SURAU.CO – Menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah shalat. Ia merupakan pilar utama yang tidak bisa ditawar dalam kondisi normal. Ini adalah perintah langsung dari Allah SWT. Perintah yang menjadi simbol persatuan umat Islam di seluruh dunia. Allah SWT berfirman dengan sangat jelas dalam Al-Qur’an:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Ayat ini menjadi dasar kewajiban tersebut. Jika seseorang sengaja shalat tanpa menghadap kiblat padahal ia mampu, maka shalatnya tidak sah. Namun, Islam adalah agama yang penuh kemudahan. Syariat memberikan keringanan dalam beberapa kondisi darurat. Dalam keadaan tertentu, kewajiban ini bisa gugur.
1. Kondisi Tidak Mampu Secara Fisik
Keringanan pertama berlaku bagi orang yang tidak mampu. Ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh berbagai hal. Misalnya, seorang pasien terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia tidak bisa mengubah posisinya sama sekali. Atau, seseorang yang terikat atau terancam. Ia dipaksa untuk shalat menghadap ke arah selain kiblat.
Dalam kondisi seperti ini, ia boleh shalat sesuai kemampuannya. Kewajiban menghadap kiblat gugur darinya. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan:
“Jika seseorang tidak mampu (menghadap kiblat), seperti orang sakit yang sulit untuk menghadap kiblat, atau shalat di atas kapal yang sulit untuk diarahkan ke kiblat, maka kewajiban tersebut menjadi gugur.”
Ini adalah bentuk rahmat Allah. Allah tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya.
2. Shalat Sunnah di Atas Kendaraan
Keringanan kedua berlaku khusus untuk shalat sunnah. Ini sering terjadi saat kita berada dalam perjalanan panjang. Baik itu di atas mobil, kereta, kapal, maupun pesawat. Saat di atas kendaraan, kita boleh melaksanakan shalat sunnah. Arahnya mengikuti arah laju kendaraan tersebut.
Aturan ini tidak berlaku untuk shalat fardhu. Untuk shalat fardhu, kita tetap wajib turun dari kendaraan. Lalu, kita mencari tempat untuk shalat dengan menghadap kiblat secara sempurna. Rasulullah SAW mencontohkan hal ini. Beliau sering shalat sunnah di atas untanya. Arahnya sesuai dengan arah unta itu berjalan.
3. Shalat Khauf (Saat Keadaan Genting)
Kondisi ketiga adalah saat keadaan sangat genting. Contoh yang paling jelas adalah saat perang berkecamuk. Kondisi ini disebut shalat khauf atau shalat dalam keadaan takut. Dalam situasi ini, keamanan dan kewaspadaan menjadi prioritas utama. Para prajurit Muslim boleh shalat sesuai arah hadap mereka. Mereka tidak diwajibkan untuk mencari arah kiblat.
4. Tidak Mengetahui Arah Kiblat
Inilah kondisi yang paling sering kita alami. Misalnya, saat kita berada di tempat asing. Seperti di hotel, hutan, atau di negara non-Muslim. Kita tidak tahu di mana arah kiblat yang pasti. Dalam situasi ini, kewajiban pertama kita adalah berusaha (ijtihad).
Kita harus mencoba mencari tahu arah kiblat. Caranya bisa dengan bertanya kepada penduduk setempat. Bisa juga dengan menggunakan kompas atau aplikasi penunjuk kiblat. Jika semua cara sudah diusahakan namun tetap ragu, maka kita shalat sesuai keyakinan kita.
Bagaimana jika setelah shalat kita baru tahu arahnya salah? Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
“Jika seseorang sudah berijtihad untuk menentukan arah kiblat kemudian ia shalat, maka shalatnya sah. Ia tidak perlu mengulanginya, walaupun setelah itu ia tahu bahwa ijtihadnya keliru.”
Fatwa ini memberikan ketenangan. Selama kita sudah berusaha dengan sungguh-sungguh, shalat kita tetap sah. Allah tidak melihat hasil akhirnya, tetapi menilai kesungguhan usaha kita.
Keseimbangan Antara Kewajiban dan Kemampuan
Pada akhirnya, kita dapat melihat betapa indahnya ajaran Islam. Hukum shalat tidak menghadap kiblat memiliki rincian yang jelas. Menghadap kiblat adalah pilar utama shalat. Namun, Allah Yang Maha Pengasih memberikan keringanan saat ada uzur.
Keringanan ini menunjukkan bahwa syariat sangat realistis. Ia menyeimbangkan antara kewajiban yang agung dan kemampuan hamba-Nya yang terbatas. Tugas kita adalah berusaha semaksimal mungkin. Setelah itu, kita bertawakal kepada Allah SWT.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
