SURAU.CO – Islam merupakan agama universal–rahmatan lil ‘alamiin. Dan sering kali mengalami perjumpaan dengan tradisi lokal yang beraneka ragam yang membuat wajah Islam tentunya tidak sama di berbagai tempat dan wilayah.
Praktik kearifan lokal dan tradisi setempat tentunya akan sangatlah memperkaya khazanah keIslaman, salah satunya tradisi maulid yang bertujuan untuk memuliakan Nabi Muhammad.
Maulid dan Libur Nasional
Selain Indonesia yang menjadikan Maulid Nabi sebagai tanggal merah, terdapat negara-negara yang menjadikan hari tersebut sebagai hari besar nasional. Terutama pada kawasan ASEAN, negeri jiran Malaysia, menyebutnya Maulidur Rasul dan menjadikannya sebagai merupakan hari libur nasional. Kemudian negara Brunei Darussalam yang juga merayakan maulid. Selain dua negara tetangga tersebut, beberapa negara seperti Pakistan, Uni Emirat Arab, Turki, Senegal, Maroko, Mesir, dan Jordania secara resmi menjadikannya sebagai hari libur nasional.
Bagi umat Muslim Indonesia, momentum maulid merupakan hari besar dan sekaligus menjadi hari libur nasional. Perayaannya berlangsung di masjid, majelis ta’lim, surau, dan pondok pesantren dengan berbagai cara yang semarak serta dengan beragam acara tergantung kearifan lokal. Malam hari di tanggal 12 Rabi’ul Awwal adalah puncak dari perayaan ini. Lazimnya mereka membacakan sirah nabawiyah–sejarah kehidupan Nabi semenjak lahir hingga wafat– dalam bentuk prosa secara bergantian dan biasanya dengan cara membaca dengan nada dan lagu tertentu.
Maulid Sebagai Tradisi
Perayaan maulid Nabi telah menjadi tradisi tahunan bagi negara-negara muslim, kecuali negara Arab Saudi. Para sejarawan memperkirakan tradisi ini berlangsung sejak masa Sultan al-Muzhaffar berkuasa dan setelahnya hingga sekarang.
Beberapa ulama berpendapat bahwa perayaan ini sebagai sesuatu praktik yang baik. Bahkan Imam al-Suyuthi menerbitkan karya khusus mengenai maulid Nabi yang memiliki judul Husn al-Maqsid fi Amal al-Maulid. Dengan dasar itu, perayaan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal telah menjadi tradisi sebagian besar umat muslim .
Perayaan Maulid Nabi oleh Dinasti Fatimiyah
Pada mulanya Bani Ubaidiyah atau Bani Fatimiyah Mesir –penganut paham syiah Ismailliyah (Rafidhah)–melaksanakan perayaan Maulid Nabi. Kekuasaan dinasti tersebut diperkirakan berlangsung sekitar tahun 362-567 H. Ketika masa pemerintahan khlifah Ma’add Abu Tamim al-Mu‘iz li-Dinillah maulid pertama kali terselenggara.
Peringatan maulid Nabi Muhammad oleh Bani Ubaid ini hanyalah salah satu bentuk perayaan saja dari sekian perayaan-perayaan besar. Dinasti ini juga merayakan hari Asyura, Maulid Fatimah, Maulid Ali, Maulid Hasan, Maulid Husain, dan lainnya.
Perayaan Maulid Nabi oleh Sultan Abu Said Muzhaffar
Bagi kalangan Ahlu al-Sunnah wal Jamaah (Aswaja), perayaan maulid pertama kali dirayakan pada pemerintahan Sultan Abu Said Muzhaffar Kaukabri–gubernur Irbil Irak. Latar belakang perayaan maulid Nabi saat itu sebagai salah satu strategi dan siasat Sultan dalam menghadapi ancaman invasi Jengis Khan raja kaum nomad Mongol. Jengis Khan saat itu tengah berambisi untuk menguasai dunia, dan salah satu targetnya adalah kerajaan-kerajaan Islam.
Perayaan maulid pada pemerintahan Sultan Abu Said berlangsung selama 7 hari 7 malam. Sultan saat itu memberikan jamuan makanan, hadiah, berinfak kepada fakir miskin dan amalan-amalan lainnya. Dalam perayaan tersebut, Muzhaffar Kaukabri mengundang para penceramah atau ulama untuk mengobarkan semangat juang umat muslim agar tetap semangat menjadi benteng kerajaan dan pertahanan umat Islam.
Perayaan Maulid oleh Sultan Saladin
Ketiga, perayaan maulid yang dilaksanakan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi–Saladin–(567-622 H). Ia adalah penguasa Bani Ayyubiyah. Tujuan Saladin mengadakan perayaan maulid Nabi Muhammad untuk membangkitkan semangat perjuangan umat muslim dalam melawan kampanye perang salib oleh pasukan Kristen Frank Barat dari Eropa. Selain itu perayaan maulid Nabi menjadi strategi untuk merebut kembali Al-Aqsa dari kekuasaan kerajaan Raja Baldwin.
Maulid Nabi dan Walisongo
Dalam strategi penyebaran agama Islam di nusantara, dakwah wali songo terutama sunan Kalijaga dan sunan Kudus menggunakan metode yang ramah terhadap budaya lokal. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada kearifan daerah setempat. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka, untuk mendekatinya harus secara sistematis dan bertahap, dan para wali mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga meyakini jika Islam sudah terpahami dengan baik, maka dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.
Adapun ajaran sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara sebagai sarana dakwah. Terkait maulid Nabi Muhammad, sunan Kalijaga menciptakan perayaan tersebut dengan nama grebeg maulud. Selanjutnya grebeg maulud ini menjadi tradisi dan lestari pada lingkungan Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, sebagai bentuk akulturasi antara Islam, dan budaya Jawa.
Atas metode dakwah ini, sebagan besar adipati Jawa akhirnya memeluk Islam melalui sunan Kalijaga. Mereka adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede-Yogyakarta).(St.Diyar)
Referensi: K.H. Afifudin Muhajir, Islam Nusantara, (Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia), 2015.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
