SURAU.CO – Hobi mendekorasi rumah kini sangat beragam. Sebagian orang menyukai hiasan yang unik dan tidak biasa. Salah satunya adalah memajang hewan yang diawetkan, atau biasa disebut opsetan. Hiasan ini bisa berupa kepala rusa, burung elang, atau bahkan ikan hasil tangkapan. Namun, sebagai seorang Muslim, kita tentu perlu bertanya. Bagaimana hukum memajang hewan yang diawetkan menurut syariat?
Pertanyaan ini sangat penting. Sebab, ia bersinggungan langsung dengan salah satu larangan keras dalam Islam. Yaitu larangan membuat dan memajang patung atau gambar makhluk bernyawa. Lantas, apakah hewan awetan termasuk dalam kategori patung yang terlarang? Mari kita telaah masalah ini lebih dalam.
Larangan Gambar dan Patung dalam Islam
Dasar utama dari masalah ini adalah hadits yang sangat terkenal. Rasulullah SAW melarang umatnya untuk memajang gambar atau patung makhluk bernyawa. Beliau menegaskan bahwa malaikat rahmat tidak akan memasuki rumah yang terdapat hal-hal tersebut. Abu Thalhah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
لاَ تَدْخُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ، وَلاَ صُورَةُ تَمَاثِيلَ
“Malaikat (rahmat) tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar patung.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjadi landasan kuat. Para ulama sepakat bahwa membuat atau memajang patung makhluk bernyawa secara utuh adalah haram. Larangan ini bertujuan untuk menutup pintu kesyirikan. Juga untuk mengagungkan Allah sebagai satu-satunya Sang Pencipta.
Apakah Hewan Awetan Termasuk Patung?
Di sinilah letak titik perbedaan pendapat. Apakah hewan yang diawetkan sama statusnya dengan patung buatan tangan? Sebagian ulama menganggapnya sama. Karena bentuknya menyerupai makhluk hidup secara utuh. Namun, ada pandangan lain yang lebih kuat dan rinci.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah memberikan penjelasan yang sangat menarik. Beliau membedakan antara patung buatan manusia dan hewan awetan. Menurut beliau, keduanya adalah hal yang berbeda. Patung adalah hasil karya manusia. Manusia mencoba meniru ciptaan Allah. Inilah yang terlarang.
Sementara itu, hewan yang diawetkan bukanlah buatan manusia. Ia adalah ciptaan Allah yang asli. Manusia hanya melakukan proses pengawetan agar tidak busuk. Manusia tidak membuat atau membentuknya dari awal.
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Adapun mengawetkan hewan, maka hukumnya tidak mengapa. Karena ia bukanlah patung dan bukan pula perbuatan menandingi ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi, ia adalah salah satu dari ciptaan Allah. Engkau hanya mengawetkannya agar tidak rusak. Maka, tidak mengapa melakukan hal tersebut.”
Berdasarkan fatwa ini, memajang hewan awetan tidak termasuk dalam larangan memajang patung.
Tinjauan dari Sisi Pemborosan (Israf)
Meskipun hukumnya boleh dari sisi patung, ada aspek lain yang perlu kita pertimbangkan. Yaitu aspek pemborosan atau israf. Proses mengawetkan hewan seringkali membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jika tujuannya hanya untuk berbangga-bangga atau sekadar hiasan, maka ini bisa jatuh ke dalam perbuatan sia-sia.
Allah SWT tidak menyukai hamba-Nya yang menghambur-hamburkan harta. Apalagi untuk sesuatu yang tidak memiliki manfaat primer. Membeli hewan awetan seharga jutaan rupiah hanya untuk pajangan jelas bukan sikap seorang Muslim yang bijak. Syaikh Al-‘Utsaimin melanjutkan nasihatnya:
“Akan tetapi, apakah menghabiskan harta untuk hal ini termasuk pemborosan? Jawabannya, iya. Jika tujuannya hanya sekadar untuk pajangan, maka tidak diragukan lagi bahwa ini termasuk pemborosan harta.”
Ini adalah nasihat yang sangat penting. Bolehnya sesuatu bukan berarti kita bebas melakukannya tanpa pertimbangan.
Jalan Kehati-hatian Lebih Utama
Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan beberapa poin. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa memajang hewan awetan tidak sama dengan memajang patung. Sehingga, ia tidak terkena larangan yang menyebabkan malaikat tidak masuk rumah.
Namun, kita harus waspada terhadap niat dan tujuan kita. Jika proses ini menghabiskan banyak biaya hanya untuk hiasan, maka ia termasuk pemborosan yang tercela. Ini juga bisa membuka pintu untuk berbangga diri.
Oleh karena itu, jalan yang paling selamat adalah meninggalkannya. Rumah seorang Muslim sebaiknya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat. Seperti buku-buku Islami, kaligrafi ayat Al-Qur’an, atau hiasan yang tidak mengandung unsur syubhat. Sikap wara’ (kehati-hatian) dalam hal seperti ini akan membuat hati kita lebih tenang. Dan tentu saja, lebih dicintai oleh Allah SWT.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
