Kalam
Beranda » Berita » Hukum Berdiam Diri Menghadapi Kezaliman dalam Perspektif Islam: Sebuah Tinjauan Mendalam

Hukum Berdiam Diri Menghadapi Kezaliman dalam Perspektif Islam: Sebuah Tinjauan Mendalam

Setiap Keadaan Hanya Sementara: Hikmah di Balik Perjalanan Hidup

Kezaliman merupakan suatu tindakan yang merugikan, tidak adil, dan melanggar hak-hak orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita seringkali dihadapkan pada situasi di mana kezaliman terjadi di depan mata. Pertanyaannya kemudian, bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim ketika menyaksikan kezaliman? Apakah berdiam diri adalah pilihan yang tepat, ataukah ada kewajiban untuk bertindak? Artikel ini akan mengupas tuntas hukum berdiam diri melihat kezaliman dalam perspektif Islam, menyoroti pentingnya amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), serta implikasinya bagi individu dan masyarakat.

Fondasi Etika Islam: Keadilan dan Pencegahan Kezaliman

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan. Allah SWT telah menetapkan prinsip-prinsip keadilan universal bagi seluruh umat manusia. Setiap bentuk penindasan, ketidakadilan, dan kezaliman sangat dikecam dalam syariat Islam. Seorang Muslim diperintahkan untuk selalu berdiri di sisi kebenaran dan keadilan, bahkan jika itu harus berhadapan dengan kerabat terdekat sekalipun.

Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW berulang kali menekankan pentingnya menentang kezaliman. Ini bukan hanya sekadar anjuran, melainkan sebuah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) dan bahkan bisa menjadi kewajiban individu (fardhu ain) dalam kondisi tertentu. Berdiam diri saat kezaliman terjadi dapat memiliki konsekuensi serius, baik di dunia maupun di akhirat.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Pilar Utama Menghadapi Kezaliman

Konsep “amar ma’ruf nahi munkar” adalah inti dari sikap seorang Muslim terhadap kezaliman. Ini adalah prinsip mendasar dalam Islam yang memerintahkan setiap Muslim untuk berpartisipasi aktif dalam menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Munkar mencakup segala bentuk kezaliman, kemaksiatan, dan perbuatan yang melanggar syariat.

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”

Hadis ini secara jelas menggarisbawahi tiga tingkatan respons terhadap kemungkaran, termasuk kezaliman:

  1. Dengan Tangan (Tindakan Fisik): Ini adalah tingkatan tertinggi. Dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengubah kezaliman secara langsung, seperti pemimpin atau pihak berwenang. Namun, ini harus dilakukan dengan bijaksana dan tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

  2. Dengan Lisan (Nasihat atau Teguran): Jika tidak mampu mengubah dengan tangan, seorang Muslim wajib menegur atau menasihati pelaku kezaliman dengan kata-kata yang baik dan hikmah. Ini bisa berupa kritik konstruktif, pengajaran, atau bahkan membeberkan kebenaran kepada publik.

  3. Dengan Hati (Membenci dalam Hati): Ini adalah tingkatan terendah dari iman. Jika seorang Muslim sama sekali tidak mampu mengubah kezaliman dengan tangan atau lisan, ia wajib membenci kezaliman tersebut dalam hatinya. Ini menunjukkan bahwa ia tidak meridhai perbuatan tersebut dan masih memiliki keimanan. Namun, berdiam diri sepenuhnya tanpa ada rasa benci dalam hati menunjukkan kelemahan iman yang sangat besar.

    Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dampak Berdiam Diri terhadap Individu dan Masyarakat

Berdiam diri saat kezaliman merajalela dapat membawa dampak negatif yang luas. Bagi individu, berdiam diri bisa mengikis rasa keadilan, memadamkan semangat membela kebenaran, dan bahkan menumbuhkan sikap apatis. Hati yang terbiasa melihat kemungkaran tanpa bergerak bisa menjadi keras dan sulit menerima kebenaran.

Dalam skala masyarakat, berdiam diri kolektif terhadap kezaliman akan memungkinkan kezaliman tersebut berkembang biak. Pelaku kezaliman akan merasa semakin berani karena tidak ada yang menentangnya. Hal ini bisa merusak tatanan sosial, menghilangkan rasa aman, dan menyebabkan kehancuran moral suatu bangsa.

Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar, mengingatkan bahaya berdiam diri:

“Apabila orang yang jahat tidak dilarang, niscaya kemungkaran akan berakar dan merebak ke mana-mana, sehingga menjadi kebiasaan dan sukar diubah.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa kezaliman yang tidak ditangani akan menjadi normal dan sulit untuk dihilangkan. Oleh karena itu, umat Islam memiliki tanggung jawab untuk saling mengingatkan dan mencegah kezaliman demi menjaga kemaslahatan bersama.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Kapan Berdiam Diri Diperbolehkan?

Meskipun prinsipnya adalah menentang kezaliman, Islam juga mengajarkan pragmatisme dan menghindari bahaya yang lebih besar. Ada beberapa kondisi di mana berdiam diri, atau menunda tindakan, mungkin dibolehkan:

  • Ketika Tindakan Justru Menimbulkan Bahaya Lebih Besar: Jika upaya menentang kezaliman justru akan membahayakan diri sendiri, keluarga, atau masyarakat secara signifikan tanpa hasil yang jelas, maka Islam membolehkan untuk menahan diri. Namun, kebencian dalam hati harus tetap ada.

  • Ketiadaan Kemampuan: Jika seseorang benar-benar tidak memiliki kemampuan fisik, lisan, atau kekuasaan untuk mengubah kezaliman, maka ia dituntut untuk membenci kezaliman tersebut dalam hatinya.

  • Dalam Kondisi Terpaksa (Ikrah): Dalam situasi di mana nyawa atau harta benda terancam secara serius, dan tidak ada pilihan lain selain berdiam diri, maka berdiam diri diperbolehkan.

Namun, kondisi-kondisi ini tidak boleh dijadikan alasan untuk selalu berdiam diri. Seorang Muslim harus senantiasa mencari cara dan kesempatan untuk menegakkan keadilan dan menentang kezaliman, sekecil apapun bentuknya.

Kesimpulan: Pentingnya Menegakkan Keadilan

Hukum berdiam diri melihat kezaliman dalam Islam secara umum adalah tidak diperbolehkan. Islam mengamanatkan setiap Muslim untuk aktif dalam amar ma’ruf nahi munkar sebagai wujud keimanan dan kepedulian sosial. Berdiam diri tanpa ada rasa benci dalam hati adalah tanda kelemahan iman yang serius.

Umat Islam memiliki peran vital dalam menciptakan masyarakat yang adil dan bermartabat. Ini berarti setiap individu harus berani menyuarakan kebenaran, menentang ketidakadilan, dan tidak takut menghadapi risiko demi tegaknya keadilan. Dengan demikian, kita turut serta dalam menjaga kehormatan agama, hak asasi manusia, serta menciptakan lingkungan yang harmonis dan diridhai Allah SWT. Marilah kita menjadi pribadi yang proaktif dalam menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman, demi terwujudnya masyarakat yang madani dan dirahmati-Nya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement