SURAU.CO – Dari pemberitaan dan media sosial, pada akhir bulan Agustus 2025 telah terjadi aksi unjuk rasa nasional di berbagai kota besar Indonesia dan berujung kericuhan. Demonstrasi yang awalnya demi menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), memprotes besarnya tunjangan DPR, serta menuntut reformasi kepolisian, akhirnya berubah menjadi tindakan anarkis dengan pembakaran fasilitas umum, kantor pemerintahan, hingga kendaraan.
Peristiwa ini mungkin dapat mengingatkan kita pada momen jelang Revolusi Prancis pada Juli 1989, khususnya Affair Réveillon–kerusuhan Réveillon (April 1789). Saat itu, keresahan rakyat Paris terhadap kelaparan, kesenjangan sosial, dan kesombongan kaum kaya memicu kerusuhan besar: penjarahan gudang dan pabrik , bentrok pasukan kerajaan dengan dengan warga, dan akhirnya korban jiwa pun berjatuhan. Dan semestinya kita belajar banyak dari peristiwa ini.
Kondisi Paris jelang revolusi
Dalam kondisi seperti itu, sudah terbayangkan bahwa Paris tidak akan bisa tetap tenang dan kondusif . Kelaparan mencengkeram daerah pedesaan sekitar Paris, sebagaimana juga terjadi pada tempat-tempat lain. Persediaan makanan begitu langka. Bahkan mereka yang datang mencari pekerjaan tidak dapat melakukan apa pun selain menambah jumlah orang miskin kota. Terlebih di tengah peluang besar ‘peristiwa’ yang akan segera meletus
Menjelang akhir musim dingin — pada bulan Maret dan April — beberapa laporan kerusuhan akibat kelaparan dan penjarahan gandum tercatat oleh para gubernur provinsi Orléans, Cosnes, Rambouillet, Jouy, Pont-Sainte-Maxence, Bray-sur-Seine, Sens, Nangis, Viroflay, Montlhéry, dan lain-lain. Bahkan para petani sejak Maret sudah memusnahkan semua kelinci dan rusa pada kawasan hutan sekitar Paris; bahkan kayu di hutan milik Biara Saint-Denis mereka tebang dan meraka bawa pergi secara terang-terangan.
Pamflet-pamflet revolusioner bertebaran membanjiri Paris saat itu — sepuluh, dua belas, bahkan dua puluh terbit setiap hari — yang dengan cepat berpindah dari tangan mereka yang mampu membelinya ke tangan rakyat miskin. Orang-orang memperbincangkan dengan penuh semangat pamflet karya Sieyès “Qu’est-ce que le tiers?” (“Apakah itu kaum ketiga?”), karya Rabaud de Saint Etienne “Considérations sur les intérêts du tiers état “(“Telaah Kepentingan rakyat jelata”) yang sarat dengan gagasan Sosialis. “Les droits des états-généraux” (Hak-hak Dewan Perwakilan) karya d’Entraigues, serta ratusan pamflet lain yang kurang terkenal, tetapi sering lebih tajam.
Seluruh Paris makin tersulut amarah terhadap istana dan kaum bangsawan. Tak lama kemudian, kaum revolusioner kelas menengah pergi ke pinggiran termiskin kota. Mereka masuk ke kedai-kedai itu untuk merekrut tenaga dan tombak yang mereka butuhkan guna menghantam monarki absolut.
“Affair Réveillon”
Sementara itu, pada 28 April, meletuslah pemberontakan yang kelak terkenal dengan sebutan “Affair Réveillon”. Peristiwa monumental yangmenjadi pertanda awal dari hari-hari besar Revolusi.
Paris 27 April, Majelis Pemilihan bertemu. Tampaknya selama penyusunan cahiers de doléances–buku catatan keluhan–di Faubourg Saint-Antoine terjadi perselisihan antara kalangan menengah dengan para pekerja. Para buruh mengajukan keluhan, tetapi orang-orang kelas menengah membalas dengan cemoohan. Jean-Baptiste Réveillon, seorang pengusaha kertas dan pewarna yang dulunya buruh, kini setelah berhasil mengumpulkan modal mempekerjakan tiga ratus pekerja, menjadi terkenal karena ucapannya yang kejam dan sangat merendahkan rakyat jelata. Publik sering mengulang perkataan Réveillon hingga kini:
“Kaum pekerja bisa hidup dengan roti hitam dan kacang lentil; gandum bukan untuk mereka.”
Dengan suasana batin rakyat yang sudah pedih dan mendidih, Pyotr Kropotkin dalam bukunya The Great French Revolution menulis pertanyaan
“Bukankah sikap dan ucapan Réveillon terhadap kaum pekerja sudah cukup untuk menjelaskan apa yang akan terjadi keesokan harinya?”
