SURAU.CO – Sejak masa Rasulullah hingga kini, prinsip-prinsip ekonomi Islam senantiasa menjadi pedoman bagaimana manusia mengelola harta dengan tetap menjaga keberkahan. Oleh karena itu, ekonomi syariah bukan sekadar sistem transaksi bebas riba semata. Akan tetapi sebuah cara pandang komprehensif yang memadukan dimensi spiritual, sosial, dan material dalam aktivitas ekonomi
Naqli dan ‘Aqli sebagai Dua Sumber Utama
Dalam sejarahnya paradigma ini lahir dari dua sumber utama, yaitu naqli (wahyu) dan ‘aqli (ijtihad). Sumber naqli bersumber pada Alquran dan al-sunnah. Keduanya berperan sebagai al-adillah al-qat’iyyah (bukti bahwa kebenarannya tidak dapat diperdebatkan).
Sementara itu, sumber ‘aqli, terutama yang telah menjadi konsensus adalah al-ijma’ dan al-qiyas. Istilah keduanya masuk dalam rumusan al-adillah al-ijtihadiyyah (pandangan yang hadir melalui kesungguhan pikiran).
Corak Paradigma Ekonomi Islam
Paradigma ini berdasar pada paradigma Islam. Oleh karena itu, unsur dasar paradigma ilmu ekonomi Islam sama dengan elemen-elemen asas dalam tashawwur–konsep awal–Islam, yaitu Allah sebagai sang pencipta, manusia sebagai makhluk dan sumber daya alam juga ciptaan Allah.
Bangunan pemikiran ini menghasilkan setidaknya enam corak atau pola paradigma. Pertama, berdasarkan al-tawhid (keesaan Allah). Kedua, menggunakan kaidah al-’ubudiyyah (beribadah kepada Allah). Ketiga, manusia sebagai hamba dan khalifah sekaligus pelaku ekonomi Islam. Keempat, mawarid al-tabi’i (sumber daya alam) sebagai alat atau wasilah pembangunan ekonomi. Kelima, al-tawaazun (keseimbangan) antara dunia dan akhirat; dan Keenam, mencapai ridha Allah.
Corak Berdasar Tauhid
Tauhid merupakan konsep ketuhanan dalam Islam yang merupakan asas keimanan dan keyakinan manusia tentang wujud dan dan keesaan Allah. Tauhid Uluhiyah yaitu menauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang hamba lakukan, yakni mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah. Cakupannya melalui berbagai macam sikap yakni bertawakal, takut (khauf), pengharapan (roja) dan lain sebagainya.
Selanjutnya Tauhid Rububiyah, yakni menauhidkan Allah dalam perbuatan-Nya seperti Allah menciptakan, menguasai, memberikan rezeki, mengurusi makhluk, yang semuanya hanya Allah semata yang mampu.
Sementara itu, Tauhid Asma Wa Sifat yakni mengimani apa yang sudah Allah tetapkan dalam Al-quran dan hadis mengenai nama dan sifat Allah, tanpa mengubah makna, mengingkari, mendeskripsikan bentuk/cara dan memisalkan.
Tauhid merupakan asas yang harus ada dalam segala usaha yang bersangkutan dengan kehidupan manusia pada umumnya dan ekonomi Islam khususnya. Sehingga aspek-aspek lain seperti fikih (hukum amal) dan akhlak (budi pekerti dan tasawuf) akan bernaung pada pondasi ini.
Tujuan tauhid menjadi salah satu asas ekonomi Islam adalah agar segala kegiatan ekonomi yang pengusahaannya berada dalam lingkup kepatuhan dan ketaatan kepada Allah. Hal ini tidak terlepas dari tujuan beribadah kepada Allah, sesuai dengan aturan dan ketetapan Allah.
Paradigma al-’Ubudiyyah
Ibadah merupakan setiap perbuatan yang Allah syariatkan serta mengikuti setiap perintah yang Rasulullah sampaikan yang Allah ridhai. Ia meliputi segala perintah dan larangan serta hal yang halal maupun haram.
Ibadah memiliki cakupan yang luas tidak hanya terhadap perbuatan ibadah dan ritual agama, tetapi juga meliputi setiap aspek kehidupan manusia. Termasuk dalam melaksanakan ekonomi Islam. Pelaksanaan ekonomi Islam tidak akan menjadi ibadah apabila tidak mengikuti kaidah-kaidah yang telah Allah tetapkan.
