SURAU.CO – Konsep kepemimpinan–imamah–menurut Ibnu Khaldun menekankan keterpaduan antara otoritas politik dan etika sosial. Perspektif yang saat ini masih menjadi kebutuhan mendesak dalam dinamika politik modern–Indonesia khususnya. Melalui Muqaddimah, ia menawarkan beberapa kriteria pemimpin yang tidak hanya berbasis kekuasaan, tetapi juga aspek lainnya yang tentu masih relevan hingga hari ini.
Wajib Hukumnya Mengangkat Pemimpin
Menurut Ibnu Khaldun, jika telah tetap keputusan bahwa mengangkat pemimpin hukumnya wajib berdasar ijma’, maka hal itu termasuk fardhu kifayah. Kemudian proses pengangkatannya ada pada suatu majelis perwakilan rakyat. Mereka berkewajiban memilih dan mengangkatnya dan seluruh masyarakat harus mematuhinya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara
kalian.” (An-Nisa’: 59)
Adapun kriteria orang-orang yang dapat menduduki jabatan terhormat ini ada empat syarat yakni: berilmu pengetahuan, berkeadilan, berkompetensi, dan sehat jasmani-rohani yang dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.
Untuk kriteria kelima yaitu harus memiliki garis keturunan dari suku Quraisy, maka hal itu menurut Ibnu Khaldun masih dalam perdebatan.
Berilmu Pengetahuan
Seorang khalifah atau pemimpin haruslah berilmu pengetahuan. Hal itu menurut Ibnu Khaldun menjadi hal yang pokok. Sebab seorang pemimpin bertanggung jawab dalam menerapkan hukum-hukum Allah jika mengetahuinya.
Menurutnya bagi orang-orang yang tidak memahami ajaran agama dan hukum-hukum Allah, maka tidak boleh umat mengangkatnya sebagai khalifah. Seseorang belum bisa dikatakan sebagai orang yang berilmu kecuali sudah mencapai tingkatan mujtahid. Sebab bertaklid menunjukkan suatu sifat yang kurang dalam diri pemimpin. Sedangkan kepemimpinan atau imamah menuntut kesempurnaan dalam berbagai karakter dan perbuatan.
Karakter Adil
Adapun karakter adil–berintegritas baik–dibutuhkan bagi seorang pemimpin. Sebab khalifah merupakan jabatan keagamaan yang harus dapat mengontrol jabatan-jabatan lain yang juga mengharuskan kriteria adil berintergritas ini. Sehingga hal ini lebih menjadi utama. Para ulama bersepakat bahwa sifat adil ini tidak dimiliki oleh orang fasik yang terbiasa melakukan perbuatan terlarang dan sejenisnya. Sedangkan mengenai keadilan dalam diri orang yang berkeyakinan bid’ah, maka terjadi perbedaan pendapat pada kalangan ulama.
Kompeten
Syarat kompetensi bagi seorang pemimpin merupakan keharusan. Sebab seorang khalifah
harus berani menegakkan hukum dan mendeklarasikan perang dengan penuh kecermatan serta pertimbangan.Dengan demikian seorang pemimpin dapat memutuskan kapan ia harus memobilisasi pasukannya untuk berperang, memahami fanatisme dan strategi perang, serta mampu menghadapi krisis politik dan segala konsekuensinya.
Dengan kompetensinya ini ia layak menduduki jabatan tersebut sehingga mampu menjaga agama, memerangi musuh,menegakkan hukum-hukum Allah, dan mengatur kepentingan-kepentingan masyarakat secara umum.
Sehat Jasmani dan Rohani
Adapun sehat jasmani dan rohani, yakni bebas dari penyakit gila, buta, dungu, dan tuli, serta segala cacat fisik yang berpengaruh pada pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya seperti kehilangan kedua tangan, kedua kaki, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat karena berpengaruh pada pelaksanaan tugasnya dan tanggung jawab yang ada padanya. Dengan demikian syarat sehat jasmani dan rohani ini merupakan syarat kesempurnaan.
Ketidakbebasan bertindak dapat ekuivalen dengan orang yang mengalami cacat fisik. Kekurangan ini dibagi dua macam: salah satunya bersifat wajib dan dapat disamakan dengannya (tidak boleh menjadi pemimpin) seperti paksaan dan ketidakmampuan bertindak secara keseluruhan karena berada dalam tekanan atau yang sejenisnya. Satu bagian lagi berbeda kategori dengan yang pertama, yaitu pemaksaan karena penguasaan beberapa orang yang mendukungnya tanpa unsur pembangkangan atau ketidakpatuhan. Dengan demikian, maka kekuasaan berpindah pada orang yang merebutnya.
Keturunan Quraisy
Adapun keharusan memiliki garis keturunan dengan suku Quraisy, maka hal itu berdasarkan Ijma’ para sahabat ketika mereka berada di Tsaqifah Bani Sa’idah ketika membahas tentang hal itu. Ketika itu kaum Quraisy menentang kaum Anshar yang bermaksud membaiat Sa’ad bin Ubadah dengan mengatakan, “Dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin.” Kaum Quraisy menentang pendapat kaum Anshar ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Kepemimpinan dari kaum Quraisy.”
Namun ketika pengaruh kaum Quraisy ini mulai melemah dan fanatisme kesukuan mereka hilang karena tenggelam dalam kemewahan hidup dengan segala kenikmatannya. Juga ketika mereka mendapatkan berbagai pembiayaan dari kerajaan sampai ke seluruh pelosok negeri. Ini menjadikan mereka tidak lagi mampu memegang kendali dan menjalankan tugas kekhalifahan.
Akibatnya, mereka akhirnya kalah oleh bangsa-bangsa non-Arab. Kenyataan ini mendorong para ulama untuk mempertimbangkan kembali kriteria terakhir ini, hingga mereka berpendapat bahwa memiliki garis keturunan dari suku Quraisy tidak lagi masuk sebagai syarat bagi seseorang untuk menjabat sebagai khalifah.
Dengan demikian, dari pemikiran Ibnu Khaldun tersebut masih terdapat kriteria-kriteria yang relevan untuk menjadikan seseorang sebagai pemimpin saat ini. Terutama perlunya pemimpin memiliki pengetahuan, bersikap adil, dan berkompetensi. (St.Diyar)
Referensi: Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun.Muqaddimah Ibnu Khaldun, 2011
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