Konflik pertama: rakyat Paris versus kaum kaya
Pada 27 April, rakyat yang murka akibat penentangan sang pengusaha kaya dan kata-kata kasarnya. Mereka mengarak patung boneka Réveillon ke Place de la Grève untuk dijatuhi hukuman dan dieksekusi. Di Place Royale beredar kabar bahwa Kaum Ketiga–rakyat jelata–baru saja menghukum mati Réveillon. Namun ketika malam tiba, kerumunan pun bubar. Mereka masih meninggalkan teror untuk kalangan kaya lewat pekikan mereka yang menggema sepanjang malam di jalan-jalan.
Akhirnya, pada pagi 28 April, kerumunan massa mendatangi pabrik milik Réveillon dan memaksa para buruh menghentikan kerja. Massa kemudian menyerang gudang dan menjarahnya. Pasukan kerajaan datang, tetapi rakyat segera menantang dengan melempari batu, genteng, dan perabot dari jendela serta atap. Pasukan pun memulai tembakan, peluru berdesingan dan selama beberapa jam rakyat mempertahankan diri dengan sengit. Hasilnya: dua belas prajurit tewas dan delapan puluh luka-luka; dari pihak rakyat ada dua ratus orang tewas dan tiga ratus terluka. Para pekerja mengangkat jenazah kawan-kawan mereka dan mengaraknya melalui jalan-jalan pinggiran kota. Beberapa hari kemudian, gerombolan liar massa berjumlah lima hingga enam ratus orang berkumpul di Villejuif–kota kecil pinggiran selatan Paris–dan mencoba membobol pintu penjara Bicétre.
“Emas Inggris”
Di sinilah terjadi konflik pertama antara rakyat Paris dan kaum kaya, konflik yang meninggalkan kesan mendalam. Untuk pertama kalinya terlihat rakyat yang terdesak hingga keputusasaan, sebuah pemandangan yang memberi pengaruh besar pada pemilihan dengan menghalau kaum reaksioner. Tak perlu dikatakan bahwa kaum menengah berusaha membuktikan bahwa kerusuhan ini merupakan rekayasa musuh-musuh Prancis. “Mengapa rakyat Paris yang baik-baik harus bangkit melawan seorang pengusaha?” tanya mereka. “Itu pasti uang Inggris yang mendorong mereka memberontak,” kata sebagian orang; “emas kaum aristokrat,” kata kaum revolusioner kelas menengah. Tidak ada seorang pun yang mau mengakui bahwa rakyat memberontak semata karena mereka menderita, dan sudah tak sanggup lagi menahan kesombongan kaum kaya yang menambahkan penghinaan atas penderitaan mereka.
Sejak saat itulah lahir legenda yang kelak digunakan untuk mereduksi Revolusi hanya pada kerja parlementer, dan untuk menggambarkan semua pemberontakan rakyat selama empat tahun Revolusi sebagai kecelakaan belaka — ulah para perampok atau agen yang dibayar entah oleh Pitt–William Pitt the Younger–Perdana Menteri Inggris yang khawatir ide-ide revolusi menyebar ke Inggris atau pihak reaksioner. Para sejarawan kemudian menghidupkan lagi legenda itu:
“Karena Istana bisa menggunakan kerusuhan ini sebagai dalih untuk menolak usulan-usulan dari États-Généraux, maka pastilah itu hanya pekerjaan kaum reaksioner.” Betapa sering kita mendengar cara berpikir seperti ini di zaman kita sendiri! tulis Kropotkin.
Revolusi berawal dari Paris
Pada kenyataannya, hari-hari dari 24 hingga 28 April hanyalah pertanda awal bagi hari-hari 11 hingga 14 Juli. Semangat revolusioner mulai muncul di kalangan rakyat Paris sejak saat itu. Dekat Palais Royal — pusat revolusi kaum menengah — berdirilah Faubourgs, pusat kebangkitan rakyat. Sejak saat itu Paris menjadi titik pusat Revolusi. Kemudian États-Généraux, yang segera berkumpul di Versailles, bergantung pada Paris untuk mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan dalam menyuarakan tuntutan serta perjuangan melawan istana.
Dari“Affair Réveillon” kita bisa belajar, ketika rakyat dalam kondisi nestapa dan lapar, mereka bagaikan daun dan ilalang kering, memendam kemarahan dan mudah terpantik–lalu terbakar. Saat ini kita perlu kelapangan hati dan nurani dari para petinggi untuk berempati. (St.Diyar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
