Surau.co – Jumlah air di dunia sangat banyak. Bahkan sejumlah literatur menyebut, 70 persen bumi berisi air. Dalam konteks ajaran islam, air tak hanya untuk kebutuhan fisik atau material manusia, namun juga ada dimensi ibadah. Sebab, air merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan untuk umat islam dalam bersuci. Misalnya wudhu atau mandi besar.
Secara prinsip dasar, air yang Allah turunkan dari langit adalah suci. Hal itu sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran.
“Dan Kami turunkan dari langit air yang bersih lagi mensucikan.” (QS. Al-Furqan: 48).
Meski demikian, kondisi di bumi bisa mengubah sifat tersebut. Sebab di bumi, selain hal yang mensucikan juga terdapat hal-hal yang kotor. Misalnya kotoran hewan atau manusia dan sebagainya. Untuk itu, meski jumlah air besar, tidak semuanya memenuhi syarat untuk digunakan untuk bersuci.
Dalil Hadits Tentang Air
Dalam hadits, Nabi Muhammad SAW memberikan pedoman perihal perubahan yang mengubah sifat suci air .
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ
Dari Abu Umamah al-Bahily RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya.” Dikeluarkan oleh Ibnu Majah.
Hadits tersebut menjelaskan, sifat dasar air yang mensucikan berubah jika ada salah satu atau ketiganya yang berubah, yakni rasa, bau dan warnanya.
Perubahan rasa artinya, air yang awalnya tawar berubah menjadi masam, pahit, atau amis. Perubahan bau artinya, air yang sifat alaminya tak memiliki bau, berubah menjadi bau busuk ataupun lainnya.
Sementara berubah warna berarti, warna alami air yang jernih berubah akibat campuran benda tertentu. Sehingga tidak bisa dipakai bersuci. Namun demikian, ulama berpendapat, jika perubahan terjadi bukan karena najis, melainkan sebab alami yang suci seperti lumut atau tanah, maka tetap bisa untuk bersuci. Pendapat ini relevan dengan umat yang hidup dengan sumber air terbuka, seperti sumur, sungai, atau waduk.
Konteks Sosial
Dalam situasi masyarakat Arab saat itu, ajaran tentang tiga tanda perubahan air menjadi pegangan praktis bagi umat islam. Sebab, tak lagi memerlukan alat canggih untuk menguji kualitas air. Mengingat ketiga tanda tersebut bisa dipahami dengan cukup mengandalkan pancaindra.
Namun dengan konteks hidup di zaman berubah seperti saat ini, hal tersebut relatif lebih sulit untuk dijadikan ukuran. Saat ini, pencemaran tidak selalu tampak pada indra kita. Dalam banyak kasus air duar ulang misalnya, limbah pabrik yang mengandung logam berat, residu pestisida dari sawah, hingga mikroplastik yang tak kasat mata bisa mencemari air tanpa mengubah rasa, warna, atau bau.
Secara kasat mata misalnya, air tetap terlihat jernih. Tapi secara ilmiah, jika diteliti lebih detail, bisa saja air tersebut mengandung hal yang sifatnya najis. Oleh karenanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa perihal air daur ulang.
Fatwa MUI
Dalam fatwanya, MUI menyebut air daur ulang bersifat suci mensucikan sepanjang prosesnya sesuai dengan ketentuan fikih. Antara lain Thariqat an-Nazh, yaitu dengan cara menguras air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut; sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis dan yang tidak berubah salah satu sifatnya.
Lalu Thariqah al-Mukatsarah, yaitu dengan cara menambahkan air suci lagi mensucikan pada air yang terkena najis atau yang berubah tersebut hingga mencapai volume paling kurang dua kullah. Sehingga unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang.
Terakhir adalah Thariqah Taghyir, yaitu dengan cara mengubah air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengembalikan sifat-sifat asli air itu menjadi suci.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
