Opinion
Beranda » Berita » Dakwah Lintas Pulau: Menyambung Cahaya Iman di Ujung Nusantara

Dakwah Lintas Pulau: Menyambung Cahaya Iman di Ujung Nusantara

Dakwah Lintas Pulau: Menyambung Cahaya Iman di Ujung Nusantara

Dakwah Lintas Pulau: Menyambung Cahaya Iman di Ujung Nusantara.

 

Indonesia adalah negeri kepulauan. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, Allah menganugerahkan lautan luas yang menghubungkan ribuan pulau. Namun di balik keindahannya, laut juga menjadi tantangan tersendiri bagi para pejuang dakwah. Sebab, di setiap pulau, ada saudara-saudara kita yang menunggu setetes cahaya iman, pengajaran Al-Qur’an, serta penguatan akidah Islam.

Perjalanan dakwah lintas pulau tidak selalu mudah. Ada ombak yang mengguncang, angin yang menderu, bahkan terkadang perahu kecil yang menjadi satu-satunya penghubung antarwilayah. Namun, justru di situlah letak keindahannya. Dakwah bukan sekadar kata-kata, tapi pengorbanan. Ia menuntut kesabaran, keberanian, dan keyakinan bahwa setiap langkah—bahkan setiap kayuhan perahu atau detik perjalanan kapal—adalah ibadah di jalan Allah.

Allah ﷻ berfirman:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

> “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’?” (QS. Fussilat: 33)

Ayat ini memberi inspirasi bahwa dakwah adalah panggilan mulia, lebih tinggi dari sekadar perjalanan duniawi. Saat seorang da’i menyeberang pulau, ia sedang menyambung ukhuwah, mengikat simpul iman di tengah masyarakat yang mungkin jauh dari pusat keramaian.

Kisah di Balik Perjalanan

Di dalam kapal sederhana, orang-orang duduk berjejer di kursi hitam, sebagian memandang jendela kecil, sebagian lainnya terdiam dalam doa. Perjalanan bukan sekadar dari dermaga ke dermaga, tapi dari hati menuju hati. Setiap wajah yang ditemui di pulau tujuan adalah ladang pahala: anak-anak yang ingin belajar mengaji, para pemuda yang perlu dikuatkan akidahnya, hingga orang tua yang haus akan tausiyah.

Menghadapi Tantangan: Dakwah lintas pulau menuntut kesungguhan. Kadang da’i harus bermalam di rumah penduduk dengan fasilitas sederhana, makan apa adanya, atau bahkan berjalan kaki menembus hutan kecil setelah turun dari kapal. Semua itu adalah bagian dari jihad fi sabilillah.

Buah dari Perjuangan: Setiap peluh yang menetes akan diganti Allah dengan keberkahan. Melihat seorang anak mampu membaca Al-Qur’an, seorang pemuda meninggalkan maksiat, atau masyarakat mulai terbiasa dengan shalat berjamaah, adalah kemenangan yang lebih berharga daripada emas dan permata.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Penutup: Dakwah lintas pulau adalah simbol cinta kepada umat

Ia adalah bentuk nyata dari sabda Rasulullah ﷺ: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat.” (HR. Bukhari)

Maka, selama ada pulau yang harus disinggahi, selama masih ada hati yang perlu disentuh, dan selama ombak belum memisahkan cinta kita pada Allah, dakwah ini tidak akan pernah berhenti.

Semoga Allah menjaga para da’i, para penyuluh agama, dan seluruh pejuang Islam yang menyeberangi lautan demi menyalakan pelita hidayah di setiap jengkal Nusantara.

 

 

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi


Sebaik – sebaik Nasehat.

 

Masha’Allah, kalimat penuh hikmah yang Anda bagikan sangat menyentuh:

> “Sebaik-baik kehidupan adalah yang tidak menguasaimu dan tidak pula mengalihkan perhatianmu (dari mengingat ALLAH Azza wa jalla). Ingatlah kalian akan berakhirnya segala kesenangan dan yang tertinggal adalah pertanggungjawaban.”

— Sebuah nasihat mendalam tentang ketenangan hati, kelapangan jiwa, dan pentingnya persiapan menghadapi pertanggungjawaban di akhirat.

Refleksi dan Tafsir Spiritual

1. Kehidupan yang “tidak menguasaimu dan tidak mengalihkan perhatianmu”
Maknanya: perjalanan hidup yang kita jalani tanpa terbawa oleh gemerlap dunia, dan tanpa terganggu dalam ingatan kepada Allah.

Ini mengajak kita untuk hidup sederhana, menjaga fokus pada tanggung jawab spiritual, serta menghindari keterikatan berlebih pada materi atau hiruk-pikuk duniawi.

2. “Akan berakhirnya segala kesenangan”
Menunjukkan sifat fana (sementara) dari dunia dan kenikmatannya — semua akan berakhir.
Sebagai pengingat untuk tidak terlalu larut dalam kesenangan duniawi, karena yang abadi adalah persiapan spiritual dan amal baik.

3. “Yang tertinggal adalah pertanggungjawaban”
Setiap amal, kata, dan perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Penekanan bahwa kehidupan dunia adalah persinggahan, bukan tujuan akhir. Yang paling penting adalah kualitas persiapan kita menuju akhirat.

Hikmah Transformatif: Hikmah penjelasan

Mindfulness Spiritual Mengajak kita hidup sadar dan terarah, menjaga hati agar tetap fokus kepada Allah. Detachment Duniawi Mendorong kesahajaan; memahami bahwa dunia bukan tempat berpijak terakhir.

Kesadaran Akhirat Menjadikan pertanggungjawaban sebagai pengingat bahwa kita hidup untuk lebih dari sekadar dunia.

Semoga nasihat ini membuat kita semakin peduli dengan akhlak dan amal, serta menghadirkan ketenangan dan konsentrasi dalam beribadah. Kalau Anda mau, kita bisa lanjut membahas tafsir, amalan konkret, atau kajian keagamaan lainnya. Bagaimana menurut Anda?. (Tengku Iskandar, M.Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement