makna, Narasi, dan Dampaknya bagi Umat.

Bahasa Kudeta: Antara Makna, Narasi, dan Dampaknya bagi Umat.

Bahasa adalah pintu pertama dalam membentuk cara berpikir manusia. Sebuah kata bukan hanya kumpulan huruf, melainkan mengandung makna, persepsi, bahkan ideologi tertentu yang bisa menggerakkan atau meredam massa. Salah satu istilah yang sering muncul dalam wacana politik dan sosial adalah kata “kudeta.”

Asal-usul dan Makna Kudeta

Kata kudeta berasal dari bahasa Prancis coup d’état, yang berarti “pukulan terhadap negara.” Dalam pengertian politik modern, kudeta adalah perebutan kekuasaan secara paksa dari tangan pemerintah yang sah, biasanya dilakukan oleh kelompok militer atau elite tertentu. Kudeta berbeda dengan revolusi yang biasanya melibatkan gerakan massa rakyat luas, meski sama-sama berorientasi pada perubahan kekuasaan.

Dalam bahasa sehari-hari, kudeta menjadi simbol tindakan melawan pemerintah yang sah. Kata ini sarat dengan nuansa negatif karena lekat dengan kekerasan, pengkhianatan, serta instabilitas. Tidak heran, setiap kali kata “kudeta” digunakan, maka ia membawa konotasi ancaman terhadap tatanan sosial dan negara.

Kudeta dalam Narasi Politik: Bahasa “kudeta” sering dipakai oleh penguasa maupun oposisi sebagai senjata politik.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Bagi pemerintah, kata ini dipakai untuk mendeligitimasi gerakan oposisi atau protes rakyat, dengan melabelinya sebagai upaya menggulingkan kekuasaan secara ilegal.

Bagi kelompok penentang, istilah kudeta bisa diarahkan kepada pemerintah itu sendiri, bila mereka dianggap merebut kekuasaan tanpa legitimasi rakyat.

Dalam dunia politik, bahasa bisa menjadi framing yang menakutkan. Dengan melabeli sebuah gerakan sebagai “kudeta,” pemerintah bisa membenarkan tindakan represif. Sebaliknya, dengan menyebut pemerintah hasil kudeta, oposisi mencoba membangun narasi delegitimasi.

Kudeta dalam Timbangan Islam

Islam adalah agama yang menekankan keteraturan, keamanan, dan stabilitas masyarakat. Dalam Al-Qur’an, Allah melarang umat-Nya untuk membuat kerusakan di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 205). Rasulullah ﷺ juga memperingatkan agar umat Islam tidak mudah menumpahkan darah kaum Muslimin.

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa pemberontakan terhadap penguasa Muslim yang sah tanpa alasan syar’i justru menimbulkan kerusakan lebih besar daripada kebaikan yang diharapkan. Kudeta, revolusi berdarah, atau pemberontakan bukanlah bagian dari ajaran Islam. Sebaliknya, Islam mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara hikmah, dakwah, serta menasihati penguasa secara baik.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Namun demikian, bukan berarti Islam membenarkan kezaliman. Masyarakat harus menggunakan cara-cara yang sah untuk menuntut perubahan dan keadilan, bukan dengan kudeta atau revolusi yang berdarah.

Kita harus menghindari penggunaan bahasa kudeta yang tidak proporsional agar tidak memperburuk situasi. Pelabelan aksi damai sebagai kudeta dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hal ini bisa memicu perpecahan, kebencian, bahkan konflik horizontal.

Oleh karena itu, umat Islam perlu cerdas dalam memahami istilah politik. Jangan mudah terbawa arus propaganda bahasa. Ingat bahwa kata-kata adalah senjata: bisa membangun, bisa juga menghancurkan.

Jalan Tengah: Membaca, Bukan Terprovokasi

Kata “kudeta” seharusnya kita pahami secara jernih:

Secara politik, kudeta adalah perebutan kekuasaan secara paksa.
Secara bahasa, kudeta adalah simbol instabilitas.
Dan Secara agama, kudeta bertentangan dengan prinsip Islam yang melarang pemberontakan dan pertumpahan darah.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Pemerintah harus melindungi hak rakyat untuk menyuarakan tuntutan keadilan dengan cara damai. Islam mengajarkan keseimbangan: taat kepada penguasa selama tidak dalam maksiat, sekaligus tetap menyuarakan kebenaran dengan cara yang bijak.

Penutup: Bahasa “kudeta” bukan sekadar istilah politik, tetapi juga alat retorika yang bisa membentuk opini publik. Sebagai umat Islam, kita perlu menyikapi kata ini dengan hati-hati: memahami maknanya, menimbang dampaknya, dan tidak menjadikannya senjata untuk menebar kebencian. Kudeta, pemberontakan, dan revolusi berdarah jelas bukan jalan Islam. Jalan kita adalah dakwah, pendidikan, dan ishlah (perbaikan) dengan hikmah. (Tengku)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement