Khazanah
Beranda » Berita » Batasan Mengeluh: Kapan Boleh Menceritakan Musibah?

Batasan Mengeluh: Kapan Boleh Menceritakan Musibah?

Batas mengeluh (sumber: canva.com)

SURAU.CO – Setiap manusia pasti menghadapi musibah. Ini adalah bagian tak terpisahkan dari ujian hidup. Ketika kesulitan datang, hati bisa terasa sesak. Lisan pun seringkali ingin mengungkapkan beban itu. Pertanyaannya, bolehkah kita menangis dan menceritakan musibah kepada orang lain? Apakah tindakan ini menafikan kesabaran?

Syariat Islam memberikan panduan yang sangat seimbang. Islam tidak melarang manusia untuk berekspresi. Namun, Islam juga menetapkan batasan yang jelas. Ada perbedaan besar antara mengeluh yang haram dan sekadar mengadu yang dibolehkan. Kunci perbedaannya terletak pada sikap hati kita terhadap takdir Allah SWT.

1. Mengeluh yang Tercela (Tasakhkhuth)

Jenis pertama adalah keluhan yang tercela dan haram. Keluhan ini muncul dari hati yang tidak ridha. Hati yang marah dan menentang ketetapan Allah. Lisan orang ini akan mengucapkan kalimat-kalimat yang menunjukkan protes. Seolah-olah ia merasa Allah tidak adil kepadanya. Sikap inilah yang merusak pahala kesabaran.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:

“Adapun mengeluh yang disertai dengan tasakhkhuth (rasa tidak suka dan marah), seperti (ucapan), ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau timpakan musibah ini kepadaku?’ maka ini hukumnya haram.”

Rahmat Pagi dan Kesadaran Hamba

Keluhan semacam ini berbahaya. Ia tidak hanya menghapus pahala, tetapi juga bisa mendatangkan dosa. Ia menunjukkan kelemahan iman seseorang terhadap takdir. Orang yang sabar akan menahan lisannya dari keluhan seperti ini. Ia yakin bahwa setiap musibah datang dengan izin dan hikmah dari Allah.

2. Mengadu yang Dibolehkan (Syakwa)

Jenis kedua adalah syakwa atau mengadu. Ini adalah tindakan menceritakan musibah kepada orang lain. Namun, tujuannya bukan untuk memprotes takdir Allah. Tujuannya adalah untuk mencari solusi atau mendapatkan kelegaan. Tindakan ini hukumnya boleh dan tidak merusak kesabaran.

Sebagai contoh:

  1. Seorang pasien menceritakan sakitnya kepada dokter. Tujuannya agar ia mendapatkan obat yang tepat.
  2. Seseorang yang terzalimi melapor kepada hakim. Tujuannya agar ia mendapatkan keadilan.
  3. Seorang anak menceritakan masalahnya kepada orang tua. Tujuannya agar ia mendapatkan nasihat dan ketenangan.

Semua bentuk aduan ini diperbolehkan. Karena niatnya adalah untuk mencari jalan keluar. Bukan untuk menyalahkan Allah atas musibah yang menimpa.

Teladan Terbaik dari Para Nabi

Para nabi adalah manusia yang paling berat cobaannya. Mereka juga menunjukkan kepada kita bagaimana cara mengadu yang benar. Nabi Ya’qub ‘alaihissalam merasakan kesedihan yang mendalam. Ia kehilangan putranya, Yusuf, selama bertahun-tahun. Lalu ia kehilangan putranya yang lain, Bunyamin. Namun, lihatlah kepada siapa ia mengadukan kesedihannya.

Hamba yang Teguh Di Tengah Ujian

Allah SWT mengabadikan perkataannya dalam Al-Qur’an:

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

Dia (Ya’qub) berkata, “Sesungguhnya aku hanya mengadukan kesusahan dan kesedihanku kepada Allah.” (QS. Yusuf: 86)

Nabi Ya’qub mengajarkan kita pelajaran penting. Tempat mengadu yang paling utama dan terbaik adalah Allah SWT. Mengadulah kepada-Nya dalam setiap sujud dan doa kita. Karena hanya Dia yang mampu mengangkat segala kesulitan.

Kuncinya Ada di dalam Hati

Pada akhirnya, hukum menceritakan musibah kembali pada hati kita. Menangis karena sedih adalah hal yang manusiawi. Menceritakan masalah untuk mencari solusi juga dibolehkan. Rasulullah SAW sendiri tidak melarang ‘Aisyah saat mengeluh sakit kepala.

Pluralisme Agama Antara Cita Ideal dan Tantangan Realitas

Yang menjadi penentu adalah ridha. Selama hati kita tetap ridha dengan takdir Allah, maka lisan yang mengadu tidak akan menjadi masalah. Namun, jika hati sudah mulai marah dan protes, maka di situlah letak bahayanya.

Oleh karena itu, jagalah hati kita saat musibah datang. Arahkan semua keluh kesah kita kepada Allah. Jika kita perlu bercerita kepada manusia, pilihlah orang yang bisa memberikan solusi. Bukan orang yang justru akan membuat kita semakin jauh dari Allah. Dengan begitu, musibah tidak akan mengurangi pahala kita. Justru, ia akan mengangkat derajat kita di sisi-Nya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement