SURAU.CO – Islam, sebagai agama dengan penganut terbesar di Indonesia banyak berpadu dengan tradisi-tradisi lokal masyarakat pemeluknya. Di berbagai daerah Indonesia, ritual keagamaan berpadu dengan tradisi lokal melahirkan keunikan tersendiri. Maulid Nabi Muhammad SAW adalah salahsatu ritual agama Islam yang saling bertransformasi dengan kebudayaan lokal di berbagai daerah Indonesia. Maudu’ Lompoa adalah salah satu fakta bertemunya dua unsur yang berbeda, yaitu agama dan kebudayaan lokal, dapat bersatu membentuk sebuah tradisi turun-terumun. Tulisan ini mengajak kita untuk lebih mengenal Maudu’ Lompoa sebagai salahsatu tradisi lokal khas Makassar dalam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sebua tradisi yang dilakukan masyarakat Takalar sebagai puncak perayaan dari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan ini berpusat di sekitar Sungai Cikoang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Muasal dan Perintis Tradisi Maudu’ Lompoa
Secara etimologis, Maudu Lompoa terdiri dari dua kata, yakni “Maudu” yang berarti Maulid dan Lompoa berarti besar. Jadi Maudu Lompoa, yaitu upacara perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW secara besar-besaran oleh masyarakat di Desa Cikoang Kabupaten Takalar.
Masyarakat Sulawesi Selatan menghubungkan muasal tradisi Maudu’ Lompoa dengan kedatangan Sayyid Jalaluddin al-Aidid, ulama keturunan Arab yang tiba di wilayah Cikoang pada abad ke-17. Beberapa penuturan menempatkan awal tradisi pada sekitar tahun 1621, ketika ajaran dan jaringan keulamaan yang ia bangun memadukan dakwah Islam dengan kultur bahari setempat. Dari sinilah praktik Maulid “besar” (Lompoa) dipelihara turun-temurun oleh keluarga Sayyid Jalaluddin al-Aidid dan komunitas nelayan Cikoang.
Penelitian akademik dan arsip lokal juga menunjukkan bagaimana jaringan keturunan dan murid tokoh Sayyid Jalaluddin al-Aidid menyebarkan tradisi Maudu’ ke wilayah lain di Sulawesi Selatan sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20, seiring mobilitas dakwah dan pernikahan antarkelompok. Ini menjelaskan mengapa, meski ikoniknya di Cikoang, gema Maudu’ terdengar di beberapa pesisir lain di Sulawesi Selatan.
Pelaksanaan Tradisi Maudu’ Lompoa
Pelaksanaan Maudu’ Lompoa biasanya jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah. Rangkaian acara dapat berlangsung beberapa hari, dan melibatkan persiapan yang panjang. Berikut beberapa tahapan penting dalam tradisi Maudu’ Lompoa :
1. Persiapan
Masyarakat mempersiapkan berbagai perlengkapan sejak jauh-jauh hari. Salah satu yang paling utama adalah menyiapkan songkolo’, yaitu nasi ketan yang dilengkapi dengan lauk ikan kering (ikan sunu atau ikan teri). Songkolo’ biasanya disajikan dalam wadah besar dan dihias dengan indah. Selain itu, warga juga membuat jolloro’, yaitu perahu hias tradisional sebagai simbol dalam perayaan. Masyarakat menghiasi perahu jolloro’ ini dengan hasil bumi, aneka makanan, serta perlengkapan ritual.
2. Puncak Perayaan
Pada hari pelaksanaan, ribuan orang berkumpul di Cikoang. Arak-arakan perahu hias (jolloro’) yang membawa hasil bumi dan makanan khas menjadi pemuncak peringatan. Suasana menjadi meriah dengan lantunan dzikir, shalawat, dan pembacaan Barzanji, yaitu syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Perahu jolloro’ hias kemudian tertambat di satu tempat tertentu sebagai simbol perjalanan hidup manusia yang harus mengikuti ajaran Rasulullah agar selamat.