Implementasi Ekonomi Islam sebagai Bagian dari Ibadah
Untuk mengimplentasikan pembangunan ekonomi Islam, pertama, dengan berniat ikhlas kepada Allah agar mendapat keridaanNya. Kedua, setiap usaha tersebut tidak melanggar syariat Islam. Ketiga, dalam pelaksanaannya pun harus sesuai dengan syariat Islam, sesuai dengan prinsip-prinsip syariat dan akhlak Islam seperti amanah, adil, bertanggung jawab. Keempat, hasilnya juga tidak bertentangan dengan syariat. Kelima, segala usaha dan tugas yang dilakukan itu tidak melalaikan mereka dari menunaikan ibadah. Semua syarat yang ditetapkan ini adalah baik dari segi memenuhi tuntutan akidah, fikih maupun akhlak.
Manusia Sebagai Pelaku Ekonomi Islam
Sebagai makhluk yang istimewa diciptakan oleh Allah dengan sempurna, telah terlengkapi akal pikiran serta memiliki kedudukan mulia dari seluruh makhluk ciptaan Allah lainnya. Manusia memiliki unsur fisik, roh, akal, nafsu.
Karena manusia tercipta sebagai hamba sekaligus sebagai khalifah. Sebagai hamba, manusia wajib menyembah Allah , sebagai khalifah, manusia bertugas sebagai makhluk yang punya kapasitas untuk membangun, memakmurkan, menjaga serta memanfaatkan sumber alam yang Allah sediakan. Kedua fungsi inilah yang merupakan hakikat manusia yang berfungsi sebagai pelaku ekonomi Islam.
Sumber Daya Alam Sebagai Alat Pembangunan Ekonomi
Sumber alam yang ada pada muka bumi ini merupakan ciptaan Allah semata. Dalam hal ini Allah menyerahkan amanah dan tanggung jawab kepada manusia untuk memelihara dan memanfaatkan sumber alam karena manusia adalah khalifah yang bertugas memakmurkan muka bumi.
Setiap sumber daya alam yang Allah ciptakan merupakan alat pembangunan ekonomi untuk memenuhi keperluan hidup manusia seperti makanan, pakaian, perhiasan, peralatan, tempat tinggal, transportasi, pengangkutan dan sebagainya. Dalam pemenuhan keperluan manusia ini, Allah telah menjadikan segala yang ada dalam alam ini supaya tunduk kepada manusia.
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَـٰوَاتِ وَمَا فِي ٱلْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُۥ ظَـٰهِرَةًۭ وَبَاطِنَةًۭ
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya yang lahir maupun yang batin. (Luqman [31]: 20).
Dalam hal ini, segala sumber alam yang ada dalam semesta ini mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari manusia agar memudahkan mereka untuk memanfaatkannya.
Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat
Pelaksanaan pembangunan ekonomi Islam harus dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah yang terdapat dalam Alquran dan hadis. Dalam hal ini manusia harus menyeimbangkan antara amalan untuk kebahagiaan dunia (aspek jasmani) dan amalan untuk kebahagiaan akhirat (aspek rohani). Kehidupan dunia ini perlu menjadi sarana utama untuk mendapatkan sebanyak mungkin bekal menuju akhirat.
Menggapai Ridha Allah
Keridhaan Allah merupakan tujuan akhir dari ekonomi Islam. Rida Allah merupakan nikmat Allah yang paling besar dan paling utama. Tidak ada harapan yang lebih tinggi dan tidak ada nikmat yang lebih besar selain dari keridaan Allah. Suatu pembangunan ekonomi akan menjadi pembangunan ekonomi Islam apabila ia meletakkan keridhaan Allah sebagai tujuan akhirnya.
Untuk mendapatkan keridhaan Allah ini paling tidak manusia perlu memenuhi tiga syarat utama: Pertama, pembangunan ekonomi harus ikhlas semata-mata karena Allah dengan selalu mengesakan-Nya. Kedua, mematuhi segala syariat yang telah Allah tetapkan dan sesuai ajaran Rasulullah. Ketiga, senantiasa melakukan amalan kebaikan dalam berhubungan dengan Allah dan dalam berinteraksi dengan sesama manusia.
Ekonomi Islam merupakan paradigma ekonomi yang terimplementasikan dalam masyarakat melalui berbagai pembuktian empiris. Pembuktian ini terimplementasi melalui tangan-tangan akademisi, bankir, ekonom, praktisi, dan para profesional lainnya yang tentu saja dalam pengawalan para ulama dan fukaha yang memahami ilmu agama dan muamalah.
Dengan demikian, paradigma ekonomi Islam tidak hanya akan membangun keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial, tetapi juga memastikan setiap transaksi membawa keberkahan dunia dan akhirat. (St.Diyar)
Referensi: Azharsyah Ibrahim, dkk, Pengantar Ekonomi Islam, 2021.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