3. Tradisi Mallonggori
Salah satu momen paling seru adalah tradisi mallonggori, yaitu berebut makanan yang sudah melalui proses pembacaan doa-doa. Masyarakat percaya bahwa makanan tersebut membawa berkah, sehingga siapa pun yang mendapatkannya akan memperoleh keselamatan, rezeki, dan keberuntungan. Meskipun terlihat sederhana, tradisi ini menyimpan makna yang dalam bahwa keberkahan hidup selalu datang dari kebersamaan, doa, dan cinta kepada Nabi.
Nilai Ibadah dalam Maudu’ Lompoa
Tradisi Maudu’ Lompoa memiliki dimensi ibadah yang kuat, karena berhubungan langsung dengan penghayatan umat Islam terhadap Nabi Muhammad SAW. Nilai-nilai ibadah tersebut tampak dalam beberapa aspek:
1. Peringatan Maulid Nabi sebagai Wujud Cinta kepada Nabi
Perayaan Maudu’ Lompoa berakar dari rasa cinta dan penghormatan kepada Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ahzab (33:56):
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Tradisi ini menjadi bentuk nyata ketaatan kepada perintah Allah untuk mencintai dan memuliakan Nabi Muhammad SAW.
2. Pembacaan Shalawat dan Barzanji
Salah satu ritual utama adalah pembacaan Barzanji yang berisi kisah kelahiran Nabi dan doa-doa pujian. Membaca shalawat dan dzikir dalam Maudu’ Lompoa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah serta memohon syafaat Nabi Muhammad SAW.
3. Doa dan Rasa Syukur
Perayaan ini juga menjadi ajang untuk memanjatkan doa bersama, memohon keberkahan, keselamatan, dan rezeki. Membaca doa-doa untuk hidangan seperti songkolo’ (nasi ketan dengan lauk ikan kering) sebelum membagi-bagikan, menghadirkan dimensi ibadah berupa rasa syukur atas nikmat Allah.
4. Simbol Perahu (Jolloro’)
Keunikan Maudu’ Lompoa adalah adanya jolloro’. Perahu hias dalam perayaan ini melambangkan perjalanan hidup manusia menuju akhirat. Simbol ini menjadi pengingat agar manusia senantiasa berpegang pada ajaran Nabi sebagai “nakhoda” dalam perjalanan menuju keselamatan.
Nilai Sosial Maudu’ Lompoa
Selain nilai ibadah, tradisi Maudu’ Lompoa juga menyimpan nilai sosial yang sangat kuat. Tradisi ini bukan hanya ritual individual, tetapi juga perayaan kolektif yang mempererat hubungan antarwarga.
1. Kebersamaan dan Gotong Royong
Persiapan Maudu’ Lompoa melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari pembuatan perahu hias, memasak songkolo’, hingga persiapan acara, semuanya dilakukan secara bergotong royong. Hal ini mencerminkan nilai solidaritas dan kerja sama yang tinggi.
2. Memperkuat Silaturahmi
Perayaan ini mengundang banyak orang, baik warga lokal maupun dari luar daerah. Momentum berkumpulnya masyarakat dalam suasana religius mempererat hubungan kekerabatan dan persaudaraan.
3. Distribusi Berkah dan Keadilan Sosial
Tradisi mallonggori (berebut makanan yang telah diberkati) menggambarkan keyakinan masyarakat terhadap keberkahan doa. Makanan yang dibagikan tidak hanya untuk dimakan, tetapi diyakini membawa keselamatan. Dalam praktiknya, distribusi makanan ini menjadi sarana berbagi rezeki dan menumbuhkan rasa keadilan sosial.
4. Identitas Budaya dan Pendidikan Sosial
Maudu’ Lompoa menjadi identitas masyarakat Cikoang. Generasi muda diperkenalkan pada tradisi ini sejak kecil, sehingga mereka belajar tentang sejarah Islam, nilai kebersamaan, dan pentingnya menjaga warisan budaya. Dengan demikian, tradisi ini juga berfungsi sebagai pendidikan sosial yang menanamkan nilai moral sejak dini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
